Infrastruktur yang Didorong Kemitraan
Awal Februari 2025 telah ditandai oleh penguatan opsi kemitraan pemerintah-swasta dalam pembiayaan infrastruktur. Kementerian PUPR diberitakan membuka peluang investasi swasta senilai Rp544,48 triliun untuk periode 2025-2029, meliputi proyek sumber daya air, jalan tol/jembatan, dan permukiman. Angka tersebut muncul dalam pemberitaan yang dirangkum oleh PwC Indonesia dari sumber media nasional, dan menggambarkan pergeseran penekanan dari pembiayaan murni APBN ke skema public-private partnership (PPP/KPBU). (PwC)
Hampir bersamaan, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menargetkan investasi Rp60,93 triliun melalui skema PPP untuk percepatan pembangunan tahap kedua IKN; target dan narasi kebijakan ini dikonfirmasi lintas sumber, termasuk ringkasan kebijakan oleh PwC, pemberitaan Xinhua dan VietnamPlus, serta penjelasan resmi OIKN mengenai market sounding per 24 Februari 2025 untuk paket perumahan. (PwC)
Konteks Kebijakan: Keterbatasan Fiskal dan Desain Kelembagaan
Dorongan kepada PPP di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari realitas fiskal dan kerangka hukum yang sudah terbentuk. Panduan praktik dan ulasan hukum terbaru menunjukkan bahwa rezim KPBU Indonesia masih merujuk pada Peraturan Presiden 38/2015 beserta aturan turunan (termasuk skema availability payment dan dukungan/penjaminan pemerintah), yang menjelaskan bagaimana risiko ditata agar layak bagi investor sekaligus akuntabel bagi publik. Pembaruan komprehensif mengenai kerangka ini pada 2025 telah diulas oleh firma hukum internasional dan practice guides terkemuka, yang menekankan pentingnya kepastian jaminan, tata cara pengadaan, serta batasan dukungan fiskal. (KWM)
Dalam konteks IKN, market sounding resmi untuk proyek perumahan disertai estimasi paket investasi apartemen dan rumah tapak dalam skema PPP menjadi sinyal bahwa pemerintah berusaha menguji minat pasar sebelum pematangan dokumen lelang. Pendekatan ini lazim dilakukan untuk menilai profil risiko proyek dan bentuk dukungan yang diperlukan. (PwC)
Risiko, Kendali, dan Value for Money
Pertanyaan tentang siapa yang “mengendalikan” risiko sejatinya tidak dapat dijawab secara dikotomis, sebab PPP dirancang sebagai mekanisme pembagian risiko bukan pemindahan total-berdasarkan prinsip bahwa setiap tipe risiko seharusnya ditanggung pihak yang paling mampu mengelolanya (allocating risk to the party best able to manage it). Literatur klasik PPP menempatkan isu ini di jantung desain kontrak: risiko konstruksi, permintaan, pendanaan, dan regulasi harus dipetakan, di-harga-kan, dan dinegosiasikan agar value for money publik terjaga. Dalam paket proyek PUPR yang diberitakan, dapat diasumsikan bahwa risiko konstruksi (biaya lebih, keterlambatan) seyogianya ditempatkan pada konsorsium swasta; risiko regulasi (perubahan kebijakan, perizinan) tetap melekat pada pemerintah; sedangkan risiko permintaan (misalnya trafik jalan tol) perlu diatur melalui skema pendapatan (tarif) atau availability payment bila manfaat sosial lebih diutamakan daripada traffic risk. Meskipun rincian proyek per proyek belum dipublikasikan luas, garis besar mekanisme itulah yang menjadi good practice PPP internasional dan tercermin dalam ulasan kerangka Indonesia 2025, termasuk pengaturan penjaminan dan dukungan fiskal yang seringkali menjadi make or break minat investor. (KWM)
Kasus IKN memperlihatkan dimensi tambahan. Penekanan pada PPP untuk permukiman dan prasarana dasar menyiratkan kehadiran risiko pasar yang tak sederhana: profil penyewa/pembeli, kecepatan okupansi, dan dinamika harga. Market sounding pada 24 Februari 2025 dilakukan untuk mengkalibrasi selera risiko pelaku usaha dan calon kreditur. Pernyataan resmi OIKN, serta pemberitaan independen, menyebut target PPP Rp60,93 triliun pada 2025 yang melanjutkan target 2024. Validasi lintas sumber ini memperkuat bahwa kebijakan memang diarahkan ke PPP, meski format dukungan (misal availability payment atau skema pendapatan lain) masih menunggu finalisasi dokumen transaksi. (IKN)
Di titik ini muncul paradoks kebijakan yang lazim: semakin besar porsi risiko yang diminta pemerintah untuk ditanggung swasta, semakin tinggi biaya modal dan contingency yang akan dihitung konsorsium; sebaliknya, semakin besar dukungan fiskal/jaminan publik, semakin kuat pertanyaan akuntabilitas di ruang publik. Tinjauan kinerja PPP oleh Hodge & Greve menegaskan bahwa ekspektasi efisiensi jangka panjang PPP sering bergantung pada desain kontrak dan pengawasan, bukan pada label “PPP” itu sendiri. Dengan kata lain, kualitas desain dan tata laksana bukan semata skema yang menentukan value for money dan manfaat sosial. (CBS Research Portal)
Pendalaman Kelembagaan: Dari Kontrak ke Governansi Implementasi
Secara kelembagaan, PPP bukan hanya kontrak finansial, tetapi juga rangka kerja governansi yang membutuhkan disiplin pelaporan, indikator kinerja, dan mekanisme step-in saat terjadi kegagalan layanan. Ulasan hukum pengadaan 2025 menekankan bahwa proses pemilihan mitra harus memenuhi asas kompetisi, transparansi, dan keberimbangan informasi; hal ini relevan terutama untuk proyek unsolicited yang disebut dalam konteks IKN, agar benturan kepentingan dapat dihindari dan legitimasi kontrak tetap kuat. (ICLG Business Reports) Pada tingkat kebijakan, pipeline PPP yang diumumkan perlu disertai kerangka pengukuran kinerja yang melampaui output fisik (kilometer jalan, unit rumah, atau bendungan yang selesai) menuju outcome publik: reliabilitas layanan, keselamatan, aksesibilitas, dan dampak ekonomi lokal. Literatur kontemporer PPP merekomendasikan metrik yang memadukan kepatuhan anggaran/jadwal dan kualitas layanan karena banyak proyek infrastruktur gagal bukan pada tahap konstruksi, tetapi pada siklus hidup layanan. (CBS Research Portal)
Refleksi Kebijakan: Menjaga Keseimbangan Risiko dan Kepercayaan Publik
Arah kebijakan Februari 2025 memberi pesan yang jelas: percepatan infrastruktur akan ditopang kemitraan. Namun, kemitraan yang sehat menuntut keseimbangan risiko yang jernih dan kepercayaan publik yang terus dipelihara. Pada sisi risiko, desain kontrak harus menempatkan beban pada pihak yang kompeten mengelolanya; pada sisi kepercayaan, proses pengadaan dan dukungan fiskal harus komunikatif dan dapat diaudit. Di IKN, market sounding hendaknya ditindaklanjuti dengan publikasi project information memorandum yang memuat struktur risiko, bentuk dukungan, dan rambu termination. Sementara pada portofolio PUPR, daftar prioritas dan justifikasi value for money perlu disajikan periodik agar pembuat kebijakan dan publik dapat menilai apakah skema PPP memang menyediakan manfaat biaya terbaik dibanding pengadaan konvensional. (IKN)
Mengelola Risiko untuk Manfaat Publik
Keputusan memperluas PPP pada 2025 dapat dipahami sebagai respons rasional atas keterbatasan fiskal dan ambisi pembangunan. Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak ditentukan oleh besarnya target investasi semata, melainkan oleh ketepatan tata kelola risiko yang diwujudkan dalam kontrak, pengadaan, dan pengawasan. Bila keseimbangan itu dijaga, PPP tidak akan menjadi sekadar alat memindahkan beban, melainkan instrumen untuk menghasilkan layanan publik yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan bagi warga.




