Mewartakan dengan Jiwa

Membangun Infrastruktur Kolaboratif: Simbiosis Banyak Aktor

Infrastruktur Sebagai Produk Jaringan

Memasuki April 2025, diskursus pembangunan nasional kembali menyoroti tema kolaborasi lintas aktor. Dalam forum Megabuild 2025 yang berlangsung di Jakarta Convention Center, pemerintah bersama asosiasi pengembang dan pelaku industri konstruksi mengumumkan rencana percepatan program tiga juta rumah. Antaranews mencatat, forum ini menghadirkan kolaborasi antara Kementerian PUPR, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, BUMN Karya, serta Asosiasi Kontraktor Indonesia.
Di forum tersebut, Menteri PUPR menegaskan bahwa pembangunan perumahan tidak dapat lagi dilakukan oleh satu lembaga tunggal. “Kita perlu kolaborasi lintas aktor   antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan swasta,” ujarnya dalam sambutan pembukaan. Pernyataan ini menggambarkan bahwa infrastruktur modern kini bukan hanya hasil intervensi negara, melainkan produk jaringan yang memadukan kepentingan publik, korporasi, dan komunitas.

Konteks Kebijakan: Dari Sentralisasi ke Sinergi Multipihak

Setelah efisiensi fiskal diberlakukan pada awal tahun, pemerintah berupaya mengisi ruang pendanaan yang menyempit dengan strategi kemitraan dan koordinasi antarlembaga. Bappenas dan PUPR bersama-sama menyusun roadmap kolaborasi infrastruktur daerah agar proyek strategis tidak terhambat oleh fragmentasi administratif.
Sementara itu, di sektor perumahan, Kementerian PKP menggandeng BUMN seperti Perumnas, Wijaya Karya Realty, dan Bank Tabungan Negara untuk membentuk pola joint development di 12 kota besar. Kolaborasi ini juga melibatkan pengembang swasta anggota Real Estate Indonesia (REI) yang berperan dalam desain dan manajemen proyek. Media Indonesia memberitakan bahwa langkah ini dimaksudkan untuk memperkuat rantai pasok konstruksi sekaligus menekan harga bahan bangunan.
Di tingkat daerah, pemerintah provinsi mulai diundang ke dalam mekanisme koordinasi nasional agar proyek perumahan rakyat dan infrastruktur jalan tidak berjalan sendiri-sendiri. Kepala Bappenas menyebut pendekatan baru ini sebagai “pola pembangunan berbasis ekosistem,” di mana keberhasilan proyek diukur dari kesalingterhubungan antaraktor, bukan hanya dari volume fisik pekerjaan.

Infrastruktur dalam Perspektif Network Governance

Teori Network Governance sebagaimana dikemukakan oleh Provan dan Kenis (2008) menegaskan bahwa ketika kompleksitas kebijakan meningkat dan sumber daya tersebar di banyak organisasi, bentuk koordinasi yang paling efektif bukan lagi hierarki atau pasar, tetapi jaringan kelembagaan yang saling bergantung. Dalam konteks pembangunan infrastruktur di Indonesia tahun 2025, teori ini menemukan relevansinya.

Pertama, terdapat interdependensi sumber daya yang tinggi. Pemerintah memiliki mandat dan regulasi, BUMN Karya memegang kemampuan teknis, sektor swasta menyediakan modal dan inovasi, sementara masyarakat menjadi penerima manfaat sekaligus pengawas sosial. Kolaborasi antaraktor ini menuntut sistem komunikasi yang terbuka dan saling percaya agar tidak menimbulkan tumpang-tindih atau konflik kewenangan. Kedua, efektivitas jejaring bergantung pada struktur koordinasi. Pemerintah bertindak sebagai network broker yang menjaga arah strategis, sementara pelaku usaha menjadi implementing agent di lapangan. Ketika struktur jaringan terlalu longgar, proyek rentan terfragmentasi; sebaliknya, bila terlalu terpusat, inovasi akan terhambat. Karena itu, mekanisme forum lintas kementerian, asosiasi industri, dan pemerintah daerah menjadi penting untuk menyeimbangkan kontrol dan fleksibilitas.
Ketiga, kunci keberlanjutan jejaring adalah kepercayaan institusional (trust). Kolaborasi yang kompleks tidak dapat bertahan hanya dengan kontrak formal. Seperti dijelaskan Provan & Kenis, kepercayaan dibangun melalui pertukaran informasi, pembelajaran bersama, dan reputasi saling andal. Dalam kasus Megabuild 2025, proses perencanaan bersama antara kementerian dan asosiasi pengembang merupakan bentuk trust-building mechanism yang dapat mempercepat keputusan tanpa harus bergantung pada prosedur birokratis panjang.

Kolaborasi yang Menghasilkan Nilai Publik

Kolaborasi multipihak dalam infrastruktur menuntut perubahan cara pandang: dari proyek sebagai kewajiban negara menjadi proyek sebagai nilai publik kolektif. Di sini, keberhasilan tidak hanya diukur dari jumlah rumah yang dibangun atau kilometer jalan yang selesai, tetapi juga dari sejauh mana setiap aktor berkontribusi pada manfaat sosial dan keberlanjutan ekonomi. Namun, keberhasilan jaringan tidak datang tanpa risiko. Fragmentasi tanggung jawab sering kali membuat siapa pun sulit dimintai pertanggungjawaban ketika terjadi keterlambatan atau penurunan mutu. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme shared accountability yang jelas misalnya kesepakatan indikator kinerja bersama dan publikasi laporan kemajuan lintas lembaga setiap triwulan.
Selain itu, kolaborasi yang efektif membutuhkan kapasitas kelembagaan yang seimbang. Pemerintah daerah yang masih lemah dalam perencanaan dan pengawasan harus diperkuat agar tidak hanya menjadi pelaksana administratif proyek pusat. BUMN dan swasta pun perlu memahami bahwa keberhasilan proyek publik tidak semata diukur dari laba, tetapi dari social return yang dihasilkannya.

Dalam forum Megabuild, Ketua Umum REI menekankan pentingnya sinergi berbasis keadilan: “Kolaborasi bukan berarti dominasi salah satu pihak, tetapi pembagian peran yang proporsional sesuai kemampuan.” Pernyataan ini sejalan dengan prinsip network governance yang menempatkan hubungan kolaboratif sebagai proses timbal-balik, bukan subordinasi.

Dari Proyek Menuju Ekosistem

Transformasi pembangunan infrastruktur tahun 2025 memperlihatkan arah baru: dari proyek individual menuju ekosistem kolaboratif. Pemerintah, BUMN, swasta, dan masyarakat kini terikat dalam jejaring yang menuntut koordinasi, kepercayaan, dan akuntabilitas bersama.
Jika pola ini dikelola dengan baik, Indonesia dapat keluar dari jebakan sentralisasi dan menciptakan model pembangunan berbasis jaringan yang adaptif terhadap perubahan. Namun, jika kolaborasi hanya berhenti pada tataran seremoni, maka risiko duplikasi, inefisiensi, dan ketimpangan kewenangan akan kembali menghantui.
Membangun infrastruktur kolaboratif berarti memandang pembangunan sebagai proses sosial, bukan sekadar kegiatan fisik. Hanya dengan tata kelola jaringan yang transparan dan berkeadilan, kolaborasi banyak aktor itu dapat menjadi sarana menciptakan infrastruktur yang bukan saja berdiri kokoh secara teknis, tetapi juga berakar kuat pada kepentingan publik.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *