Digitalisasi Birokrasi di Persimpangan Hukum dan Keadilan
Juni 2025 menjadi momentum penting bagi perjalanan birokrasi digital Indonesia. Pemerintah resmi meluncurkan Platform Pelayanan Terpadu Digital Nasional (SPTN) sebagai turunan dari Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2025 tentang percepatan transformasi digital pemerintahan. Melalui platform ini, 87 layanan publik lintas kementerian dan daerah diintegrasikan dalam satu portal daring.
Menurut laporan Antaranews (12 Juni 2025), tujuan kebijakan ini adalah mewujudkan “pemerintahan tanpa kertas” pada 2026. Namun, euforia digitalisasi segera diiringi berbagai persoalan: ketidaksiapan infrastruktur di daerah, ketimpangan akses warga, hingga kekosongan aturan hukum dalam perlindungan data pribadi dan tanggung jawab administratif bila terjadi kesalahan sistem. Pertanyaan yang kini mengemuka di ruang akademik ialah: bagaimana memastikan keadilan administratif dan kepastian hukum di tengah percepatan digitalisasi layanan publik? Apakah teknologi telah menjamin kemudahan, atau justru menciptakan bentuk baru ketimpangan akses terhadap hak-hak administratif warga?
Akselerasi Teknologi dan Ketimpangan Akses
Transformasi digital dalam administrasi publik sejatinya merupakan kelanjutan dari strategi nasional Digital Government Architecture (DGA) yang mulai diimplementasikan sejak 2021. Dalam lima tahun terakhir, digitalisasi birokrasi telah melahirkan berbagai inovasi: e-office, e-budgeting, e-procurement, hingga digital ID. Data Kementerian PANRB menunjukkan bahwa hingga Mei 2025, sebanyak 64,3 persen instansi pemerintah telah menerapkan sistem layanan digital, dengan tingkat kepuasan publik rata-rata mencapai 78 persen.
Namun, di sisi lain, survei Kompas Research & Development (5 Juni 2025) menemukan bahwa 31 persen warga masih mengalami kesulitan mengakses layanan digital karena keterbatasan sinyal, literasi digital rendah, atau ketiadaan perangkat. Ketimpangan akses ini menimbulkan potensi diskriminasi administratif yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan pelayanan publik.
Masalah juga muncul dari sisi hukum: belum jelas siapa yang bertanggung jawab ketika kesalahan administratif terjadi akibat kegagalan sistem digital. Apakah tanggung jawab melekat pada pejabat penandatangan, pada penyedia teknologi, atau pada sistem itu sendiri? Kekosongan norma ini memperlihatkan bahwa kecepatan digital tidak selalu sejalan dengan ketepatan hukum.
Keadilan Administratif dan Kepastian Hukum dalam Era Digital
Isu ini dapat dibaca melalui kerangka doktrin Keadilan Administratif (Administrative Justice) dan teori Rule of Law dalam Administrasi Publik Digital.
Menurut Paul Craig (2012), keadilan administratif menuntut adanya proses yang adil (due process), keterbukaan keputusan, dan ketersediaan mekanisme keberatan bagi warga terhadap tindakan administrasi. Dalam sistem digital, prinsip tersebut menuntut adaptasi: hak atas informasi dan perbaikan harus tetap dapat dijalankan walau interaksi dilakukan melalui algoritma dan antarmuka elektronik.
Sementara itu, Fuller (1969) dan Hadjon (2007) menegaskan bahwa kepastian hukum hanya dapat dijaga bila tindakan pemerintah bersandar pada norma yang jelas, dapat diprediksi, dan tersedia mekanisme pengawasan independen. Dalam konteks digital governance, kepastian hukum bukan hanya menyangkut kejelasan peraturan, tetapi juga keandalan sistem elektronik yang digunakan untuk mengeksekusi hak-hak administratif warga.
Dengan demikian, digitalisasi birokrasi tidak boleh dipahami sekadar sebagai inovasi teknologi, melainkan sebagai reformasi hukum administratif. Setiap perubahan prosedur, mekanisme verifikasi, atau otomatisasi keputusan harus tunduk pada asas legalitas dan proporsionalitas. Bila tidak, keadilan administratif dapat tergantikan oleh algorithmic discretion-keputusan tanpa wajah manusia, tetapi tetap memiliki akibat hukum bagi warga negara.
Menata Ulang Hubungan antara Teknologi dan Hukum
Transformasi digital birokrasi harus dimaknai sebagai proses hukum yang berorientasi pada perlindungan hak warga, bukan sekadar efisiensi. Secara kelembagaan, Kementerian PANRB, BSSN, dan Kominfo perlu membangun kerangka digital accountability-yakni sistem yang menjamin jejak setiap keputusan administratif digital dapat ditelusuri, diverifikasi, dan diuji.
Selain itu, setiap platform layanan publik digital hendaknya memiliki ombudsman virtual sebagai kanal pengaduan hukum administratif daring. Mekanisme ini penting untuk menghindari paradoks “layanan cepat tanpa tanggung jawab.” Penguatan peran APIP dan Ombudsman RI dalam mengawasi algoritma kebijakan publik menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa prinsip rule of law tetap hadir dalam ruang digital.
Dari sisi manajerial, aparatur sipil negara (ASN) harus dilatih bukan hanya dalam kompetensi teknologi, tetapi juga dalam etika dan tanggung jawab digital administratif. Di sinilah muncul paradigma baru: digital civil servant-birokrat yang cakap teknologi, peka hukum, dan empatik terhadap kesetaraan akses warga.
Hukum sebagai Penuntun, Bukan Penghalang Digitalisasi
Transformasi digital pemerintahan merupakan keniscayaan sejarah. Namun, kecepatan inovasi tidak boleh menghapus makna keadilan administratif. Negara hukum digital (digital rechtstaat) hanya akan terwujud bila setiap algoritma, aplikasi, dan platform tunduk pada nilai-nilai hukum yang hidup: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan publik.
Ke depan, pemerintah perlu memastikan tiga prinsip normatif utama:
(1) Accessibility of Justice – semua warga, termasuk kelompok rentan, dapat mengakses layanan digital tanpa diskriminasi;
(2) Accountability of Algorithm – setiap keputusan berbasis sistem harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum; dan
(3) Human-Centric Governance – teknologi berperan melayani manusia, bukan menggantikannya.
Dengan begitu, digitalisasi birokrasi bukan sekadar modernisasi teknis, melainkan langkah menuju pemerintahan yang lebih adil, transparan, dan beradab di bawah payung hukum administrasi negara yang hidup.




