Mewartakan dengan Jiwa

Kolaborasi Data Publik: Transparansi sebagai Infrastruktur Baru

Foto oleh Mika Baumeister di Unsplash
Foto oleh Mika Baumeister di Unsplash

Data Menjadi Bahasa Baru Pemerintahan

Pada minggu pertama Mei 2025, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital bersama Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan percepatan program Satu Data Indonesia 2.0. Dalam konferensi pers di Jakarta, Menteri Komunikasi dan Digital menegaskan bahwa data kini diperlakukan sebagai “infrastruktur publik baru” yang menyatukan perencanaan, evaluasi, dan layanan masyarakat lintas sektor. Antaranews mencatat bahwa pemerintah telah menyiapkan integrasi lebih dari 350 basis data kementerian/lembaga ke dalam satu sistem terpusat, termasuk data sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Upaya ini bukan hanya pembaruan teknis, tetapi juga perubahan paradigma: pemerintahan kini bergerak menuju transparansi berbasis data. Kebijakan ini lahir dari kesadaran bahwa kecepatan digitalisasi tanpa kolaborasi akan menimbulkan duplikasi, tumpang-tindih, dan krisis kepercayaan publik. Oleh sebab itu, Mei 2025 menjadi tonggak penting bagi integrasi data publik lintas lembaga   sebuah kolaborasi yang tidak kasat mata, tetapi sangat menentukan kualitas tata kelola.

Konteks Tata Kelola: Dari Fragmentasi Data ke Satu Ekosistem Digital

Sejak diluncurkan pada 2019, inisiatif Satu Data Indonesia (SDI) mengalami perkembangan bertahap. Namun, banyak lembaga publik masih menyimpan data dalam format dan sistem yang berbeda. Laporan Kompas edisi 6 Mei 2025 menyebut bahwa 62 persen data kementerian belum saling terhubung karena perbedaan metadata standard dan hambatan regulasi antarinstansi. Pemerintah kini berupaya mengatasi fragmentasi itu melalui kolaborasi antara BPS, Kemenkomdig, Bappenas, dan Pemerintah Daerah. BPS berperan sebagai wali data nasional; Kemenkomdig mengembangkan platform digital; sementara Bappenas mengintegrasikan data pembangunan ke dalam sistem perencanaan jangka menengah. Di sisi daerah, 22 provinsi telah menandatangani komitmen implementasi Satu Data Regional yang menghubungkan data kemiskinan, UMKM, dan infrastruktur.
Menteri Komunikasi dan Digital menjelaskan bahwa langkah ini bukan hanya teknokratis, tetapi juga sosial-politik: “Data adalah fondasi kepercayaan publik. Kalau data publik terbuka dan bisa diverifikasi, maka kebijakan tidak akan dituduh subjektif. Konteks tersebut menegaskan arah baru manajemen publik digital Indonesia: dari birokrasi informasi menuju pemerintahan kolaboratif berbasis data.

Kolaborasi Digital dalam Digital Government Maturity dan OPen Government Data Framework

Kerangka Digital Government Maturity Model yang dikembangkan OECD (2019) menjelaskan bahwa kedewasaan digital suatu pemerintahan tidak diukur dari banyaknya aplikasi atau sistem, tetapi dari seberapa kolaboratif lembaga-lembaganya berbagi data untuk menciptakan nilai publik.
Sementara itu, Open Government Data Framework (Zuiderwijk & Janssen, 2014) menegaskan bahwa keterbukaan data hanya efektif bila melibatkan tiga unsur: interoperabilitas teknologi, kejelasan regulasi, dan kepercayaan sosial terhadap penggunaan data.

Dalam konteks Indonesia pada Mei 2025, teori ini tercermin secara empiris. Pertama, dari sisi interoperabilitas teknologi, Kemenkomdig dan BPS telah meluncurkan API lintas lembaga yang memungkinkan pertukaran data otomatis antar sistem informasi kementerian. Ini menandai kemajuan penting setelah selama bertahun-tahun data publik disimpan terpisah. Namun, persoalan keamanan dan privasi tetap menjadi catatan: Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengingatkan agar sistem keamanan data publik diperkuat, terutama setelah munculnya beberapa kasus kebocoran data di sektor kesehatan awal tahun.
Kedua, dari aspek regulasi, pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden tentang Tata Kelola Data Publik yang memperjelas peran wali data, produsen data, dan pengguna data. Dalam kacamata teori, hal ini merupakan prasyarat kedua dalam model Zuiderwijk-Janssen: kepastian hukum yang mengatur siapa yang bertanggung jawab atas validitas dan pembaruan data.
Ketiga, aspek kepercayaan sosial menjadi inti persoalan. Keterbukaan data bukan sekadar akses, melainkan keyakinan masyarakat bahwa data tidak disalahgunakan. Survei yang dilakukan Indikator Politik pada April 2025 menunjukkan bahwa hanya 47 persen warga percaya pemerintah dapat melindungi data pribadinya. Angka ini menggambarkan pekerjaan rumah besar bagi pembangunan ekosistem digital yang beretika dan transparan. Dalam teori open government data, kolaborasi lintas lembaga disebut berhasil jika menghasilkan “nilai sosial baru”   bukan hanya efisiensi administratif, tetapi juga kemampuan publik untuk mengawasi, berpartisipasi, dan berinovasi. Jika data publik menjadi bahan baku inovasi sosial, maka kolaborasi digital telah mencapai makna substantifnya.

Data sebagai Jembatan, Bukan Sekadar Aset

Kolaborasi data publik memperlihatkan perubahan epistemologis dalam manajemen publik: dari “data sebagai milik lembaga” menjadi “data sebagai milik publik.” Namun perubahan ini menuntut disiplin baru: koordinasi lintas sektor, pengawasan bersama, dan manajemen risiko digital.
Dalam diskusi yang diadakan Jakarta Post Forum pada 18 Mei 2025, seorang akademisi dari UI mengingatkan bahwa keterbukaan data tanpa literasi publik justru menimbulkan kesalahpahaman. Ia mencontohkan bagaimana data kemiskinan yang dirilis terbuka kerap ditafsirkan keliru karena kurangnya konteks metodologis. Ini menegaskan bahwa transparansi tanpa edukasi tidak otomatis menghasilkan kepercayaan.
Untuk itu, kolaborasi data harus melibatkan perguruan tinggi dan komunitas sipil sebagai penerjemah dan penjaga makna data. Kolaborasi seperti yang dilakukan BPS dengan sejumlah universitas untuk validasi data kemiskinan dan ketenagakerjaan menjadi contoh positif bagaimana sains, teknologi, dan kebijakan dapat berjalan bersama.

Di sisi lain, lembaga publik juga harus siap menanggalkan ego sektoral. Tantangan terbesar dari Satu Data Indonesia bukan pada teknologi, melainkan pada politik informasi   siapa yang berhak menentukan kebenaran data dan siapa yang mengontrol aksesnya. Pemerintah yang matang digital bukan hanya yang mampu menyimpan data besar, tetapi yang berani membagi, diaudit, dan dikritisi.

Transparansi sebagai Infrastruktur Baru

Gerakan Satu Data Indonesia 2.0 pada Mei 2025 menandai bahwa pembangunan tidak lagi bergantung pada beton dan baja semata, tetapi juga pada infrastruktur informasi yang kokoh, terbuka, dan dapat dipercaya.
Ketika data publik menjadi bahasa bersama antarinstansi, kolaborasi digital berubah menjadi kekuatan baru dalam manajemen publik. Namun, kolaborasi itu hanya akan bermakna bila disertai tanggung jawab etis, mekanisme keamanan, dan literasi publik yang memadai.
Pemerintahan yang terbuka bukan berarti kehilangan kendali, tetapi menegaskan integritasnya di hadapan warga. Dalam ekosistem digital yang saling terhubung, transparansi bukan sekadar prinsip moral, melainkan syarat eksistensial bagi negara yang ingin tetap dipercaya.
Membangun data sebagai infrastruktur publik berarti menanam kejujuran sebagai pondasinya   karena tanpa kepercayaan, segala algoritma dan platform digital hanya akan menjadi arsitektur kosong.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *