Mewartakan dengan Jiwa

Transformasi Lembaga Publik dan BUMN: Menuju Organisasi Adaptif dalam Era Disrupsi

galeri foto 1707294559
Sumber: publikasi bumn.go.id

Gejolak Reformasi Struktural di Tengah Disrupsi

Oktober 2025 menjadi bulan yang menandai perubahan signifikan dalam tata kelola kelembagaan publik Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2025 tentang Restrukturisasi dan Penguatan Fungsi Lembaga Publik Strategis disahkan, diikuti penggabungan sejumlah BUMN dan penyesuaian struktur kementerian yang dinilai tumpang tindih. Salah satu langkah paling mencolok adalah pengalihan sebagian fungsi Kementerian BUMN ke dalam Badan Otoritas Investasi dan Holding Nasional (BOIHN) yang langsung berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan.
 Antaranews mencatat bahwa restrukturisasi ini dilakukan untuk menciptakan efisiensi dan mempercepat pengambilan keputusan dalam pengelolaan aset negara. Namun, di sisi lain, perubahan mendadak ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pegawai dan pimpinan BUMN karena menuntut adaptasi cepat terhadap mekanisme baru yang berbasis digital governance dan value creation.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menegaskan bahwa reformasi kelembagaan ini bukan sekadar perampingan birokrasi, melainkan transisi menuju organisasi adaptif yang mampu bertahan di tengah perubahan teknologi, geopolitik, dan ekonomi global. Dengan kata lain, negara sedang melakukan eksperimen besar dalam manajemen organisasi publik – menggantikan paradigma stabilitas dengan paradigma kelenturan.

Gelombang Reformasi dan Tekanan Adaptasi

Kebijakan restrukturisasi lembaga publik dan BUMN muncul dari dorongan efisiensi fiskal dan tekanan kompetitif terhadap kinerja korporasi negara. Laporan Media Indonesia edisi 10 Oktober 2025 mencatat bahwa total 23 BUMN sedang dalam proses konsolidasi menjadi 11 holding utama. Pemerintah berharap langkah ini dapat memangkas biaya koordinasi dan meningkatkan nilai investasi negara di sektor strategis seperti energi, pangan, logistik, dan telekomunikasi.

Namun di sisi lain, perubahan ini menuntut transformasi tata kelola internal yang tidak mudah. Banyak lembaga publik menghadapi dilema antara menjaga stabilitas organisasi dan memenuhi tuntutan perubahan cepat. Sejumlah pejabat menengah mengakui bahwa “perubahan struktur tidak otomatis mengubah perilaku organisasi,” sebab resistensi muncul dari budaya kerja yang masih hierarkis dan berbasis prosedur.
 Dalam konteks organisasi publik, restrukturisasi bukan hanya soal menghapus unit atau membentuk badan baru, melainkan juga membangun kapabilitas adaptif (adaptive capability) agar organisasi mampu menyesuaikan diri dengan kompleksitas lingkungan yang dinamis.

Untuk menjawab tantangan itu, pemerintah memperkenalkan Public Adaptation Index (PAI), yaitu instrumen baru pengukuran tingkat kesiapan organisasi publik dalam menghadapi perubahan. PAI mencakup empat dimensi: kecepatan respons kebijakan, fleksibilitas struktur, kapasitas teknologi, dan inovasi sumber daya manusia. Indeks ini diharapkan menjadi panduan bagi kementerian dan BUMN dalam mengidentifikasi hambatan adaptasi internal.

Organisasi Adaptif dalam Perspektif Institutional Change

Kerangka Adaptive Organizations and Institutional Change Theory (Garud, Hardy, & Maguire, 2007; Scott, 2014) menjelaskan bahwa organisasi publik bertahan bukan karena stabilitas, tetapi karena kemampuannya berevolusi bersama lingkungannya.
 Dalam teori ini, perubahan organisasi publik dipahami sebagai path-dependent process: lembaga tidak bisa sepenuhnya meninggalkan masa lalunya, tetapi dapat merekonstruksi praktik lama menjadi kompatibel dengan tantangan baru.

Dalam konteks restrukturisasi BUMN dan lembaga publik, teori ini menyoroti tiga hal utama.
Pertama, perubahan kelembagaan bukanlah proses administratif, melainkan proses politik dan budaya. Peralihan fungsi dari Kementerian BUMN ke BOIHN menunjukkan pergeseran pola kekuasaan dari ministerial control ke strategic coordination, di mana keputusan investasi bersifat lebih fleksibel tetapi membutuhkan integritas tinggi agar tidak kehilangan akuntabilitas publik.

Kedua, organisasi adaptif memerlukan kepemimpinan transisional (transitional leadership) yang mampu mengelola ketidakpastian. Banyak direktur BUMN kini berperan bukan sekadar eksekutor kebijakan, tetapi sebagai mediator antara birokrasi dan pasar. Dalam wawancara dengan Kompas (15 Oktober 2025), salah satu CEO holding energi menyebut bahwa “tantangan terbesar bukan teknologi, tetapi perubahan pola pikir pegawai dari ‘menunggu instruksi’ menjadi ‘mengambil inisiatif’.” Kepemimpinan adaptif menuntut kemampuan membaca arah perubahan, menenangkan keresahan internal, dan mengartikulasikan visi yang dapat diterima semua pihak.

Ketiga, teori ini menekankan pentingnya pembelajaran institusional (institutional learning). Reformasi kelembagaan hanya berhasil jika disertai sistem refleksi – bagaimana lembaga menilai kesalahan masa lalu dan memperbaiki mekanismenya. Dalam hal ini, BOIHN dan Kementerian Keuangan mulai menerapkan adaptive review system setiap triwulan, yang memadukan audit kinerja dengan evaluasi budaya organisasi.

Menjaga Akuntabilitas di Tengah Perubahan

Transformasi besar dalam organisasi publik selalu menyisakan paradoks. Di satu sisi, perubahan diperlukan untuk menghadapi disrupsi digital dan tekanan global; di sisi lain, percepatan reformasi dapat mengancam akuntabilitas jika tidak diimbangi dengan kontrol yang transparan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa restrukturisasi sering gagal karena terlalu fokus pada desain formal, mengabaikan aspek manusia dan budaya organisasi. Oleh sebab itu, tantangan utama reformasi kelembagaan 2025 bukan sekadar institutional redesign, melainkan institutional re-learning – bagaimana lembaga publik membangun kebiasaan belajar yang terus-menerus, fleksibel, dan reflektif.

Pendekatan adaptif juga menuntut keseimbangan antara kontrol dan inovasi. Pemerintah harus memberi ruang eksperimentasi kepada lembaga publik tanpa melepaskan prinsip akuntabilitas. Dalam diskusi “Adaptif Bureaucracy Forum” yang digelar Universitas Gadjah Mada (22 Oktober 2025), para peneliti mengingatkan bahwa birokrasi yang terlalu rigid kehilangan daya tanggap, sedangkan yang terlalu longgar kehilangan arah. Di antara keduanya, dibutuhkan kepemimpinan yang berani mengambil risiko tetapi tetap menjaga nilai integritas.

Organisasi Publik di Era Ketidakpastian

Transformasi kelembagaan publik Oktober 2025 adalah momentum penting untuk menata ulang cara negara bekerja. Di tengah tekanan disrupsi teknologi dan globalisasi, organisasi publik dituntut menjadi entitas yang lentur, inovatif, dan berorientasi hasil tanpa kehilangan legitimasi sosialnya. Teori organisasi adaptif memberi pelajaran penting: keberlanjutan lembaga bukan diukur dari seberapa lama struktur bertahan, melainkan dari seberapa cepat ia belajar dan menyesuaikan diri. Jika reformasi kelembagaan 2025 berhasil membentuk pola kerja baru yang adaptif, kolaboratif, dan akuntabel, maka Indonesia tidak hanya akan memiliki birokrasi yang efisien, tetapi juga birokrasi yang mampu bertahan di tengah ketidakpastian – birokrasi yang bukan sekadar mesin administratif, melainkan organisme hidup yang terus berevolusi.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Eva Hany Fanida, S.AP., M.AP., Dr.Cand

Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Dosen Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL Universitas Negeri Surabaya
Anggota Aktif Indonesian Association of Public Administration (IAPA)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *