DENPASAR, Warta Jiwa – Pagi itu, Rabu 15 Oktober 2025, kampus Universitas Udayana di Denpasar seperti biasa. Mahasiswa berlalu-lalang, dosen bersiap mengajar, dan gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dipenuhi aktivitas akademik.
Pukul 09.00 WITA, keheningan tiba-tiba pecah. TAS, mahasiswa semester VII Program Studi Sosiologi berusia 22 tahun, melompat dari lantai empat gedung FISIP. Tubuhnya jatuh di depan lobi, tepat di tengah kampus yang ia cintai.
Saksi mata berinisial NKGA melihat korban datang dari arah pintu lift dengan menggendong tas ransel, mengenakan baju putih, dengan raut wajah yang panik seolah memeriksa situasi sekitar kampus. Lima belas menit kemudian, korban melompat.
Ia segera dievakuasi ke RSUP Prof IGNG Ngoerah (Sanglah). Humas rumah sakit, I Dewa Ketut Kresna, mengonfirmasi korban dirujuk pukul 09.44 WITA. TAS sempat menjalani perawatan, namun nyawanya tak tertolong. Pukul 13.03 WITA, ia dinyatakan meninggal dunia akibat pendarahan internal dengan kondisi patah tulang di beberapa bagian tubuh.
TAS: Bukan Sekadar Korban, Tapi Jiwa yang Terampas
TAS lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 25 Agustus 2003. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang ramah, santun, dan berprestasi. Sebagai mahasiswa Sosiologi, ia sering terlibat dalam diskusi mendalam tentang masyarakat, tentang kemanusiaan, tentang keadilan sosial.
Ironi yang tragis: seorang mahasiswa yang mempelajari tentang masyarakat, justru menjadi korban dari ketidakmanusiawian masyarakat di sekitarnya.
Seorang petugas kebersihan kampus mengungkapkan bahwa korban kerap menyakiti diri sendiri dan membenturkan kepala ke tembok saat frustrasi. Tanda-tanda dari jiwa yang terluka, yang berteriak meminta pertolongan tanpa suara, yang tidak ada yang mendengar.
Atau lebih tepatnya: ada yang tahu, tapi memilih untuk mengabaikan.
Bullying yang Sistemik dan Kejam
Setelah kematian TAS, bukti-bukti perundungan yang ia alami mulai terungkap. Tangkapan layar percakapan grup WhatsApp beredar luas di media sosial, menampilkan ejekan kasar yang ia terima dari teman-temannya sendiri.
Korban sering diejek tentang fisiknya. Beberapa mahasiswa bahkan menyamakan dirinya dengan konten kreator Kekeyi – sebuah perbandingan yang dimaksudkan untuk merendahkan. Ejekan demi ejekan ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tapi berulang kali, dalam waktu yang lama.
Perundungan terhadap TAS dilaporkan telah berlangsung lama, dimulai dari hal-hal kecil yang kemudian menjadi bola salju yang menggulung makin besar. Pesan berantai di kalangan mahasiswa menuding, korban telah lama mengalami gangguan mental dan menjadi sasaran ejekan.
Yang lebih menyakitkan: mereka yang melakukan bullying ini bukan orang asing. Mereka adalah teman sekampus, bahkan beberapa di antaranya adalah pengurus organisasi kemahasiswaan – orang-orang yang seharusnya menjadi teladan, yang seharusnya melindungi sesama mahasiswa.
Kekejaman Setelah Kematian
Jika bullying semasa hidup sudah cukup kejam, yang terjadi setelah TAS meninggal adalah kekejaman berlapis. Beberapa mahasiswa justru memposting konten yang meledek tragedi ini di media sosial.
Dalam tangkapan layar yang viral di akun @lambe_turah pada Sabtu (18/10/2025), terlihat komentar-komentar yang sangat tidak berempati:
“Nanggung banget klok bunuh diri dari lantai 2 yak,” tulis salah seorang mahasiswa dalam grup.
Komentar lain bahkan menyebut kematian TAS sebagai “hiburan”.
Ini bukan lagi soal ketidaktahuan atau ketidakpekaan. Ini adalah kekejaman yang disengaja. Ini adalah bukti bahwa bullying bukan hanya soal tindakan, tapi juga soal mentalitas – mentalitas yang menganggap penderitaan orang lain sebagai lelucon.
Enam Pelaku yang Akhirnya Terungkap
Universitas Udayana akhirnya mengambil tindakan. Enam mahasiswa teridentifikasi terlibat dalam perundungan pasca-kematian TAS dan dikenai sanksi:
- Leonardo Jonathan Handika Putra – Mahasiswa angkatan 2022 Fakultas Kelautan dan Perikanan, Wakil Ketua BEM Fakultas
- Maria Victoria Viyata Mayos – Mahasiswa FISIP 2023, Kepala Departemen Eksternal Himapol FISIP Unud
- Muhammad Riyadh Alvitto Satriyaji Pratama – Mahasiswa FISIP, Kepala Departemen Kajian Aksi Strategis dan Pendidikan Himapol FISIP
- Anak Agung Ngurah Nanda Budiadnyana – Mahasiswa FISIP 2025, Wakil Kepala Departemen Minat dan Bakat Himapol FISIP
- Vito Simanungkalit – Mahasiswa FISIP 2025, Wakil Kepala Departemen Eksternal Himapol FISIP
- Putu Ryan Abel Perdana Tirta – Mahasiswa FISIP angkatan 2023, Ketua Komisi II DPM FISIP Unud
Mereka semua adalah pengurus organisasi kemahasiswaan. Orang-orang yang seharusnya menjadi contoh, yang seharusnya memimpin dengan integritas dan empati.
Pada 17 Oktober 2025, keenam mahasiswa ini dipecat dari jabatan mereka di organisasi kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (Himapol) FISIP Unud merilis pernyataan sikap yang menyebut tindakan mereka “amoral dan menambah luka bagi yang berduka.”
Sanksi yang Dianggap Terlalu Ringan
Wakil Dekan III FISIP Unud, I Made Anom Wiranata, mengumumkan sanksi akademik berupa pengurangan nilai softskill untuk satu semester. Para pelaku juga diwajibkan membuat surat pernyataan dan video klarifikasi permintaan maaf.
“Sanksi ini bukanlah ekspresi kebencian kami sebagai seorang pimpinan. Kami ini seorang guru, tugasnya mendidik,” tegas Anom, menekankan bahwa sanksi adalah bentuk pembinaan, bukan pembalasan.
Namun publik tidak puas. Hashtag #Timothy trending di media sosial dengan lebih dari 40.000 postingan. Netizen menuntut sanksi yang lebih berat. Banyak yang mempertanyakan: mengapa hanya pengurangan nilai untuk satu semester? Mengapa tidak drop out (DO)?
Seseorang telah kehilangan nyawa. Seorang anak telah meninggal karena perlakuan mereka. Apakah nilai D untuk satu semester adalah harga yang sepadan dengan nyawa Timothy?
Permintaan Maaf yang Terlambat
Keenam mahasiswa itu akhirnya membuat video permintaan maaf yang diunggah di media sosial. Mereka mengakui kesalahan dan menyatakan siap bertanggung jawab.
Tapi pertanyaannya: apakah permintaan maaf bisa mengembalikan Timothy? Apakah video di Instagram bisa mengobati luka keluarganya? Apakah kata “maaf” cukup untuk jiwa yang telah pergi?
Akun X @buzzrsultanlulu menulis: “Bullying serius bisa bunuh. Timothy Udayana diejek mirip Kekeyi, jatuh dari lantai 2. Pelaku minta maaf, tapi luka tetap ada. Yuk, stop bullying.”
Akun @popfmindonesia membagikan video permintaan maaf itu dengan komentar pedas: “Sejumlah mahasiswa Universitas Udayana (Unud) kompak meminta maaf usai ketahuan mentertawakan kematian Timothy Anugerah Saputra. Jasad Timothy ditemukan tergeletak di depan lobi kampus Unud, Denpasar pada Rabu, 15 Oktober 2025.”
Respons Universitas: Belasungkawa dan Janji Investigasi
Universitas Udayana menyatakan duka mendalam dan berjanji menindak pelanggaran yang mencederai nilai kemanusiaan. Rektorat menyampaikan ucapan belasungkawa resmi kepada keluarga TAS.
Kampus membuka proses investigasi dan memberikan layanan konseling bagi civitas akademika yang terdampak. Tapi semua ini datang terlambat. Timothy sudah pergi. Tidak ada konseling yang bisa menyelamatkannya lagi.
Pelajaran yang Harus Dipetik
Kasus TAS bukan kasus pertama, dan sayangnya mungkin bukan yang terakhir. Tapi ini harus menjadi titik balik. Beberapa pelajaran penting:
1. Bullying Membunuh – Secara Literal Ini bukan metafora. Timothy benar-benar meninggal karena bullying. Kata-kata kasar, ejekan berulang, dan isolasi sosial bisa membunuh seseorang, pelan-pelan, dari dalam.
2. Organisasi Kemahasiswaan Bukan Jaminan Karakter Keenam pelaku adalah pengurus organisasi mahasiswa. Jabatan tidak menjamin empati. Posisi tidak sama dengan integritas.
3. Kampus Harus Menjadi Safe Space Universitas bukan hanya tempat belajar akademis, tapi juga tempat pembentukan karakter. Jika kampus tidak aman secara psikologis, maka pendidikan yang diberikan tidak lengkap.
4. Sanksi Harus Setimpal Ketika bullying mengakibatkan kematian, sanksi harus mencerminkan keseriusan perbuatan. Pengurangan nilai satu semester tidak cukup. Ini soal nyawa manusia.
Penutup: Untuk Timothy dan Korban Lainnya
Timothy adalah mahasiswa Sosiologi yang mempelajari tentang masyarakat. Ironisnya, ia menjadi korban dari masyarakat yang ia pelajari.
Ia ramah, santun, berprestasi. Ia punya mimpi, punya harapan, punya masa depan. Semua itu direnggut oleh kata-kata kejam dari orang-orang yang seharusnya menjadi teman, yang seharusnya mendukung, yang seharusnya peduli.
Kematian Timothy adalah pengingat bahwa bullying bukan main-main. Ini bukan sekadar “candaan”. Ini bukan “cuma guyonan”. Ini adalah kekerasan yang nyata, yang melukai, yang membunuh.
Untuk Timothy dan semua korban bullying lainnya: kalian tidak sendirian. Kalian penting. Kalian berharga. Dan dunia ini kehilangan cahaya ketika kalian pergi.
Untuk para pelaku bullying di mana pun: ingatlah bahwa kata-kata kalian punya kekuatan. Kekuatan untuk membangun, tapi juga kekuatan untuk menghancurkan. Pilihan ada di tangan kalian.
Dan untuk kita semua: mari belajar dari tragedi ini. Mari ciptakan lingkungan yang lebih empatik, lebih peduli, lebih manusiawi. Karena tidak ada yang pantas mati sendirian, terluka, dan diabaikan.
Rest in peace, Timothy Anugerah Saputra. Semoga keadilan bisa kamu rasakan, meski tidak lagi di dunia ini.
DISCLAIMER: Informasi ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan ke psikolog, psikiater, atau klinik kesehatan mental terdekat. Anda tidak sendirian.
CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk Suara.com, iNews.id, Detik.com, Media Indonesia, dan berbagai media nasional. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, membela korban dan menentang segala bentuk bullying yang merenggut nyawa manusia. Kami berduka atas kepergian Timothy dan mendoakan yang terbaik untuk keluarga yang ditinggalkan.





satu Respon
Stop bullying!!!