Mewartakan dengan Jiwa

Reformasi Kinerja ASN: Antara Meritokrasi dan Budaya Birokrasi

mahfud md & tjahjo kumolo seminar nasional reformasi birokrasi 7
Sumber: Dokumentasi kemenpan, Seminar Nasional Reformasi Birokrasi di Jakarta, Rabu (01/12/2021)

Birokrasi di Persimpangan Modernisasi

Juli 2025 menjadi bulan penting bagi arah pembaruan manajemen ASN di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian PANRB resmi memberlakukan PermenPANRB No. 6 Tahun 2025 tentang Evaluasi Kinerja Berbasis Digital. Aturan baru ini mewajibkan setiap instansi pemerintah menggunakan sistem evaluasi daring yang mengukur capaian berbasis hasil (outcome-based appraisal), bukan hanya kehadiran atau kepatuhan administratif.
Antaranews mencatat, lebih dari 2,3 juta aparatur sipil negara telah masuk ke dalam sistem Digital Performance Evaluation (DPE) yang terhubung langsung dengan database BKN dan Kemenkeu. Menteri PANRB menyebut kebijakan ini sebagai “langkah menuju meritokrasi sejati,” di mana karier ASN ditentukan oleh prestasi, bukan kedekatan politik atau senioritas.
Namun, di balik optimisme tersebut, muncul dinamika sosial-organisasional yang menarik: sejumlah ASN daerah menilai sistem baru ini “terlalu mekanistik” dan belu mempertimbangkan konteks budaya kerja birokrasi Indonesia yang masih menjunjung asas kolegialitas, loyalitas, dan harmoni. Pertentangan antara meritokrasi modern dan budaya birokrasi tradisional pun menjadi perdebatan publik sepanjang bulan ini.

Antara Target Kinerja dan Realitas Sosial

Reformasi manajemen kinerja ASN sejatinya telah dimulai sejak 2020, tetapi baru pada pertengahan 2025 sistem digitalnya mencapai tahap penerapan penuh. Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh ASN – dari kementerian hingga pemerintahan desa – memiliki indikator kinerja yang terukur. KemenPANRB melaporkan bahwa evaluasi digital diharapkan dapat memperkuat linkage antara kinerja individu, unit kerja, dan capaian organisasi.
Namun, sejumlah laporan daerah menunjukkan kendala implementasi. Di Provinsi Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, misalnya, pejabat struktural mengeluhkan bahwa sistem DPE terlalu berorientasi pada angka dan mengabaikan nilai-nilai kerja tim. “Kinerja ASN itu tidak selalu dapat diukur dengan angka. Ada dimensi pelayanan sosial dan kerja kolaboratif yang sulit dikuantifikasi,” ujar seorang kepala dinas dalam wawancara Media Indonesia (21 Juli 2025). Sebagian pegawai juga merasa sistem baru menimbulkan tekanan psikologis. Penilaian harian yang otomatis dari aplikasi membuat suasana kerja menjadi kompetitif, tetapi juga menurunkan rasa kebersamaan. Fenomena ini menunjukkan paradoks klasik reformasi birokrasi: digitalisasi meningkatkan efisiensi, tetapi berisiko mengikis modal sosial internal organisasi.

Kondisi tersebut menegaskan bahwa reformasi birokrasi tidak cukup dengan inovasi teknologi; ia membutuhkan rekonsiliasi antara logika rasional-meritokratis dan logika budaya birokratik yang masih hidup di banyak instansi publik.

Ketegangan antara Meritokrasi dan Budaya Birokrasi

Dalam perspektif Organizational Culture & Public Performance Theory, keberhasilan manajemen kinerja publik tidak semata ditentukan oleh instrumen teknis, tetapi juga oleh fit antara struktur sistem dan nilai-nilai yang hidup di organisasi (Denhardt & Denhardt, 2015).
 Birokrasi Indonesia secara historis dibangun di atas nilai harmoni, hierarki, dan kepatuhan kolektif. Reformasi berbasis meritokrasi, sebaliknya, menuntut kompetisi, inovasi, dan akuntabilitas individual. Ketegangan antara dua paradigma ini tidak dapat dihapus, tetapi perlu diolah secara adaptif.

Bouckaert dan Halligan (2008) menegaskan bahwa sistem evaluasi kinerja yang efektif harus menyeimbangkan tiga logika: control, learning, dan trust. Pada level control, DPE berperan sebagai alat pengawasan dan transparansi. ASN kini dapat dipantau capaian kerjanya secara real-time, meminimalkan ruang manipulasi laporan. Namun, pada level learning, sistem ini belum sepenuhnya mendorong pembelajaran organisasi. Banyak pegawai fokus mengejar skor, bukan memperbaiki kualitas layanan. Lebih jauh lagi, pada level trust, digitalisasi sering kali belum mampu menggantikan kepercayaan interpersonal yang menjadi roh birokrasi Indonesia. Dalam konteks budaya kerja tim di instansi pemerintah, kepercayaan dan solidaritas kerap lebih menentukan kelancaran kerja dibanding perintah hierarkis. Ketika sistem meritokrasi menekan terlalu kuat tanpa ruang dialog, ia justru berpotensi melemahkan kohesi organisasi.

Dengan demikian, implementasi reformasi ASN di Juli 2025 dapat dibaca sebagai transisi dari birokrasi administratif menuju birokrasi kinerja, namun juga sebagai proses cultural negotiation antara dua nilai yang sama-sama penting: efisiensi dan kebersamaan.

Menciptakan Kinerja yang Manusiawi

Reformasi birokrasi yang hanya mengandalkan digitalisasi berisiko kehilangan sisi humanistiknya. ASN bukan sekadar mesin administrasi, tetapi manusia yang bekerja dalam ekosistem sosial dan budaya yang kompleks.
 Dalam wawancara dengan Kompas (24 Juli 2025), seorang psikolog organisasi dari Universitas Airlangga menilai bahwa sistem evaluasi berbasis digital perlu disertai pelatihan kepemimpinan empatik. “Kinerja bukan hanya soal target, tetapi bagaimana pimpinan mampu menumbuhkan motivasi intrinsik dan rasa memiliki,” ujarnya.
 Pendekatan ini sejalan dengan teori New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2015), yang menekankan bahwa ASN tidak hanya “melayani pelanggan”, tetapi juga “melayani warga negara”  dengan empati, kolaborasi, dan nilai kemanusiaan sebagai inti etika kerja.

Reformasi berbasis meritokrasi seharusnya tidak dimaknai sebagai dominasi rasionalitas atas nilai-nilai sosial, melainkan upaya menyeimbangkan keduanya. Sistem digital perlu dirancang untuk memperkuat budaya belajar dan memberi ruang umpan balik, bukan sekadar mengontrol produktivitas. Ketika nilai kinerja diukur bersamaan dengan nilai kebersamaan, maka birokrasi akan lebih tangguh menghadapi perubahan.

Menemukan Titik Temu antara Sistem dan Nilai

Juli 2025 menjadi cermin perjalanan panjang reformasi birokrasi Indonesia: dari sistem berbasis kepatuhan menuju sistem berbasis hasil. Namun, perjalanan itu belum selesai, sebab keberhasilan reformasi tidak hanya ditentukan oleh perangkat digital, tetapi oleh kemampuan organisasi publik untuk menyeimbangkan struktur rasional dan kultur sosialnya. Meritokrasi akan kehilangan makna bila mengabaikan budaya kerja yang menghargai kebersamaan, sementara budaya birokrasi akan stagnan bila menolak perubahan menuju profesionalisme. Keduanya perlu dipadukan dalam kerangka human-centered performance management – kinerja yang tidak hanya efisien, tetapi juga bermakna secara sosial. Apabila prinsip keseimbangan ini terjaga, maka birokrasi Indonesia akan mampu bertransformasi menjadi organisasi publik yang profesional sekaligus berjiwa gotong royong – tempat di mana meritokrasi dan solidaritas dapat hidup berdampingan dalam harmoni institusional.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Eva Hany Fanida, S.AP., M.AP., Dr.Cand

Kandidat Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Dosen Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL Universitas Negeri Surabaya
Anggota Aktif Indonesian Association of Public Administration (IAPA)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *