Mewartakan dengan Jiwa

Koperasi Desa sebagai Jembatan Kemitraan Nasional

Peluncuran Koperasi Merah Putih di Klaten oleh Presiden RI, Prabowo Subianto. Sumber: merahputih.kop.id
Peluncuran Koperasi Merah Putih di Klaten oleh Presiden RI, Prabowo Subianto. Sumber: merahputih.kop.id

Momentum Kebangkitan Ekonomi Gotong Royong

Agustus 2025 menjadi bulan yang istimewa bagi kebijakan pembangunan ekonomi rakyat. Dalam peringatan Hari Koperasi Nasional ke-78 di Purwokerto, Presiden menegaskan bahwa koperasi harus kembali menjadi “urat nadi ekonomi rakyat” sekaligus penghubung antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Antaranews mencatat bahwa pemerintah menargetkan pembentukan 10.000 koperasi modern hingga 2027 dengan prioritas pada sektor pangan, pertanian, dan pariwisata berbasis desa.
Menteri Koperasi dan UKM dalam pidatonya menyatakan bahwa kebangkitan koperasi bukan hanya agenda ekonomi, melainkan juga upaya membangun kembali kepercayaan sosial di tingkat akar rumput. “Kita sedang membangun jembatan dari desa ke pusat bukan sekadar menyalurkan dana, tapi membangun jejaring kolaborasi,” ujarnya.
Pernyataan ini merefleksikan arah baru pembangunan nasional: bahwa kekuatan ekonomi bukan semata diukur dari kapital finansial, melainkan dari modal sosial (social capital) yang tumbuh dari kepercayaan, jaringan, dan solidaritas warga.

Konteks Kebijakan: Koperasi di Tengah Arus Kemitraan Baru

Sejak awal 2025, pemerintah mulai memadukan kebijakan pembangunan desa dengan agenda kemitraan nasional. Program Koperasi Pangan Mandiri dan Desa Produktif diluncurkan sebagai bagian dari strategi memperkuat rantai pasok nasional dari bawah. Dalam program ini, koperasi tidak hanya berperan sebagai lembaga ekonomi lokal, tetapi juga sebagai pengelola kemitraan antara petani, BUMN pangan, dan sektor swasta.
Kementerian Koperasi melaporkan bahwa hingga Juli 2025 telah terbentuk 4.350 koperasi baru yang terkoneksi langsung dengan lembaga pembiayaan dan platform digital. Dari jumlah itu, 28 persen beroperasi di sektor pertanian terpadu, 22 persen di bidang pariwisata desa, dan sisanya di industri kecil-menengah.
Media Indonesia mencatat bahwa kerja sama antara koperasi dan BUMN seperti Bulog, Pupuk Indonesia, serta Pertamina Patra Niaga mulai menghasilkan efisiensi rantai distribusi. Beberapa koperasi pangan di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan bahkan berhasil menjadi mitra penyedia logistik bahan pokok untuk pasar modern.
Namun, di balik keberhasilan itu masih terdapat kesenjangan: banyak koperasi desa belum memiliki kapasitas manajerial dan sistem akuntansi yang memadai. Pemerintah menyadari bahwa tanpa pendampingan kelembagaan, koperasi mudah jatuh ke dalam ketergantungan pada bantuan, bukan menjadi aktor mandiri.

Pemberdayaan dan Kepercayaan dalam Perspektif Social Capital

Robert Putnam (1993) dalam teori Social Capital menjelaskan bahwa keberhasilan lembaga masyarakat tidak hanya ditentukan oleh struktur organisasi, tetapi oleh jaringan kepercayaan dan norma timbal balik yang menopangnya. Koperasi desa menjadi bentuk paling konkret dari modal sosial itu   ia lahir dari semangat gotong royong dan berfungsi sebagai ruang bersama antara ekonomi dan solidaritas sosial.
Sementara Mansuri dan Rao (2013) melalui Community-Based Development Theory menegaskan bahwa pembangunan berbasis masyarakat baru berhasil bila didukung oleh kapasitas kelembagaan lokal dan relasi kepercayaan dengan institusi di atasnya. Dengan kata lain, koperasi dapat menjadi jembatan kolaboratif antara warga, swasta, dan pemerintah jika memenuhi dua syarat: otonomi dan kredibilitas.

Dalam konteks Indonesia 2025, teori ini menemukan momentumnya. Ketika proyek-proyek besar infrastruktur nasional banyak melibatkan kemitraan publik-swasta di tingkat pusat, koperasi desa berperan melengkapi dari bawah   menyediakan jaringan sosial yang memastikan keberlanjutan manfaat ekonomi bagi warga lokal.
Misalnya, di Kabupaten Banyuwangi, koperasi “Tani Mandiri Nusantara” berhasil menjadi penghubung antara petani kecil dan perusahaan logistik pangan nasional. Antaranews melaporkan bahwa koperasi ini bukan hanya menyalurkan hasil panen, tetapi juga mengelola pelatihan, kredit mikro, dan sistem informasi digital berbasis harga harian. Pola serupa muncul di Kalimantan Tengah, di mana koperasi pariwisata “Sahabat Rimba” bermitra dengan BUMDes dan swasta untuk mengembangkan ekowisata hutan.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa koperasi bukan lagi entitas tertinggal, melainkan struktur penghubung (linking structure) yang mengaitkan kepentingan lokal dengan agenda nasional.

Namun, keberhasilan tersebut sangat tergantung pada modal sosial: kepercayaan anggota, komitmen transparansi pengurus, dan dukungan pemerintah yang konsisten. Banyak koperasi gagal bukan karena kekurangan modal finansial, melainkan karena erosi kepercayaan. Dalam kerangka Putnam, kepercayaan sosial inilah yang membentuk institutional performance jangka panjang.

Dari Gotong Royong ke Tata Kelola Kolaboratif

Pemberdayaan koperasi desa pada 2025 mengandung makna lebih luas dari sekadar revitalisasi ekonomi rakyat. Ia merupakan transformasi kelembagaan menuju tata kelola kolaboratif (collaborative governance from below).
Keberadaan koperasi yang berjejaring dengan BUMN dan swasta mengubah struktur kekuasaan ekonomi di pedesaan. Hubungan patronase perlahan bergeser menjadi hubungan kontraktual berbasis hasil dan kepercayaan. Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator, bukan penentu tunggal; sementara warga menjadi subjek aktif pembangunan, bukan penerima pasif program.
Dalam forum nasional “Koperasi untuk Indonesia Maju” yang digelar 12 Agustus 2025 di Jakarta, para pemimpin koperasi menyuarakan agar kemitraan koperasi tidak dikerdilkan hanya sebagai penyalur bantuan. Mereka menuntut kejelasan posisi koperasi dalam rantai kebijakan nasional: sebagai mitra setara dalam pengelolaan ekonomi lokal.
Pandangan ini sejalan dengan semangat UU Nomor 25 Tahun 1992 yang menempatkan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Dalam konteks teori social capital, koperasi adalah wujud konkret dari modal sosial yang diinstitusionalisasi, sehingga negara memiliki tanggung jawab bukan untuk mengintervensi, tetapi untuk memperkuat kapasitasnya melalui pendidikan, digitalisasi, dan kemudahan akses pasar.

Koperasi Sebagai Jembatan Sosial dan Ekonomi

Kebijakan penguatan koperasi desa pada Agustus 2025 memperlihatkan arah pembangunan yang lebih berakar pada masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah, BUMN, swasta, dan komunitas lokal tidak hanya memperkuat rantai pasok nasional, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan sosial yang menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan.
Koperasi desa, dengan segala keterbatasannya, memiliki kekuatan simbolik dan strategis: ia menjembatani logika pasar dengan etika gotong royong. Jika negara mampu menjaga otonomi dan kredibilitasnya, koperasi akan tumbuh menjadi simpul kolaborasi yang mempertemukan ekonomi dan kemanusiaan.
Pembangunan nasional tidak dapat terus bergantung pada investasi besar dan proyek raksasa; ia memerlukan jaringan kepercayaan yang tumbuh dari bawah. Dalam jaringan itulah koperasi menjadi relevan kembali   bukan sebagai nostalgia masa lalu, tetapi sebagai model masa depan ekonomi yang berkeadilan dan berakar sosial.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *