Mewartakan dengan Jiwa

Tinjauan Kebijakan Transformasi Digital di Bawah Kepemimpinan Baru Republik Indonesia Edisi Januari 2025

Foto oleh Mika Baumeister di Unsplash
Foto oleh Mika Baumeister di Unsplash

Momen Krusial 100 Hari: Menyelamatkan Transformasi Digital dari Ancaman Fragmentasi

Periode transisi kepemimpinan nasional pada Januari 2025 adalah momen krusial yang akan menentukan nasib agenda digitalisasi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Keberhasilan inisiatif strategis seperti Digital Public Infrastructure (DPI), INA Digital, dan Government Cloud kini berada di persimpangan jalan. Risiko terbesar yang dihadapi bukanlah ketiadaan cetak biru, melainkan fragmentasi kebijakan dan perlambatan proyek akibat ketidakpastian mandat baru di tingkat Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah (Pemda).

Jika tidak segera diatasi, ketidakstabilan politik dan fragmentasi institusional ini dapat menghambat pelaksanaan program infrastruktur digital secara keseluruhan. Kabinet baru, yang berada pada puncak legitimasi, memiliki policy window ideal untuk mengambil keputusan transformatif yang mungkin kontroversial, seperti penutupan paksa data center non-standar guna memajukan agenda sentralisasi.

Jebakan Kesenjangan Mandat dan Anggaran

Studi menunjukkan bahwa masalah fundamentalnya terletak pada tiga kesenjangan kebijakan utama. Pertama, Kesenjangan Mandat Eksekutorial. Hingga kini, belum ada Keputusan Presiden (Keppres) yang secara definitif dan mengikat seluruh K/L untuk menyetor data dan aplikasi mereka ke platform sentral. Ketiadaan mandat yang kuat ini hanya menghasilkan voluntary compliance yang berjalan lambat.

Hal ini diperparah oleh Hambatan Kelembagaan yang mengadu sentralisasi infrastruktur demi efisiensi versus semangat otonomi daerah. Otonomi memberi insentif bagi Pemda untuk mempertahankan sistem informasi dan data center lokal mereka. Akibatnya, sentralisasi menjadi opsional alih-alih wajib. Peraturan yang ada seringkali tidak memiliki sanksi kuat terhadap Pemda yang memilih membangun aplikasi sendiri daripada mengadopsi sistem pusat.

Konsekuensinya adalah Kesenjangan Integrasi Anggaran. Mekanisme penganggaran TIK belum terintegrasi dengan disiplin kebijakan DPI. Kondisi ini memungkinkan Pemda dan K/L melanjutkan proyek TIK duplikatif (shadow IT) yang menciptakan pemborosan dan diperkirakan menguras APBN/APBD hingga triliunan rupiah.

Krisis Interoperabilitas dan Talenta Birokrasi

Sentralisasi tidak hanya terhambat secara kelembagaan dan anggaran, tetapi juga teknis. Hambatan Teknis muncul dari rendahnya kepatuhan teknis pada kebijakan Satu Data Indonesia (SDI), di mana K/L/Pemda menggunakan beragam standar format dan definisi data. Kondisi ini menyebabkan proses data cleansing dan mapping yang memakan waktu dan biaya tinggi ketika INA Digital menuntut integrasi. Secara mendalam, ketiadaan Katalog API (Application Programming Interface) terpusat dengan skema keamanan yang seragam menjadi penghalang utama bagi pengembang INA Digital untuk menarik data secara cepat dan aman.

Pada aspek sumber daya manusia, kepemimpinan baru mewarisi Krisis Keahlian Agile di Birokrasi. Implementasi Super-App menuntut metodologi kerja cepat dan adaptif, yang kontras dengan struktur birokrasi tradisional. Mayoritas ASN TIK belum memiliki kompetensi dalam manajemen produk digital, arsitektur cloud, atau data engineering. Di tingkat daerah, fokus pelatihan ASN masih didominasi literasi dasar, bukan keahlian kritis seperti cybersecurity atau data science. Ini memicu risiko besar vendor lock-in, di mana sistem yang dibangun vendor tidak berkelanjutan karena ASN tidak mampu melakukan maintenance atau pengembangan lebih lanjut.

Aksi Mendesak dalam 100 Hari Pertama

Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan aksi cepat dan berani dari kepemimpinan baru dalam 100 hari pertama:

  1. Mandat Sanksi Anggaran Melalui Perpres DPI: Presiden harus segera menerbitkan Peraturan Presiden Konsolidasi Transformasi Digital yang secara eksplisit memberikan kewenangan sanksi pemotongan anggaran TIK kepada Kemenkeu dan Bappenas jika K/L/Pemda tidak mematuhi timeline migrasi ke INA Digital. Wajib ditetapkan tanggal akhir (cut-off date) di tahun 2025 untuk penghentian operasional data center non-standar.
  2. Peluncuran Katalog API Wajib: Kominfo/BSSN wajib meluncurkan Katalog API Nasional yang terstandar dengan protokol keamanan tunggal. K/L/Pemda harus memaparkan data mereka melalui API ini sebagai prasyarat keberlanjutan pendanaan TIK.
  3. Pembentukan Dana Talenta Digital Pemerintah (DTDP): Segera dirikan pool fund untuk mensubsidi penuh pelatihan keahlian kritis, terutama bagi ASN di Pemda luar Jawa-Bali, guna memitigasi krisis talenta.

Kepemimpinan baru memiliki aset berupa cetak biru yang sudah ada. Namun, aset ini akan sia-sia tanpa mandat yang mengikat dan keberanian untuk melakukan punishment anggaran terhadap resistensi birokrasi. Mengubah pola pikir birokrasi dari project-based (membangun aplikasi) menjadi platform-based (mengadopsi layanan pusat) harus menjadi tujuan utama di tahun 2025. Ini adalah ujian pertama bagi komitmen digitalisasi nasional.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arinal Haq, S.AP

Associate Researcher di Sasanti Institute. Aktif dalam riset dan diskusi khususnya digital governance, inovasi pelayanan publik, dan pengembangan kebijakan digital.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *