Jakarta – Kekalahan Timnas Indonesia 0-1 dari Irak pada Minggu (12/10/2025) dini hari bukan sekadar kegagalan olahraga biasa. Di balik eliminasi dari Kualifikasi Piala Dunia 2026 ini, tersimpan kisah tentang keputusan strategis yang keliru dan ambisi yang akhirnya berujung bencana. Erick Thohir, Ketua Umum PSSI memilih memecat Shin Tae-yong di tengah kompetisi krusial, kini harus menanggung konsekuensi politik dari blunder besar yang ia buat.
Keputusan Fatal di Tengah Jalan
Januari 2025, saat Indonesia berada di posisi ketiga klasemen Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 dengan peluang besar lolos ke putaran keempat, Erick Thohir membuat keputusan mengejutkan: memecat Shin Tae-yong dan menggantinya dengan Patrick Kluivert.
Keputusan ini tidak hanya mengejutkan, tetapi juga melanggar prinsip dasar manajemen tim olahraga yang mengutamakan stabilitas dan kontinuitas, terutama di tengah kompetisi paling penting dalam sejarah sepak bola Indonesia modern.
Alasan yang Tidak Meyakinkan
Erick mengklaim pemecatan dilakukan karena masalah komunikasi, kekompakan tim, dan dinamika ruang ganti yang memanas. Menurut Erick, Shin Tae-yong dianggap ogah berdiskusi dan menciptakan ketegangan di internal tim.
Namun, alasan-alasan ini terdengar mengada-ada bagi banyak pengamat sepak bola. Jika masalahnya adalah komunikasi, seharusnya ada mekanisme mediasi dan perbaikan, bukan pemecatan mendadak yang berisiko menghancurkan momentum tim.
Yang lebih mencurigakan, pemecatan dilakukan tepat saat Indonesia mencapai prestasi terbaiknya. Logika bisnis dan olahraga mengajarkan bahwa Anda tidak mengganti orang yang sedang membawa hasil positif, apalagi di tengah perjalanan krusial.
Prestasi STY yang Diabaikan
Dalam 5 tahun melatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong mencatatkan prestasi luar biasa yang tidak pernah dicapai pelatih manapun sebelumnya:
- Membawa Indonesia lolos ke Putaran Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 untuk pertama kalinya dalam sejarah
- Menempatkan Indonesia di posisi ketiga klasemen dengan peluang besar melaju ke putaran keempat
- Meningkatkan peringkat FIFA dari 142 menjadi 134 dunia
- Membangun sistem permainan yang jelas dan efektif
- Mengintegrasikan pemain naturalisasi dengan pemain lokal secara harmonis
Prestasi-prestasi ini adalah fakta keras yang tidak bisa dibantah. Bahkan putra STY, Shin Jae-won, sampai mempertanyakan dengan nada tidak percaya: “Membawa Indonesia ke posisi ketiga di Kualifikasi Piala Dunia, bagaimana mungkin Ayah bisa dipecat?”
Pertanyaan ini juga bergema di hati jutaan penggemar sepak bola Indonesia yang menyaksikan pencapaian luar biasa STY diabaikan begitu saja.
Perbandingan dengan Era Kluivert
Hanya dalam 10 bulan, Patrick Kluivert berhasil membuktikan bahwa keputusan Erick adalah kesalahan besar:
- 5 kekalahan dalam 9 pertandingan
- Nol poin di putaran keempat kualifikasi (dua kekalahan beruntun)
- Tidak ada identitas permainan yang jelas
- Blunder pertahanan yang berulang
- Tereliminasi dari Kualifikasi Piala Dunia 2026
Kontras yang sangat tajam dengan era STY yang membawa Indonesia dari gelap menuju cahaya, hanya untuk dikembalikan ke kegelapan oleh keputusan Erick.

Isu Mafia Bola dan Tekanan Politik
Yang membuat situasi semakin keruh adalah munculnya isu tentang mafia bola dan tekanan dari kalangan Exco PSSI dalam proses pemecatan STY. Meskipun Erick membantah keras tudingan ini, pola peristiwa yang terjadi membuat banyak pihak meragukan ketulusan bantahannya.
Indikasi Kepentingan Tersembunyi
Beberapa fakta yang mencurigakan:
- Pemecatan dilakukan saat STY mencapai prestasi terbaik
- Penunjukan Kluivert yang memiliki track record tidak terlalu menonjol sebagai pelatih
- Alasan pemecatan yang tidak substansial dan terkesan dibuat-buat
- Timing yang sangat tidak tepat di tengah kompetisi krusial
Pola ini menimbulkan pertanyaan: apakah ada kepentingan lain di balik pemecatan STY? Apakah ada oknum yang tidak senang dengan kesuksesan STY dan ingin menggantikannya dengan orang yang lebih “kooperatif”??
Kegagalan Menjaga Independensi
Sebagai Ketua Umum PSSI, Erick seharusnya menjadi benteng terakhir yang melindungi kepentingan sepak bola Indonesia dari berbagai kepentingan yang tidak sehat. Namun, keputusan memecat STY justru menimbulkan persepsi bahwa Erick gagal menjaga independensi dan tunduk pada tekanan internal.
Jika benar ada mafia bola yang berperan dalam pemecatan STY, maka Erick telah melakukan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepadanya. Jika tidak ada, maka keputusan memecat STY adalah blunder yang fatal.
Apapun situasinya, Erick tetap harus bertanggung jawab atas kegagalan besar ini.
Dampak terhadap Karir Politik Erick Thohir
Kegagalan mengelola PSSI dan membawa Indonesia ke Piala Dunia 2026 kini menjadi noda besar dalam karir politik Erick Thohir. Sebagai sosok yang pernah dipercaya sebagai Menteri BUMN dan dipandang sebagai profesional muda berbakat, kredibilitasnya kini dipertanyakan.
Gelombang Kritik Masif
Sejak Indonesia tersingkir dari Kualifikasi Piala Dunia 2026, media sosial dibanjiri kritik tajam terhadap Erick:
- Tagar #ErickThohirOut trending selama berhari-hari
- Meme dan sindiran bertebaran di berbagai platform
- Bahkan kalangan yang sebelumnya mendukung mulai berbalik menjadi kritikus
Gelombang kritik ini bukan sekadar amarah sesaat, tetapi mencerminkan kekecewaan mendalam masyarakat yang merasa mimpi mereka dihancurkan oleh keputusan egois dan tidak terkalkulasi.
Hancurnya Citra Profesional
Selama ini, Erick dikenal sebagai businessman sukses yang profesional dan visioner. Ia berhasil mengelola berbagai bisnis besar dan dipercaya pemerintah untuk memimpin transformasi BUMN.
Namun, blunder di PSSI menghancurkan citra tersebut. Keputusan memecat pelatih berprestasi di tengah kompetisi krusial menunjukkan bahwa Erick tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang manajemen olahraga, atau lebih buruk lagi, ia membiarkan kepentingan lain mengalahkan pertimbangan rasional.
Citra profesional yang dibangun bertahun-tahun runtuh dalam hitungan bulan. Orang-orang mulai mempertanyakan: jika Erick bisa salah besar dalam mengelola PSSI, bagaimana dengan keputusan-keputusan penting lain yang pernah ia buat saat menjadi Menteri BUMN?
Beban Politik Jangka Panjang
Dalam politik Indonesia, publik memiliki ingatan panjang terhadap kegagalan tokoh publik. Kasus ini akan terus menghantui Erick di setiap langkah karirnya ke depan.
Jika Erick memiliki ambisi politik yang lebih besar—misalnya mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah atau posisi strategis lainnya—kegagalan di PSSI akan selalu menjadi senjata lawan politiknya. Narasi “orang yang menghancurkan mimpi Indonesia di Piala Dunia” akan digunakan berulang kali untuk menjatuhkan kredibilitasnya.
Tekanan Mundur dari PSSI
Saat ini, tekanan agar Erick mundur dari PSSI semakin kuat. Berbagai kelompok suporter dan pengamat sepak bola mulai menyuarakan desakan tersebut.
Namun, mundur dari PSSI pun bukan solusi mudah. Jika ia mundur, akan dianggap sebagai pengakuan atas kegagalan dan memperburuk citra politiknya. Jika bertahan, ia harus menghadapi kritik terus-menerus dan tekanan untuk mengundurkan diri.
Dilema klasik: terjebak antara dua pilihan yang sama-sama buruk, akibat keputusan keliru yang dibuat sebelumnya.
Spekulasi Masa Depan Politik Erick
Melihat dampak besar dari kasus ini, masa depan politik Erick menjadi sangat tidak pasti:
Skenario Optimis
Jika Erick mampu mengakui kesalahan, melakukan reformasi di PSSI, dan membawa perbaikan nyata, ia mungkin bisa menyelamatkan sebagian reputasinya. Namun, ini membutuhkan kerendahan hati dan kerja keras yang luar biasa.
Skenario Realistis
Erick akan terus menghadapi kritik dan skeptisisme dalam setiap langkah karirnya. Kasus PSSI akan selalu menjadi bagian dari narasi tentang dirinya. Ambisi politik yang lebih besar akan sangat sulit diwujudkan.
Skenario Pesimis
Jika situasi terus memburuk dan Erick gagal menunjukkan leadership yang tepat, ia bisa kehilangan semua kredibilitas politik dan terpaksa mundur dari panggung publik.
Erick Thohir yang seharusnya menjadi pahlawan yang membawa Indonesia ke Piala Dunia justru menjadi villain yang menghancurkan mimpi tersebut.
Nama yang seharusnya dikenang dengan penuh kehormatan kini dikenang dengan kekecewaan dan kemarahan. Legacy yang diinginkan berubah menjadi stigma yang sulit dihapuskan.
Ini adalah kisah peringatan tentang bagaimana ambisi yang salah arah dan keputusan yang tidak terkalkulasi bisa menghancurkan karir yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Pertanyaan yang tersisa kini: Akankah Erick Thohir berani mengakui kesalahan dan mengambil langkah korektif yang tepat? Atau ia akan terus bertahan dengan denial hingga kehilangan semua kredibilitas yang tersisa?
Waktu akan menjawab. Tetapi satu hal yang pasti: blunder besar ini akan terus mengorbankan karir politik Erick Thohir, seperti ia korbankan mimpi 270 juta rakyat Indonesia untuk berada di pentas Piala Dunia.
Catatan Penutup:
Kegagalan adalah bagian dari perjalanan, tetapi kegagalan yang disebabkan oleh keputusan sembrono dan mengabaikan fakta adalah dosa yang tidak termaafkan dalam kepemimpinan publik.
Erick Thohir kini harus memilih: menjadi pemimpin yang berani bertanggung jawab, atau menjadi contoh buruk tentang bagaimana ambisi dan kesombongan bisa menghancurkan segalanya.
“The true test of leadership is not avoiding mistakes, but how you respond when mistakes are made. In this test, Erick Thohir is failing spectacularly.”
satu Respon
ET harus bertanggungjawab