Di tengah derasnya arus digitalisasi dan budaya hiburan yang merasuki hampir semua aspek kehidupan, ruang kelas kini bukan lagi sekadar tempat untuk menimba ilmu, tetapi juga arena pertarungan perhatian. Dalam situasi ini, banyak guru menghadapi tekanan baru yang tak tertulis di dalam kurikulum: menjadi “badut intelektual”. Figur yang harus pandai menghibur agar didengarkan, pandai menari di antara tawa peserta didik, sambil tetap menjaga wibawa dan kedalaman ilmu. Paradoks ini menjadi potret kompleks profesi guru di era modern: di satu sisi dituntut adaptif dan kreatif, di sisi lain terjebak dalam ekspektasi berlebihan yang justru menggerus hakikat pendidikannya
Fenomena ini tidak lahir dari ruang hampa. Data menunjukkan bahwa tekanan psikologis dan beban kerja guru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Negeri Jakarta[1] terhadap 117 guru sekolah dasar inklusif mengungkapkan bahwa stres kerja memiliki pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan guru. Sementara itu, penelitian di Kabupaten Solok Selatan[2] mencatat bahwa beban kerja dan budaya organisasi berkontribusi sebesar 32,6% terhadap tingkat stres kerja guru. Kondisi ini menjelaskan mengapa banyak pendidik merasa kewalahan, bukan hanya mengajar, tetapi juga harus menjadi motivator, fasilitator, konselor, bahkan penghibur di waktu yang sama.
Namun, akar persoalan tidak berhenti pada beban administratif. Di balik semua itu, ada perubahan besar dalam cara generasi muda berinteraksi dengan informasi. Budaya digital, khususnya media sosial seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts telah membentuk “mentalitas 15 detik” perhatian yang cepat, emosi yang instan, dan ketertarikan yang dangkal. Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta[3] menunjukkan bahwa distraksi dari smartphone memiliki korelasi negatif terhadap minat belajar peserta didik SMA. Notifikasi yang terus-menerus dan kebiasaan multitasking menjadikan ruang kelas terasa lamban dan membosankan bagi sebagian besar remaja. Akibatnya, guru dituntut untuk menciptakan pembelajaran yang “seru”, “asik”, dan “tidak membosankan” agar tetap bisa bersaing dengan daya tarik layar kecil di tangan para peserta didiknya.
Inilah titik krisis yang ironis, ketika pendidikan mulai diukur dari seberapa menyenangkan kelas berlangsung, bukan seberapa dalam pemahaman yang diperoleh. Dalam atmosfer seperti ini, banyak guru terjebak dalam dilema moral dan profesional. Mereka tahu bahwa humor dan hiburan bisa membuka hati peserta didik, tetapi mereka juga sadar bahwa jika terlalu larut dalam peran penghibur, substansi pembelajaran bisa terkikis. OECD melalui laporan PISA[4] telah mengingatkan bahwa capaian literasi dan numerasi Indonesia masih tertinggal jauh dari rata-rata dunia, dan peningkatannya menuntut kualitas pembelajaran yang lebih serius dan mendalam bukan sekadar menyenangkan.
Masalah ini semakin rumit ketika kita menilik posisi sosial guru di Indonesia. Meskipun secara hukum diakui sebagai profesi mulia, banyak guru masih menghadapi ketidakpastian kerja, tekanan administratif yang tidak proporsional, dan ekspektasi sosial yang berat. Penelitian dari Universitas Negeri Jakarta bahkan menunjukkan bahwa sebagian guru mengalami bentuk “tekanan sosial” dalam bekerja di mana mereka harus tetap tampil antusias di depan kelas meski secara emosional kelelahan dan kurang mendapat dukungan dari sistem sekolah. Seperti aktor di panggung, mereka diharuskan tersenyum walau hati letih, berimprovisasi tanpa naskah, dan tampil menawan meski panggungnya rapuh.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan kritis, apakah pendidikan sedang bergeser dari ruang pembentukan nalar dan karakter menjadi arena performa dan hiburan? Jika iya, apa yang tersisa dari hakikat pendidikan itu sendiri, proses panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan kedalaman berpikir? Guru sejatinya adalah penjaga api peradaban, bukan pemain sirkus yang ditonton semata untuk menghibur.
Meski demikian, tidak adil jika fenomena ini disederhanakan sebagai kegagalan guru. Justru, mereka adalah korban sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada kemanusiaan. Ketika kurikulum terlalu berat, birokrasi menumpuk, dan masyarakat menuntut hasil instan, maka guru dipaksa untuk mencari jalan pintas dengan tampil menarik agar peserta didik tidak bosan. Namun di balik itu, banyak guru yang berjuang diam-diam mempertahankan idealisme. Mereka mencoba menyeimbangkan kreativitas dan kedalaman, memanfaatkan teknologi bukan untuk menyaingi hiburan, melainkan menjadikannya jembatan menuju makna.
Solusinya tidak cukup dengan sekadar menyalahkan guru atau peserta didik. Diperlukan langkah sistemik. Pemerintah dan sekolah perlu meninjau kembali indikator keberhasilan pendidikan, bukan lagi berfokus pada kepuasan atau hiburan di kelas, melainkan pada penguasaan kompetensi, kemampuan berpikir kritis, dan keterlibatan sosial. Guru perlu mendapatkan dukungan emosional dan profesional, termasuk waktu persiapan yang layak, pelatihan pedagogis digital, serta perlindungan dari tekanan administratif yang berlebihan.
Selain itu, penting juga menanamkan kesadaran baru kepada masyarakat bahwa pendidikan bukanlah hiburan. Kelas yang serius, reflektif, bahkan menantang bukan berarti membosankan. Justru di situlah benih intelektualitas dan kedewasaan tumbuh. Peserta didik perlu dibimbing untuk belajar menahan diri dari budaya instan memahami bahwa tidak semua hal harus lucu atau viral agar bermakna.
Guru bukan badut di panggung pendidikan. Mereka adalah arsitek masa depan bangsa, yang dalam kesunyian kelas dan dalam keheningan jam pelajaran, sedang menenun nalar dan karakter generasi baru. Mungkin kini mereka tampak harus menari agar didengarkan, tetapi tanggung jawab sejati mereka bukanlah membuat peserta didik tertawa, melainkan membuat mereka berpikir, berempati, dan memahami makna kehidupan.
Dan jika masyarakat, pemerintah, serta sistem pendidikan bersedia menatap guru bukan sebagai penghibur, melainkan sebagai penuntun jiwa bangsa, maka paradoks ini akan menemukan keseimbangannya di mana guru tetap bisa kreatif tanpa kehilangan martabat, dan kelas kembali menjadi ruang intelektual yang hidup, bukan sekadar panggung pertunjukan.
[1] Anjarsari, D., & Prasetyo, R. (2023). Hubungan Stres Kerja dan Kesejahteraan Guru Sekolah Dasar Inklusif di Jakarta Timur. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi (JPPP), 12(2), 101–112. Universitas Negeri Jakarta.
[2] Syafrin, I. & Nofritar. (2022). PENGARUH BEBAN KERJA, DISIPLIN KERJA DAN KOMPENSASI TERHADAP KINERJA GURU PADA SMA NEGERI 3 KOTA SOLOK. Indonesian Research Journal in Education (IRJE), 6(2), 145–156. Universitas Jambi.
[3] Kristiawan, B.N, A. R., & Kumalasari, G. MG. (2023). How to Improve Student’s Learning Interest? The Role of Learning Media Variation and Smartphone Distraction. International Journal of Social Science and Human Research, 6(6), 3707-3712.
[4] Organisation for Economic Co-operation and Development. (2019). PISA 2018 Results (Volume I): What students know and can do. OECD Publishing.




