Mewartakan dengan Jiwa

Viral #BoikotTrans7: Mengapa Satu Tayangan Bisa Menyakiti Jutaan Warga NU dan Apa yang Bisa Kita Pelajari?

264352b4e3d7645dd36fd73c63841171

JAKARTA, Warta Jiwa – Pada Minggu malam, 13 Oktober 2025, jutaan warga Nahdlatul Ulama (NU) dan santri di seluruh Indonesia dikejutkan oleh tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7. Tayangan berdurasi singkat itu berjudul provokatif: “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”

Dalam hitungan jam, tagar #BoikotTrans7 langsung trending di media sosial. Ribuan santri, alumni pesantren, tokoh agama, hingga masyarakat umum menyuarakan kekecewaan mereka. Pertanyaannya: mengapa satu tayangan bisa menimbulkan reaksi sebesar ini? Apa sebenarnya yang terjadi?

Kronologi Peristiwa: Dari Tayangan Hingga Sanksi KPI

Tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo Kediri pada 13 Oktober 2025 memicu gelombang kecaman dari berbagai kalangan, termasuk keluarga besar pesantren, alumni, serta organisasi masyarakat.

Tayangan tersebut menampilkan sosok Pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo KH Anwar Manshur secara tidak proporsional dengan narasi bernada negatif dan bermegah-megahan. Selain itu, beberapa bentuk penghormatan santri kepada guru yang merupakan tradisi lazim di lingkungan pesantren digambarkan dengan nada yang dianggap merendahkan.

Isu utama terletak pada penggambaran situasi di lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo yang dianggap tidak etis, minim edukasi, dan merendahkan. Fokus keberatan publik diarahkan pada narasi suara (voice over) yang menyertai cuplikan visual tayangan tersebut.

Reaksi publik sangat cepat dan masif. Segmen yang ditayangkan pada 13 Oktober 2025 itu juga menuai reaksi keras dari masyarakat, terutama komunitas santri yang merasa tersinggung dengan konten tersebut. Aksi protes tersebut juga memunculkan tagar #BoikotTRANS7 yang bergema di media sosial.

Merespons tekanan publik, Trans7 meminta maaf atas tayangan Xpose Uncensored yang menyinggung Pondok Pesantren Lirboyo. Mereka akui keteledoran dan berkomitmen untuk perbaikan.

Perwakilan dari Trans7 bermediasi dengan pihak Himpunan Alumni Santri Lirboyo (Himasal) Jabodetabek atas sebuah tayangan yang dianggap menyinggung.

Namun permintaan maaf saja tidak cukup. Setelah melakukan Rapat Pleno Penjatuhan Sanksi yang digelar KPI Pusat Selasa (14/10/2025) malam WIB, KPI menjatuhi sanksi program Xpose Uncensored yang ditayangkan Trans7 dihentikan sementara.

Mengapa Reaksinya Begitu Besar?

Untuk memahami mengapa reaksi publik begitu masif, kita perlu memahami apa itu pesantren dan apa artinya bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga NU.

Pesantren: Lebih dari Sekadar Sekolah

Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal. Bagi jutaan Muslim Indonesia, pesantren adalah:

1. Pusat Spiritualitas dan Pendidikan Karakter Di pesantren, santri tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga nilai-nilai kehidupan: kesederhanaan, kemandirian, kesabaran, dan penghormatan. Tradisi-tradisi yang ada, termasuk cara berinteraksi dengan guru (kiai), adalah bagian dari pembelajaran karakter.

2. Simbol Identitas Budaya dan Keagamaan Bagi warga NU yang mayoritas santri atau alumni pesantren, institusi ini adalah bagian integral dari identitas mereka. Menyerang pesantren sama dengan menyerang identitas mereka sendiri.

3. Warisan Leluhur yang Dijaga Turun-Temurun Pesantren seperti Lirboyo sudah berdiri sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. KH Anwar Manshur yang disebut dalam tayangan adalah tokoh yang sangat dihormati, pendiri pesantren yang telah mendidik ribuan santri yang kini tersebar di seluruh Indonesia.

Konteks yang Tidak Dipahami

Masalahnya, tayangan Trans7 menggambarkan tradisi pesantren tanpa konteks yang memadai. Tradisi santri yang “jongkok” atau menunduk saat bertemu kiai bukanlah bentuk penindasan, melainkan ekspresi penghormatan (ta’dzim) yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa dan tradisi Islam.

Dalam kultur pesantren, hubungan santri-kiai adalah hubungan yang sakral. Kiai bukan hanya guru, tapi juga pembimbing spiritual yang dianggap sebagai orang tua kedua. Penghormatan kepada kiai dipercaya akan membawa berkah (barokah) dalam ilmu yang dipelajari.

Ketika tradisi ini digambarkan dengan narasi negatif seperti “minum susu aja kudu izin”, yang terjadi adalah distorsi makna. Seolah-olah pesantren adalah tempat yang mengekang dan tidak rasional, padahal kenyataannya tidak demikian.

Dampak Psikologis: Luka yang Tidak Terlihat

Kontroversi ini bukan hanya soal pelanggaran aturan penyiaran. Ada dampak psikologis yang dirasakan oleh jutaan santri dan alumni pesantren.

Bayangkan Anda adalah seorang santri yang sedang menimba ilmu di pesantren. Setiap hari Anda bangun subuh, salat berjamaah, belajar kitab kuning, dan menjalani kehidupan sederhana dengan penuh kesungguhan. Kemudian tiba-tiba, institusi yang Anda cintai dan hormati digambarkan secara negatif di televisi nasional, ditonton oleh jutaan orang.

Atau bayangkan Anda adalah alumni pesantren yang kini sukses di berbagai bidang – dokter, pengacara, pengusaha, atau pegawai negeri. Pesantren adalah bagian penting dari perjalanan hidup Anda. Kemudian institusi yang membentuk karakter Anda itu diolok-olok di media massa.

Perasaan apa yang muncul? Marah? Sedih? Tersinggung? Semua campur aduk.

Inilah yang dirasakan oleh jutaan warga NU ketika menonton tayangan tersebut. Bukan hanya soal fakta yang salah, tapi juga soal penghormatan terhadap identitas dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh.

Pelajaran untuk Media: Kebebasan Pers Bukan Kebebasan Menyakiti

Kasus ini memberikan pelajaran penting tentang etika jurnalisme dan tanggung jawab media massa.

1. Riset Mendalam Itu Wajib

Sebelum membuat konten tentang suatu komunitas atau institusi, media wajib melakukan riset yang mendalam. Tidak cukup hanya mengambil visual dan menambahkan narasi berdasarkan asumsi. Diperlukan pemahaman konteks budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang dianut.

2. Menghormati Keberagaman

Indonesia adalah negara yang sangat beragam, dengan berbagai tradisi dan kepercayaan. Media memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya melaporkan, tapi juga menghormati keberagaman ini. Perbedaan bukan untuk diolok-olok, tapi untuk dipahami dan dihargai.

3. Rating Bukan Segalanya

Dalam industri televisi, rating adalah hal yang penting. Tapi rating tidak boleh dicapai dengan cara mengorbankan kehormatan kelompok masyarakat tertentu. Konten yang provokatif memang bisa menarik perhatian, tapi juga bisa melukai.

4. Kebebasan Pers Harus Diimbangi dengan Tanggung Jawab

Kebebasan pers adalah hak yang dijamin konstitusi. Tapi kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Media bukan hanya punya hak untuk menyiarkan, tapi juga tanggung jawab untuk tidak menyebarkan informasi yang menyesatkan atau merendahkan.

Respons Trans7: Cukupkah Permintaan Maaf?

Trans7 telah meminta maaf dan mengakui kelalaian mereka. Mereka juga telah bertemu dengan perwakilan alumni Pesantren Lirboyo untuk berdialog.

Namun, sejumlah pihak menilai bahwa tayangan ini melanggar etika penyiaran dan tidak cukup hanya dengan permohonan maaf.

Yang dibutuhkan bukan hanya permintaan maaf verbal, tapi juga komitmen konkret untuk:

  1. Edukasi Internal – Tim produksi dan jurnalis perlu mendapat pelatihan tentang sensitivitas budaya dan agama
  2. Mekanisme Quality Control – Ada sistem checking yang lebih ketat sebelum konten disiarkan
  3. Dialog Berkelanjutan – Membuka komunikasi dengan berbagai komunitas untuk memahami isu-isu sensitif
  4. Konten Pemulihan – Membuat tayangan yang lebih edukatif tentang pesantren untuk memperbaiki kesalahpahaman

Pelajaran untuk Masyarakat: Kritik yang Konstruktif

Di sisi lain, masyarakat juga perlu belajar bagaimana menyampaikan kritik secara konstruktif.

Boikot dan protes adalah hak demokratis. Tapi yang lebih penting adalah memastikan kritik kita membawa perubahan positif, bukan hanya melampiaskan kemarahan.

Beberapa poin penting:

1. Tegas Tapi Tidak Kasar

Kita bisa tegas dalam menyuarakan keberatan tanpa harus menggunakan kata-kata kasar atau ancaman. Kritik yang santun justru lebih efektif karena tidak menimbulkan defensifitas.

2. Fokus pada Isu, Bukan Pribadi

Kritik sebaiknya ditujukan pada konten dan kebijakan, bukan menyerang individu tertentu. Ini akan membuat dialog lebih produktif.

3. Edukasi, Bukan Hanya Protes

Selain memprotes, kita juga perlu mengedukasi masyarakat luas tentang apa itu pesantren yang sebenarnya. Ini kesempatan untuk menunjukkan wajah positif pesantren kepada publik.

4. Mengawal Perubahan

Setelah Trans7 meminta maaf, tugas kita adalah mengawal komitmen mereka. Apakah benar-benar ada perubahan dalam cara mereka memproduksi konten? Atau hanya lip service?


FAKTA KUNCI:

  • Tayangan kontroversial disiarkan: 13 Oktober 2025
  • Program: Xpose Uncensored, Trans7
  • Sanksi KPI: Penghentian sementara program (14 Oktober 2025)
  • Dasar hukum: Pelanggaran Pasal 6 P3 KPI dan Pasal 6, 16 SPS KPI 2012
  • Institusi yang tersinggung: Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
  • Tokoh yang disebutkan: KH Anwar Manshur (Pendiri Pesantren)
  • Respons Trans7: Permintaan maaf dan audiensi dengan alumni

CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber-sumber terpercaya termasuk pernyataan resmi KPI, liputan media nasional, dan dokumen resmi. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang tidak hanya informatif tetapi juga mendorong dialog konstruktif dan saling pengertian di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.

Bagikan Warta Ini

satu Respon

Tinggalkan Balasan ke Aris Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *