Mewartakan dengan Jiwa

Mengukur Keberhasilan Kolaborasi Publik-Swasta Semester I

Kepala OIKN Basuki Hadimuljono. Sumber: Humas OIKN
Kepala OIKN Basuki Hadimuljono. Sumber: Humas OIKN

Ketika Akuntabilitas Menjadi Sorotan Publik

Memasuki semester kedua tahun 2025, pemerintah mulai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja kolaborasi publik-swasta yang telah dijalankan sepanjang enam bulan pertama. Dalam rapat kabinet pertengahan Juli 2025, Presiden meminta agar seluruh kementerian yang mengelola proyek strategis nasional berbasis kemitraan terutama di sektor perumahan, infrastruktur, dan energi menyampaikan hasil konkret, bukan hanya laporan kegiatan. Antaranews mencatat bahwa Kementerian PUPR, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), dan Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjadi tiga lembaga dengan portofolio kolaborasi terbesar. Presiden menegaskan pentingnya pengukuran kinerja berbasis manfaat publik (public value) agar kemitraan tidak berhenti pada simbol proyek dan investasi, melainkan benar-benar menghasilkan dampak nyata bagi masyarakat. Pernyataan ini menggarisbawahi pergeseran penting dalam manajemen publik Indonesia: dari fokus pada output menuju pengelolaan berbasis outcome, sesuai prinsip teori Public Performance Management (PPM).

Konteks Kebijakan: Evaluasi Tengah Tahun dan Tuntutan Transparansi

Kementerian PUPR melaporkan bahwa hingga akhir Juni 2025, 48 proyek Public-Private Partnership (PPP) telah mencapai tahap konstruksi dengan nilai total Rp 267 triliun. Namun, 17 proyek lainnya masih dalam tahap pra-feasibility karena kendala pembebasan lahan dan perbedaan asumsi finansial antara pemerintah dan investor.
Di sektor perumahan, Menteri PKP menyampaikan capaian 1,4 juta unit rumah dari target 3 juta unit melalui kombinasi dana APBN, BUMN, dan swasta. “Kami ingin menegaskan bahwa kinerja bukan hanya soal jumlah rumah, tetapi keterjangkauan dan pemerataan distribusi,” ujar Menteri dalam konferensi pers di Surabaya.
Sementara itu, OIKN mengumumkan kemajuan 62 persen pada proyek-proyek perumahan dan infrastruktur tahap awal yang menggunakan skema kemitraan. Namun, laporan audit internal memperlihatkan adanya ketidaksinkronan antara capaian fisik dan kecepatan pencairan dana investasi.
Ketiga laporan tersebut menunjukkan bahwa kinerja kolaborasi tidak dapat diukur hanya dari kecepatan pembangunan, tetapi harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan sosial, tata kelola, dan value for money.

Mengukur Kinerja Melalui Teori Public Performance Management

Bouckaert dan Halligan (2008) dalam kerangka Public Performance Management menjelaskan bahwa kinerja sektor publik tidak berhenti pada pengukuran efficiency dan output, melainkan mencakup empat lapisan hasil: performance, accountability, learning, dan trust. Penerapan teori ini dalam konteks kolaborasi publik-swasta di Indonesia memperlihatkan tiga dimensi utama yang dapat dijadikan acuan evaluasi.

Pertama, dimensi efektivitas kebijakan. Evaluasi kinerja PPP menunjukkan bahwa indikator keberhasilan tidak hanya diukur dari penyelesaian fisik proyek, tetapi juga dari sejauh mana proyek menjawab kebutuhan publik. Contohnya, pembangunan perumahan murah yang selesai tepat waktu tidak berarti efektif jika tidak diserap oleh kelompok sasaran. Dalam hal ini, Kementerian PKP mulai menggunakan indikator baru berupa “tingkat keterjangkauan” dan “tingkat hunian aktif” untuk menilai keberhasilan program 3 juta rumah.

Kedua, dimensi akuntabilitas kolaboratif. Dalam kolaborasi multiaktor seperti PPP, tanggung jawab sering kali tersebar di antara kementerian, BUMN, dan swasta. Untuk menghindari kaburnya garis akuntabilitas, pemerintah mulai menerapkan joint performance contract perjanjian kinerja bersama yang mencantumkan target, risiko, dan insentif setiap pihak. Model ini terinspirasi dari praktik OECD (2023) yang menekankan pentingnya kontrak berbasis hasil dalam kemitraan publik.

Ketiga, dimensi pembelajaran kelembagaan (institutional learning). Evaluasi semester I menunjukkan bahwa banyak lembaga mulai memanfaatkan dashboard digital untuk pelaporan kinerja. Data dari Bappenas memperlihatkan bahwa 78 persen proyek kolaborasi telah melaporkan progres secara real-time melalui sistem e-Monitoring Infrastruktur Nasional. Ini menjadi tonggak baru dalam tata kelola kinerja publik yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga berbasis bukti (evidence-based management).

Akuntabilitas yang Berbasis Kepercayaan

Evaluasi kinerja kolaboratif bukan semata instrumen pengawasan, tetapi mekanisme pembangun kepercayaan publik. Ketika masyarakat dapat melihat hasil proyek secara transparan, kepercayaan terhadap kebijakan publik akan meningkat. Namun, sistem pengukuran kinerja yang terlalu birokratis justru dapat melemahkan fleksibilitas kolaborasi.
Dalam diskusi “Evaluasi Semester I Pembangunan Nasional” yang digelar Kementerian PPN/Bappenas pada 20 Juli 2025, beberapa kepala daerah menyampaikan bahwa prosedur pelaporan sering kali terlalu kompleks dan tidak menyesuaikan dengan kapasitas daerah. Mereka mengusulkan model pelaporan tiered accountability, yakni diferensiasi indikator antara proyek strategis nasional dan proyek lokal.
Saran tersebut sejalan dengan pandangan Bouckaert & Halligan bahwa pengukuran kinerja seharusnya disesuaikan dengan konteks dan kapasitas kelembagaan, bukan diterapkan seragam untuk semua unit. Prinsip utama public performance management adalah keseimbangan antara akuntabilitas vertikal (kepada pemerintah pusat) dan akuntabilitas horizontal (kepada publik dan mitra).

Selain itu, pendekatan kinerja kolaboratif harus memperhatikan dimensi waktu. Proyek infrastruktur biasanya bersifat jangka panjang, sementara tekanan politik bersifat jangka pendek. Jika evaluasi hanya berorientasi pada siklus anggaran tahunan, maka manfaat jangka panjang kemitraan tidak akan terukur dengan tepat. Pemerintah perlu menetapkan indikator multi-year outcomes seperti pengurangan kemacetan, peningkatan konektivitas ekonomi, atau penurunan biaya logistik, bukan hanya progres konstruksi semata.

Dari Proyek Menuju Nilai Publik

Evaluasi kinerja semester I tahun 2025 memperlihatkan bahwa kolaborasi publik-swasta telah menghasilkan kemajuan berarti dalam pembangunan infrastruktur, namun juga membuka ruang pembelajaran penting: kinerja publik tidak diukur dari aktivitas, tetapi dari manfaat.
Melalui pendekatan Public Performance Management, pemerintah mulai menata ulang logika evaluasi agar lebih berorientasi pada hasil sosial dan ekonomi. Kinerja kemitraan kini harus menjawab dua pertanyaan mendasar: siapa yang benar-benar diuntungkan, dan bagaimana manfaat itu diukur?
Apabila evaluasi dilakukan secara terbuka dan berbasis bukti, maka kolaborasi publik-swasta tidak hanya akan menghasilkan pembangunan fisik, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap negara. Sebaliknya, tanpa pengukuran kinerja yang adil dan transparan, seluruh kemitraan besar hanya akan menjadi catatan administratif tanpa makna substantif bagi rakyat. Di sinilah arti penting semester evaluasi: bukan sekadar menghitung pencapaian, tetapi menimbang sejauh mana kolaborasi publik-swasta benar-benar menghadirkan nilai publik yang berkelanjutan.


Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *