Mewartakan dengan Jiwa

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah & Kepastian Hukum dalam Penunjukan Langsung

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sumber: lkpp.go.id
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sumber: lkpp.go.id

Antara Percepatan dan Kepastian Hukum

April 2025 menjadi bulan penuh perdebatan di kalangan pakar hukum administrasi negara. Pemerintah baru saja memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 yang memperluas mekanisme penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah untuk proyek strategis nasional. Langkah ini disebut oleh Antaranews sebagai strategi percepatan belanja modal agar pembangunan infrastruktur tidak tersendat oleh birokrasi tender yang berbelit.

Namun, di balik semangat percepatan, muncul kekhawatiran serius. Para akademisi dan lembaga pengawas publik seperti Ombudsman RI serta Indonesia Corruption Watch menilai bahwa perluasan penunjukan langsung dapat menimbulkan “celah hukum” dan memperlemah prinsip transparansi serta akuntabilitas. Dalam logika hukum administrasi negara, kebijakan yang efisien belum tentu sah apabila menabrak asas kepastian hukum dan persamaan di hadapan administrasi publik. Dengan kata lain, kebijakan ini menjadi ujian bagi pemerintahan modern Indonesia: bisakah percepatan pembangunan berjalan tanpa mengorbankan legalitas dan keadilan administratif?

Reformasi Pengadaan dan Potensi Kelemahan Diskresi

Reformasi pengadaan barang dan jasa pemerintah sebenarnya telah berlangsung lama. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mencatat bahwa sejak 2018 sistem digital e-procurement melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) dan e-Katalog telah menekan praktik korupsi dan mempercepat proses seleksi penyedia barang/jasa. Nilai transaksi daring tahun 2024 bahkan mencapai Rp1.100 triliun, dengan lebih dari 86 ribu paket pengadaan.

Namun, menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akhir 2024, sekitar 14 persen pengadaan nasional dilakukan melalui penunjukan langsung. Dari jumlah itu, 23 persen ditemukan tidak memiliki dasar hukum yang jelas terkait urgensi atau keadaan darurat. Praktik tersebut menimbulkan potensi kerugian negara sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadap integritas sistem pengadaan.

Kritik yang berkembang bukan sekadar menyasar regulasinya, tetapi juga diskresi administratif pejabat pengadaan yang sering kali kabur batasnya antara “keputusan cepat” dan “penyalahgunaan kewenangan.” Dalam konteks manajemen publik, hal ini memperlihatkan bahwa efisiensi prosedural belum tentu identik dengan efektivitas hukum.

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)

Kerangka konseptual yang paling relevan untuk membaca isu ini ialah doktrin Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di antara asas-asas tersebut, tiga yang paling krusial ialah kepastian hukum, proporsionalitas, dan transparansi.

Menurut Philipus M. Hadjon, kepastian hukum merupakan jantung hukum administrasi: setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada norma tertulis dan dapat diprediksi akibat hukumnya. Tanpa itu, legitimasi administratif akan rapuh. Asas proporsionalitas mengingatkan bahwa kebijakan publik harus menyeimbangkan antara tujuan pembangunan dan perlindungan hak-hak warga negara. Dalam perspektif teori Good Governance Principles in Administrative Law (Craig, 1997; Cane, 2011), tindakan administratif yang efisien harus tetap tunduk pada rule of law dan mekanisme accountability chain (Bovens, 2010). Artinya, perluasan penunjukan langsung baru dapat dibenarkan sejauh mampu membuktikan bahwa setiap keputusan administratif tetap dapat ditelusuri, diawasi, dan diuji melalui prosedur hukum. Dari sisi doktrinal, penunjukan langsung adalah bentuk diskresi administratif terbatas (limited administrative discretion). Ia boleh digunakan hanya bila keadaan mendesak, nilai kontrak kecil, atau tidak ada penyedia lain yang memadai. Jika diperluas tanpa kriteria yang ketat, diskresi tersebut berpotensi melanggar asas kesetaraan dan menimbulkan abuse of power yang bertentangan dengan cita negara hukum (rechtstaat).

Menyeimbangkan Kecepatan dan Akuntabilitas

Secara kelembagaan, LKPP, Kementerian PANRB, dan BPKP memiliki tanggung jawab memperkuat sistem kontrol administratif sebelum persoalan bergeser ke ranah pidana. Pengawasan preventif lebih efektif daripada sanksi reaktif. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme pengujian administratif internal (administrative review) terhadap setiap keputusan penunjukan langsung dengan nilai signifikan.

Secara manajerial, pemerintah dapat memperkuat dashboard kepatuhan elektronik yang menampilkan secara real-time seluruh proyek penunjukan langsung, nilai kontrak, dan justifikasi hukumnya. Langkah ini bukan hanya meningkatkan transparansi publik, tetapi juga memberi perlindungan hukum bagi pejabat pelaksana agar tidak dituduh melampaui kewenangan.

Lebih jauh, pembinaan ASN pengelola pengadaan harus diarahkan pada law-conscious professionalism – sikap profesional yang berakar pada kesadaran hukum. Reformasi administrasi tidak akan berhasil jika hanya mengubah regulasi tanpa memperbaiki perilaku hukum birokrasi.

Membangun Budaya Hukum dalam Administrasi Publik

Kebijakan penunjukan langsung dalam Perpres 46/2025 menunjukkan paradoks klasik: bagaimana negara menyeimbangkan kebutuhan percepatan pembangunan dengan kewajiban menjamin kepastian hukum. Dalam konteks hukum administrasi modern, kecepatan bukanlah musuh hukum, selama ia dikendalikan oleh prinsip transparansi dan proporsionalitas.

Tantangan ke depan bukan hanya memperbaiki aturan, melainkan membangun budaya hukum dalam administrasi publik. Negara hukum tidak akan tegak bila hukum hanya berfungsi setelah pelanggaran terjadi; ia harus hadir sejak awal sebagai panduan moral dan operasional bagi setiap keputusan administratif.

Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat menjadi arena pembelajaran kolektif – di mana efisiensi dan integritas tidak lagi saling meniadakan, melainkan saling menguatkan demi terwujudnya pemerintahan yang cepat, bersih, dan berkeadilan.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Tri Indroyono, S.E., S.H., M.M., M.H., Dr.(Cand)

Kandidat Doktor Bidang Governansi Pelayanan, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *