Mewartakan dengan Jiwa

WNI Terus Jadi Korban, Iklan Scam Kamboja ‘Kebal Hukum’?

penampungan wni di kamboja

JAKARTA, Warta Jiwa – “Tolong…saya tidak bisa tidur.” Pesan singkat itu dikirim Daniel (bukan nama sebenarnya), warga negara Indonesia yang terjebak dalam kompleks penipuan online di Kamboja, kepada Amnesty International pada 2025. Daniel adalah salah satu dari ribuan WNI yang tertipu lowongan kerja bergaji tinggi, hanya untuk berakhir disekap, dipaksa menipu orang lain, dan bahkan disiksa.

Sejak 2020 hingga Maret 2024, Kementerian Luar Negeri mencatat 3.703 WNI telah menjadi korban penipuan online scam dengan modus lowongan kerja ke luar negeri, dengan Kamboja sebagai negara dengan korban terbanyak: 1.914 orang.

Dan yang paling mengkhawatirkan: angka ini terus bertambah setiap hari. Bahkan baru-baru ini, pada 21 Oktober 2025, 110 WNI diselamatkan dari jeratan sindikat penipuan online di Kota Chrey Thum, Provinsi Kandal, Kamboja.

Pertanyaannya: mengapa setelah ribuan korban, pemerintah Indonesia masih belum mampu menghentikan fenomena ini?

Modus yang Sama, Korban yang Terus Bertambah

Polanya hampir selalu sama. Lowongan kerja dengan gaji fantastis – Rp10-15 juta per bulan – disebarkan melalui Facebook, Instagram, LinkedIn, dan Telegram. Posisi yang ditawarkan terdengar menjanjikan: customer service, marketing, atau admin.

Persyaratannya mudah: bisa bahasa Inggris, tahu komputer, usia 19-35 tahun. Tidak perlu visa, tidak perlu kontrak. Yang penting berani berangkat. Tiket dan akomodasi ditanggung perusahaan.

Bagi mereka yang sedang kesulitan mencari kerja, tawaran ini seperti mukjizat.

Modus penipuan biasanya dimulai melalui tawaran melalui akun LinkedIn. Penipu menawarkan pekerjaan sebagai customer support dengan gaji menggiurkan penempatan di Kamboja, biaya perjalanan dan akomodasi akan ditanggung oleh pemberi kerja.

Realitas di Lapangan: Dari Mimpi Jadi Mimpi Buruk

Rendi (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu orang yang tejebak scam tawaran kerja ke Kamboja. Ia terbang ke Phnom Penh pada Mei 2022 dengan penuh harapan. Setibanya di bandara, ia dijemput oleh orang yang menjanjikan pekerjaan.

Tapi bukan ke kantor, ia dibawa ke sebuah kompleks yang lebih mirip penjara.

“Di sana, kami disekap di gedung tinggi. Passport ditahan. Ponsel dirampas. Kami dipaksa duduk di depan komputer 12-16 jam per hari untuk menipu orang lain,” cerita seorang korban lain yang berhasil melarikan diri.

“Kalau target penipuan tidak tercapai, kami dipukuli. Kalau mencoba kabur, ada satpam bersenjata yang siaga 24 jam.”

Laporan Amnesty International yang dirilis pada Juni 2025 mengungkap kengerian yang dialami para korban: perbudakan, perdagangan manusia, pekerja anak, dan penyiksaan dilakukan oleh geng kriminal dalam skala besar di lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja.

Daniel, WNI yang pesan WhatsApp-nya membuka artikel ini, adalah salah satu dari setidaknya 45 penyintas yang diwawancarai Amnesty yang mendengar, menyaksikan, atau menjadi korban penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.

Yang lebih tragis, ketika akhirnya “diselamatkan”, Daniel justru ditahan di berbagai fasilitas imigrasi Kamboja selama total 67 hari dalam kondisi buruk – karena otoritas Kamboja tidak mengidentifikasi mereka sebagai korban perdagangan manusia.

Penyelamatan yang Dramatis, Tapi Tidak Mencegah

Pada 21 Oktober 2025, 110 WNI diselamatkan dari kompleks penipuan online di Chrey Thum. Dari jumlah itu, 97 WNI melarikan diri sendiri, sementara 13 lainnya berhasil dikeluarkan oleh otoritas setempat. 99 orang diamankan di kantor polisi, 11 orang dirawat di rumah sakit akibat luka fisik dan kelelahan.

Yang mengejutkan: 4 orang di antaranya justru diduga sebagai pelaku kekerasan yang berperan sebagai leader dalam operasi penipuan online. Korban yang berubah jadi pelaku. Para korban berasal dari Medan, Manado, Pontianak, dan Batam. Mereka telah tinggal di Kamboja antara dua bulan hingga dua tahun.

Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Mukhtarudin menyatakan: “Kami memastikan seluruh WNI yang menjadi korban maupun yang terlibat dalam kasus ini dalam kondisi aman.”

Tapi pertanyaannya: mengapa mereka bisa terjebak di sana selama bertahun-tahun tanpa diselamatkan?

Respons Pemerintah: Reaktif, Bukan Preventif

Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah, tapi mayoritas bersifat reaktif – menyelamatkan korban setelah terjebak – bukan preventif mencegah mereka berangkat.

1. Kementerian P2MI: Larangan Tanpa Taring

Menteri P2MI Abdul Kadir Karding pada 17 April 2025 secara tegas melarang WNI bekerja di Kamboja, Myanmar, dan Thailand.

“Indonesia tidak memiliki kerja sama penempatan dengan Kamboja, Thailand, dan Myanmar. Jadi, jika ada tawaran pekerjaan datang dari tiga negara tersebut, mohon untuk lebih jauh berhati-hati karena ada begitu banyak kasus TPPO (tindak pidana perdagangan orang) yang terjadi,” kata Karding.

Tapi larangan ini tidak memiliki enforcement yang kuat. Tidak ada mekanisme untuk mencegah WNI yang tetap ingin berangkat. Tidak ada sanksi hukum yang jelas.

Direktur Jenderal Pelindungan KemenP2MI Rinardi mengakui pihaknya sedang merancang strategi khusus berkolaborasi dengan kementerian/lembaga terkait. “Supaya nantinya kami akan memiliki suatu strategi yang sama, bagaimana kita untuk menyelesaikan permasalahan ini sampai ke akar-akarnya,” katanya pada April 2025.

Pertanyaannya: sudah berapa tahun ribuan korban berjatuhan, tapi strategi baru mulai dirancang tahun ini?

2. Komdigi: Takedown Satu, Tumbuh Seribu

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) gencar mengawasi iklan lowongan kerja palsu di media sosial. Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria menyatakan akan melakukan takedown iklan-iklan tersebut.

Tapi di lapangan, hasilnya mengecewakan. Direktur Siber Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kombes Pol Raja Sinambela mengeluh: “Takedown satu, tumbuh seribu. Berkembang terus. Kami sudah banyak men-takedown, tapi muncul lagi dan lagi.”

“Saking mudahnya membuat akun media sosial, dan masyarakat kita cenderung cepat percaya,” kata Raja pada 24 April 2025.

Yang lebih frustrating, ketika aparat mencoba mencegah keberangkatan calon korban, mereka justru sering menolak. “Contoh, ada orang yang mau berangkat ke Myanmar. Kita sudah menduga dia akan dijadikan scammer. Kita cegah, dia melawan. ‘Apa hak bapak melarang saya? Saya mau wisata ke sana.’ Siapa yang bisa melarang?” ujar Raja.

3. Polri: Edukasi di Tengah Gelombang Korban

Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) Brigadir Jenderal Nurul Azizah menyatakan bahwa salah satu aspek pencegahan adalah edukasi kepada masyarakat.

Tapi edukasi saja tidak cukup ketika orang-orang sedang putus asa mencari pekerjaan. Periode Februari-Maret 2025 saja, sejumlah 699 orang menjadi korban dan harus dipulangkan dari Myanmar.

4. Kementerian Luar Negeri: Memulangkan Korban dengan Biaya Sendiri

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah mengadakan pertemuan dengan Kepala Kepolisian Kamboja dan Menteri Dalam Negeri Kamboja untuk meminta tiga hal: percepatan repatriasi, penanganan kasus serupa, dan perundingan nota kesepahaman terkait kejahatan lintas batas.

Tapi proses pemulangan sering kali berbelit dan menjadi beban finansial korban. Rendi, yang diselamatkan pada Agustus 2022, harus merogoh kocek sendiri untuk membayar denda kelebihan izin tinggal di Kamboja sebesar US$510. Ia juga harus membeli sendiri tiket pulang ke Indonesia.

“Pihak KBRI mengaku tidak punya anggaran untuk membiayai,” kata Rendi dengan pahit.

Akar Masalah: Fenomena “Lapar Kerja”

Direktur Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo mengatakan bahwa modus penipuan lowongan di media sosial merupakan konsekuensi dari kelangkaan kerja di Indonesia.

“Saat ini, di Indonesia sedang terjadi fenomena lapar kerja. Fenomena itu pun menciptakan penipuan lowongan kerja palsu yang menjerumuskan,” katanya.

Data mendukung analisis ini. Di tengah PHK massal dan tingginya angka pengangguran, tawaran gaji Rp10-15 juta per bulan adalah daya tarik yang luar biasa kuat, bahkan ketika rasio mengatakan ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan.

Kolusi dengan Pihak Kamboja: Penghalang Terbesar

Laporan Amnesty International mengungkap fakta yang lebih gelap: ada koordinasi – dan kemungkinan kolusi – antara para pemimpin kompleks asal Tiongkok dan polisi Kamboja, yang gagal menutup kompleks-kompleks tersebut kendati terjadi pelanggaran HAM yang parah di sana.

Kompleks-kompleks penipuan ini beroperasi secara terang-terangan di Kota Sihanoukville, yang sudah terkenal sebagai pusat di mana perusahaan-perusahaan China ilegal melakukan aktivitas kriminal seperti cyber scam selama bertahun-tahun tanpa pengawasan.

“Di Sihanoukville banyak investor asal Tiongkok yang ternyata sindikat kriminal yang menjalankan bisnis penipuan,” kata Sekretaris Pertama Fungsi Perlindungan WNI KBRI Phnom Penh, Teguh Adhi Primasanto.

Kombes Raja Sinambela menegaskan: “Di Kamboja, mereka baru merdeka, hukum di sana belum terlalu ketat. Itu sama dengan kondisi Indonesia 40 tahun lalu. Di Myanmar malah lebih parah, yang berlaku di sana hukum rimba, tidak ada hukum negara.”

Kritik Tajam: Pemerintah Terlambat dan Setengah Hati

Setelah melihat data dan fakta di lapangan, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa respons pemerintah Indonesia terhadap krisis ini adalah terlambat, setengah hati, dan tidak efektif.

3.703 korban sejak 2020 – itu bukan angka kecil. Itu adalah ribuan keluarga yang hancur, ribuan jiwa yang trauma, ribuan masa depan yang terampas.

Dan yang lebih menyakitkan: pemerintah sudah tahu sejak bertahun-tahun lalu, tapi hingga 2025 masih “merancang strategi” dan “mempersiapkan RPP”.

Sementara itu:

  • Iklan lowongan palsu masih menjamur di media sosial
  • Sindikat perekrut masih bebas beroperasi di Indonesia
  • KBRI tidak punya anggaran untuk memulangkan korban
  • Tidak ada mekanisme pencegahan yang efektif
  • Tidak ada sanksi tegas untuk agen perekrut

Penutup: Sampai Kapan Korban Terus Berjatuhan?

Daniel, WNI yang pesannya membuka artikel ini, masih mengalami trauma hingga hari ini. “Tolong…saya tidak bisa tidur,” pesannya kepada Amnesty.

110 WNI yang baru diselamatkan 21 Oktober 2025 masih dalam proses pemulihan. Beberapa di antara mereka mengalami luka fisik dan kelelahan setelah bertahun-tahun disekap.

Dan di luar sana, entah berapa ratus atau ribu WNI lainnya yang masih terjebak dalam kompleks-kompleks penipuan di Kamboja, Myanmar, dan negara lainnya. Mereka menunggu diselamatkan. Mereka menangis meminta tolong. Tapi suara mereka tidak sampai.

Pertanyaan terbesarnya bukan lagi “apakah pemerintah bisa menghentikan ini?” – karena sudah jelas pemerintah punya kemampuan untuk menghentikan ini jika ada political will yang kuat.

Pertanyaan sebenarnya adalah: “berapa banyak lagi korban yang harus berjatuhan sebelum pemerintah benar-benar bertindak serius?”

Karena setiap hari yang berlalu tanpa tindakan konkret, adalah hari di mana WNI lainnya mungkin sedang terbang ke Kamboja dengan penuh harapan, hanya untuk berakhir disekap, dipaksa menipu, dan disiksa.

Dan pesan “Tolong…saya tidak bisa tidur” akan terus terulang, dari korban ke korban, dari tahun ke tahun, sampai pemerintah Indonesia benar-benar bangun dan bertindak.


FAKTA KUNCI:

KORBAN:

  • Total WNI korban online scam 2020-Maret 2024: 3.703 orang (8 negara)
  • Korban terbanyak di Kamboja: 1.914 orang
  • Korban terbaru diselamatkan (21 Oktober 2025): 110 WNI
  • Korban dipulangkan dari Myanmar (Feb-Maret 2025): 699 orang
  • Negara tujuan: Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Filipina, UAE

MODUS OPERANDI:

  • Media rekrutmen: Facebook, Instagram, LinkedIn, Telegram
  • Posisi ditawarkan: Customer service, marketing, admin
  • Gaji yang dijanjikan: Rp10-15 juta/bulan (US$1.000-1.200)
  • Target: Usia 19-35 tahun, aktif medsos, pemilik paspor baru
  • Daerah asal korban: Medan, Manado, Pontianak, Batam, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Riau, Kepri, Sumsel, Bangka Belitung

KONDISI DI LAPANGAN:

  • Disekap dalam kompleks seperti penjara
  • Paspor ditahan, ponsel dirampas
  • Dipaksa bekerja 12-16 jam/hari sebagai scammer
  • Kekerasan fisik jika target tidak tercapai
  • Lebih dari 50 kompleks penipuan online di Kamboja (Amnesty)

RESPONS PEMERINTAH:

  • KemenP2MI: Larangan bekerja di Kamboja, Myanmar, Thailand (April 2025) – tidak ada enforcement
  • Komdigi: Takedown iklan palsu – “takedown satu, tumbuh seribu”
  • Polri: Edukasi masyarakat – belum efektif
  • Kemlu: Repatriasi korban – korban bayar sendiri denda dan tiket
  • RPP Pengendalian Judi Online: Masih dalam proses finalisasi sejak April 2025

CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk laporan Amnesty International, data Kementerian Luar Negeri, KemenP2MI, Polri, Komdigi, VOA Indonesia, Kompas.id, Tempo.co, Detik.com, Liputan6.com, dan Kumparan.com. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, mengkritisi kebijakan pemerintah yang gagal melindungi warganya, dan membela hak-hak korban yang terabaikan.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *