Mewartakan dengan Jiwa

“Santri Berdaya, Negeri Berjaya” Santri: Menguatkan Ikatan Sosial dan Modal Sosial dalam Pembangunan Nasional

Ilustrasi Santri. sumber: pinterest @musthofa6457
Ilustrasi Santri. sumber: pinterest @musthofa6457

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Sebuah momentum yang bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan kesempatan untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan, pengabdian, dan peran santri dalam perjalanan bangsa. Tahun 2025 ini, Hari Santri mengajak kita semua merenungkan kembali makna menjadi santri di tengah arus perubahan zaman yang semakin cepat dan kompleks.

Jejak Sejarah yang Tak Terlupakan;

Penetapan Hari Santri Nasional tidak lepas dari peristiwa bersejarah pada 22 Oktober 1945, ketika KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya. Seruan ini menegaskan kewajiban umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan kembali. Dari sinilah lahir semangat jihad yang membakar perjuangan arek-arek Surabaya hingga meletuslah pertempuran 10 November 1945 yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan. Melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, pemerintah kemudian menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini menjadi bentuk penghargaan atas jasa para Ulama, Kyai, dan Santri yang berperan besar dalam merebut, mempertahankan, serta mengisi kemerdekaan Indonesia.

Santri sebagai Subjek Strategis Pembangunan;

Seiring peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2025, pemerintah menegaskan komitmen menjadikan santri bukan sekadar pelaku tradisi keagamaan, tetapi agen pembangunan nasional. Presiden dalam pidato di Pondok Pesantren Tebuireng menekankan bahwa santri memiliki peran kunci dalam menjaga moral publik, memperkuat karakter kebangsaan, dan menggerakkan ekonomi umat. Dalam kerangka pembangunan nasional, keberadaan 5,2 juta santri di lebih dari 37 ribu pesantren (data Kementerian Agama 2024) bukan hanya potensi spiritual, tetapi juga kapital sosial yang dapat diorganisasikan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Pesantren serta kebijakan Santripreneur 2025 dari KemenkopUKM mulai menata ruang kolaborasi agar pesantren menjadi pusat pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan sosial. Tulisan ini dimulai dari premis Santri adalah pilar pembangunan bangsa, dan kebijakan negara yang memfasilitasi penguatan peran mereka harus dilihat sebagai investasi sosial jangka panjang.

Pesantren dalam Ekosistem Pembangunan;

Dalam beberapa tahun terakhir, pesantren mengalami transformasi administratif dari lembaga tradisional ke entitas sosial-ekonomi produktif. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan KemenkopUKM mencatat lebih dari 4 ribu pesantren produktif telah mengembangkan unit usaha berbasis koperasi, pertanian, dan ekonomi kreatif. Pemerintah melalui Kementerian Agama dan Bappenas juga mendorong Pesantren Development Roadmap 2025–2045 yang mengintegrasikan pesantren ke dalam arus pembangunan berkelanjutan. Secara hukum administrasi, kebijakan tersebut memperlihatkan perubahan paradigma: pesantren tidak lagi ditempatkan hanya dalam sektor keagamaan, melainkan aktor publik non-pemerintah yang menjalankan fungsi pelayanan sosial, pendidikan, dan ekonomi. Melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2021 dan dukungan Dana Abadi Pesantren, negara menegaskan kewajiban administratif untuk menjamin keberlanjutan pendanaan dan pengawasan berbasis asas-asas pemerintahan yang baik (good governance). Di sisi lain, lahirnya Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dan Digital Santri Hub yang diinisiasi Kemenag tahun 2025 memperlihatkan arah baru integrasi teknologi, pendidikan, dan spiritualitas. Semua ini menandai era baru: pesantren sebagai mitra negara dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Social Bonding dan Modal Sosial sebagai Fondasi Pembangunan;

Untuk memahami relevansi santri dalam pembangunan nasional, digunakan dua kerangka teoritis: Social Bonding dan Social Capital Theory. Menurut Robert Putnam (1993), modal sosial adalah jaringan kepercayaan, norma, dan hubungan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama demi keuntungan bersama. Dalam konteks pesantren, hubungan antara santri, kiai, dan masyarakat membentuk ikatan sosial (social bonding) yang kokoh: mereka belajar, beribadah, dan bekerja dalam ekosistem kepercayaan serta nilai gotong-royong yang kuat. Sementara Pierre Bourdieu (1986) menekankan bahwa modal sosial memiliki dimensi kapital budaya-yakni internalisasi nilai yang menciptakan kohesi sosial. Pesantren adalah ruang reproduksi nilai tersebut: kedisiplinan, kesederhanaan, dan keikhlasan menjadi virtue capital yang menopang integritas sosial bangsa. Dari sudut hukum administrasi negara, potensi modal sosial santri relevan dengan doktrin partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Santri dan pesantren dapat berperan sebagai mitra administratif yang memperkuat efektivitas kebijakan publik melalui jaringan sosial yang sudah mapan di akar rumput. Dengan kata lain, social bonding santri adalah instrumen governance, bukan sekadar fenomena sosial-kultural. Ia mempermudah negara mengimplementasikan program pembangunan dengan legitimasi sosial yang lebih kuat.

Makna Hari Santri di Era Modern;

Hari Santri bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang menjawab tantangan masa kini. Dunia sedang berubah: teknologi berkembang pesat, informasi berputar begitu cepat, dan nilai-nilai moral sering kali tergeser oleh gaya hidup instan. Dalam kondisi ini, santri menjadi benteng moral bangsa. Pesantren dengan sistem pendidikannya yang khas telah terbukti mampu membentuk pribadi yang berakhlak, beradab, disiplin, dan cinta tanah air.

Tugas santri zaman sekarang tidak lagi terbatas pada pengajian kitab kuning di pondok. Santri harus menjadi pionir perubahan sosial, mampu memanfaatkan teknologi untuk berdakwah, berwirausaha, dan menginspirasi masyarakat.

Dengan bekal ilmu agama dan semangat nasionalisme, santri bisa menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas menjaga nilai lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.

Dari Spiritualitas Menuju Produktivitas Sosial;

Dalam dimensi praktis, kebijakan penguatan pesantren harus diarahkan pada transformasi nilai ke dalam produktivitas sosial-ekonomi. Pemerintah perlu terus mendukung inisiatif seperti Santripreneur 2025, Pesantren Go Digital, dan Green Pesantren Program yang dikembangkan bersama KemenkopUKM, Kemenperin, dan Kemenkominfo. Namun, dukungan tersebut hendaknya tidak berhenti pada bantuan ekonomi, tetapi mencakup pemberdayaan kelembagaan hukum pesantren. Banyak pesantren masih berstatus yayasan dengan administrasi sederhana; padahal, agar dapat mengelola dana publik dan kemitraan, pesantren perlu memiliki kapasitas tata kelola berbasis asas legalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Dalam perspektif manajemen publik, social bonding hanya akan menjadi capital bonding bila difasilitasi melalui instrumen hukum yang jelas-perizinan usaha pesantren, akses pembiayaan mikro-syariah, serta pelatihan administrative governance. Negara hadir bukan untuk mengintervensi, tetapi untuk memperluas ruang partisipasi sosial yang berlandaskan hukum. Di sinilah sinergi antara hukum administrasi dan modal sosial menemukan bentuknya: hukum menyediakan struktur; modal sosial menyediakan jiwa.

Tantangan dan Harapan Santri 2025;

Di tahun 2025 ini, tantangan santri semakin beragam. Arus globalisasi, disrupsi digital, dan perubahan sosial menuntut kemampuan adaptasi yang tinggi. Oleh karena itu, ada beberapa hal penting yang perlu diperkuat:

  1. Penguasaan Literasi Digital.

Santri harus mampu menjadi pengguna teknologi yang bijak. Media sosial bisa menjadi sarana dakwah dan pendidikan, bukan sumber fitnah dan perpecahan.

  1. Kemandirian Ekonomi Pesantren.

Melalui program santripreneur dan ekonomi pesantren, para santri dapat berperan dalam pembangunan ekonomi umat, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat kemandirian bangsa.

  1. Peran Santri Perempuan.

Santri perempuan juga memiliki potensi luar biasa dalam dakwah, pendidikan, dan pengabdian sosial. Kesetaraan kesempatan harus terus dijaga agar peran mereka semakin nyata dan dihargai.

  1. Penguatan Moderasi Beragama.

Santri harus menjadi teladan dalam menjaga ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah memperkuat toleransi, menolak kekerasan, dan menyebarkan kasih sayang kepada sesama.

Santri Sebagai Penjaga Nilai dan Pelopor Inovasi;

Santri sejati bukan hanya mereka yang tinggal di pesantren, tetapi juga siapa saja yang meneladani semangat keilmuan, keikhlasan, dan pengabdian kepada Allah dan bangsa. Kini, santri diharapkan tidak hanya menjadi penjaga nilai-nilai agama, tetapi juga pelopor inovasi: mengembangkan pendidikan, teknologi, dan sosial ekonomi berbasis nilai-nilai Islam. Pesantren harus terus bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan umat, tempat lahirnya generasi muda yang cerdas spiritual, intelektual, dan sosial. Dengan begitu, pesantren tidak hanya melahirkan ulama, tetapi juga pemimpin, pengusaha, dan inovator berakhlak mulia.

Santri, Modal Sosial, dan Relevansi Negara Hukum;

Kekuatan santri dalam pembangunan nasional tidak hanya terletak pada jumlahnya, tetapi pada kualitas ikatan sosial dan moral publik yang mereka ciptakan. Dalam pandangan hukum administrasi negara, santri adalah partner of governance-bagian dari warga negara aktif yang memelihara legitimasi sosial negara hukum. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam memperkuat pesantren dan pemberdayaan santri perlu terus didukung dan dilembagakan: tidak sebagai belas kasih administratif, tetapi sebagai pengakuan terhadap peran sosial mereka dalam menjaga kohesi bangsa. Dalam jangka panjang, social bonding santri akan menjadi social capital yang menopang daya tahan nasional di tengah krisis moral, ekonomi, dan ekologi. Ketika hukum, moral, dan sosial bersatu dalam ruang pesantren, maka pembangunan nasional tidak lagi hanya berbicara tentang beton dan angka, melainkan tentang manusia yang beriman, berilmu, dan berdaya guna bagi sesama.

Dari Pesantren untuk Indonesia;

Hari Santri Nasional 2025 hendaknya kita maknai sebagai ajakan untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu bukan dengan bambu runcing, tetapi dengan ilmu pengetahuan, moralitas, dan karya nyata. Santri harus hadir di setiap lini kehidupan: di ruang kelas, di dunia digital, di pasar, di kantor, dan di tengah masyarakat membawa nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Semoga para santri Indonesia senantiasa menjadi penerang zaman, menjaga keutuhan bangsa, serta mengabdikan diri dengan ilmu dan amal, penjaga nilai, pembawa cahaya ilmu, dan penggerak kemajuan bangsa. Jadikan pesantren sebagai sumber inspirasi dan kekuatan moral bagi Negeri.

Mari terus meneguhkan semangat keilmuan, keikhlasan, dan pengabdian untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya, berakhlak, dan bermartabat.

“SANTRI BERDAYA, NEGERI BERJAYA”

“Selamat Hari Santri Nasional 2025.”

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Tri Indroyono, S.E., S.H., M.M., M.H., Dr.(Cand)

Kandidat Doktor Bidang Governansi Pelayanan, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *