Mewartakan dengan Jiwa

Perguruan Tinggi sebagai Pusat Riset Terapan dan Kolaborasi Industri-Komunitas

Foto oleh Vardan Papikyan di Unsplash
Foto oleh Vardan Papikyan di Unsplash

Dari Menara Gading ke Infrastruktur Inovasi Publik

September 2025 dipandang sebagai momentum konsolidasi kebijakan pendidikan tinggi Indonesia. Setelah Program Dana Padanan (Matching Fund) 2024 dibuka dengan total pendanaan Rp 750 miliar untuk mendorong kolaborasi kampus-industri, pemerintah melanjutkan akselerasi dengan Program Dana Padanan 2025 beserta buku panduannya yang menekankan skema hilirisasi rekacipta dan kemitraan tematik prioritas. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengikat perguruan tinggi, dunia usaha/industri (DUDI), dan pemerintah daerah dalam rantai nilai inovasi-dengan logika co-funding dan co-creation. Transformasi tersebut patut didukung. Dari kacamata hukum administrasi negara, Dana Padanan menampilkan desain governance yang memadukan efektivitas kebijakan (menggerakkan riset-terapan) dengan akuntabilitas penggunaan dana publik melalui persyaratan padanan biaya (1:1 atau lebih) dan mekanisme seleksi berbasis kebutuhan mitra. Prinsip value for money dan public benefit menjadi dasar legitimasi administrasi program.

Arah Strategis dan Rantai Kolaborasi

Sejak 2023–2025, Diktiristek menempatkan Dana Padanan/Matching Fund sebagai instrumen kunci mendorong riset aplikatif, dengan fokus tematik yang berulang-ekonomi hijau, biru, digital, pariwisata, dan kemandirian kesehatan-untuk memperkuat daya saing nasional dan penyelesaian masalah publik. Narasi kebijakan resmi menegaskan kesiapan anggaran dan pipeline proyek kolaborasi lintas sektor; portal Kedaireka menampilkan komitmen pemerintah pada insentif kolaborasi dan menandaskan kedudukan Matching Fund sebagai pengungkit utama kemitraan. Dari sudut pandang tata-kelola, platform Kedaireka dan rilis resmi Diktiristek menunjukkan pendekatan bertahap: (i) membuka call for proposals, (ii) verifikasi readiness level mitra dan luaran, (iii) penilaian manfaat publik dan potensi hilirisasi, serta (iv) pelaksanaan dan pelaporan kinerja. Dengan demikian, perguruan tinggi didudukkan sebagai simpul pengetahuan yang bekerja bersama mitra untuk menghasilkan produk, prototipe, SOP kebijakan, atau model layanan yang siap diadopsi.

Triple Helix & Prinsip Hukum Administrasi

Kerangka Triple Helix (Etzkowitz & Leydesdorff) menjelaskan interaksi universitas–industri–pemerintah sebagai mesin inovasi: universitas menyumbang knowledge production, industri menghadirkan market pull dan investasi, sementara pemerintah menyediakan insentif, regulasi, dan legitimasi. Kebijakan Dana Padanan secara eksplisit memfasilitasi struktur co-investment dan risk-sharing-ciri khas Triple Helix-yang membuat riset lebih dekat ke hilirisasi.

Dalam hukum administrasi negara, tiga asas menjadi jangkar:

  1. Asas legalitas & kepastian hukum-pedoman program, syarat kelayakan, dan prosedur seleksi harus jelas, terdokumentasi, dan dapat diaudit;
  2. Asas proporsionalitas-pembagian hak/kewajiban serta risiko antara perguruan tinggi, mitra, dan negara harus seimbang dengan tujuan kemanfaatan publik;
  3. Asas transparansi & akuntabilitas-dana publik wajib dipertanggungjawabkan melalui milestones, indikator kinerja, dan publikasi luaran.

Secara teknokratis, design Program Dana Padanan 2025 mengafirmasi asas-asas tersebut: adanya panduan resmi (buku program dan keuangan), pembatasan penggunaan dana dan larangan double funding, serta penekanan pada bukti kontribusi mitra (in-cash/in-kind). Ini merupakan implementasi konkret good governance dalam kebijakan pendidikan tinggi.

Penguatan dukungan Manajerial & Kelembagaan

Pertama, penguatan contract governance. Unit kerjasama dan HKI di perguruan tinggi perlu distandarkan menjadi Unit Manajemen Kolaborasi & KI yang memastikan setiap kontrak Dana Padanan memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik: due diligence mitra, pengaturan foreground/background IP, klausul data sharing, serta exit clause yang adil. Hal ini melindungi kampus dan mitra sekaligus menjaga akuntabilitas dana negara.

Kedua, orkestrasi compliance berbasis data. Diktiristek bersama perguruan tinggi dapat menegakkan dashboard kepatuhan-menghubungkan milestones proyek, serapan anggaran, technology readiness, dan impact tracker (adopsi oleh Pemda/UMKM/industri). Real-time visibility mendorong early warning dan memudahkan audit kinerja tanpa membebani peneliti.

Ketiga, ekosistem hilirisasi inklusif. Dukungan diarahkan ke UMKM dan Pemda untuk mencegah innovation divide. Skema coaching clinic kontrak, template MoU, dan toolkit HKI akan menurunkan transaction cost bagi mitra kecil dan memperluas manfaat publik.

Keempat, human capital administrasi riset. Penguatan kapasitas ASN dan tenaga kependidikan-legal drafting kontrak, keuangan riset, project control, dan etika kolaborasi-akan membuat program lebih tangguh. Law-conscious professionalism perlu dibangun agar tata laksana tidak semata compliance, tetapi juga berorientasi hasil dan kebermanfaatan publik.

Mengokohkan Legitimasi Sosial Pendidikan Tinggi

Kebijakan Dana Padanan/Matching Fund telah menggeser posisi perguruan tinggi dari “produsen ijazah” menjadi infrastruktur inovasi bangsa. Dukungan kebijakan patut dilanjutkan karena memenuhi ukuran dasar negara hukum modern: efektif (mendorong hilirisasi), akuntabel (jelas aturan main dan auditabilitas), dan berkeadilan (mendorong inklusi mitra dan manfaat publik).

Ke depan, keberhasilan tidak hanya diukur dari jumlah paten/publikasi, melainkan dari adopsi nyata hasil riset: teknologi yang dipakai pelaku usaha, SOP kebijakan yang dipakai Pemda, atau layanan publik yang lebih efisien. Dengan governance yang tertib dan kolaborasi yang setara, pendidikan tinggi Indonesia akan menjadi poros pengetahuan-inovasi yang memperkuat martabat hukum, ekonomi, dan kemanusiaan kita.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Swastika Maya Pramesti, SH

Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga
Awardee LPDP 2024

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *