Mewartakan dengan Jiwa

Ketegangan Sosial dan Ketahanan Kolaboratif Negara

Foto oleh Alex Hudson di Unsplash
Foto oleh Alex Hudson di Unsplash

Musim Politik dan Ujian Ketahanan Sosial

Bulan September 2025 diwarnai oleh meningkatnya ketegangan sosial di berbagai daerah seiring mendekatnya siklus pemilihan kepala daerah serentak dan penyesuaian harga bahan pokok. Antaranews mencatat serangkaian aksi unjuk rasa mahasiswa dan buruh di Jakarta, Makassar, dan Medan yang menuntut transparansi kebijakan subsidi serta kejelasan distribusi anggaran daerah. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menegaskan bahwa pemerintah menempuh pendekatan “dialog dan mitigasi sosial” ketimbang represif. Namun di lapangan, berbagai laporan menunjukkan adanya gesekan antara aparat dan massa di beberapa kota besar. Situasi ini memperlihatkan bahwa tantangan utama pemerintahan bukan semata menjaga ketertiban, melainkan menjaga ketahanan kolaboratif kemampuan negara dan masyarakat untuk mengelola perbedaan secara produktif dan tetap berorientasi pada kepentingan publik.

Kolaborasi dalam Krisis

Peningkatan tensi sosial pada September mendorong pemerintah untuk memperkuat koordinasi lintas kementerian dan lembaga daerah. Dalam rapat koordinasi nasional di Jakarta (12 September 2025), Menteri Dalam Negeri menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah daerah, aparat keamanan, dan lembaga sosial masyarakat untuk menekan potensi konflik horizontal. Kementerian Sosial melaporkan aktivasi Forum Koordinasi Sosial Kemasyarakatan (FKS) di 25 provinsi sebagai wadah dialog cepat antara pemerintah, tokoh agama, organisasi kepemudaan, dan dunia usaha. Tujuannya ialah mencegah eskalasi ketegangan melalui pendekatan komunikasi dan bantuan sosial terarah.
Sementara itu, Kementerian Kominfo bersama komunitas digital mengintensifkan patroli siber untuk menangkal penyebaran hoaks yang berpotensi memicu konflik. “Resiliensi sosial tidak bisa hanya dibangun dengan pasal hukum, tetapi juga dengan ekosistem informasi yang sehat,” ujar Menteri Kominfo dalam konferensi pers yang dikutip Media Indonesia (17 September 2025). Langkah-langkah tersebut menandai pergeseran paradigma penanganan krisis di Indonesia: dari respons koersif menuju model governance berbasis resiliensi yang melibatkan banyak aktor.

Pemerintahan Tangguh dalam Perspektif Resilience Governance

Louise Comfort (2005) mendefinisikan resilience governance sebagai kemampuan sistem pemerintahan untuk menyerap guncangan, belajar dari krisis, dan beradaptasi tanpa kehilangan fungsi utama pelayanan publik. Sementara Boin et al. (2017) menambahkan bahwa keberhasilan manajemen krisis terletak pada tiga aspek: sense-making (kemampuan memahami situasi), coordination (koordinasi lintas sektor), dan learning (pembelajaran kelembagaan).

Dalam konteks Indonesia September 2025, ketiga aspek itu dapat diidentifikasi secara konkret. Pertama, aspek sense-making tercermin dari upaya pemerintah membaca sumber ketegangan bukan sebagai ancaman politik semata, melainkan sebagai gejala disfungsi kebijakan sosial. Analisis BPS menunjukkan kenaikan indeks harga bahan pokok sebesar 3,4 persen sejak Juli, sementara penyerapan program bantuan sosial melambat di 18 provinsi akibat keterlambatan transfer keuangan daerah. Pemerintah mulai memetakan daerah-daerah dengan potensi kerawanan tinggi menggunakan data integratif Early Warning System Kemensos yang dikembangkan bersama Bappenas.

Kedua, aspek coordination muncul dalam pembentukan Command Center Resilience di bawah Kemenko PMK yang berfungsi menghubungkan sistem informasi kementerian sosial, dalam negeri, dan komunikasi. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Kalimantan Timur, pemerintah daerah membentuk Resilience Task Force yang melibatkan universitas dan organisasi masyarakat sipil. Ini menunjukkan bahwa pola koordinasi vertikal telah bergeser menjadi pola jejaring horizontal berbasis keahlian dan kepercayaan.

Ketiga, aspek learning tampak dari refleksi kelembagaan terhadap pengalaman masa lalu. Pemerintah berusaha menghindari pendekatan keamanan murni seperti yang terjadi pada protes 2020-2021. Sebagai gantinya, dilakukan pendekatan berbasis social healing dengan melibatkan psikolog komunitas dan lembaga keagamaan untuk meredakan trauma kolektif pascademonstrasi. Pendekatan ini selaras dengan teori Comfort yang menekankan bahwa resiliensi hanya dapat tumbuh jika sistem pemerintahan mau belajar dari kesalahan dan membuka ruang partisipasi.

Ketahanan Kolaboratif Sebagai Modal Sosial Negara

Krisis sosial tidak semestinya dipahami sebagai kegagalan, tetapi sebagai momen pembelajaran kolektif. Dalam banyak kasus, krisis justru menjadi titik balik bagi reformasi kebijakan dan konsolidasi kelembagaan.
Boin et al. menekankan bahwa dalam situasi krisis, kepercayaan publik menjadi sumber energi sosial yang menentukan arah pemulihan. Tanpa kepercayaan, semua kebijakan kehilangan legitimasi. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengelola komunikasi publik secara jujur dan konsisten agar warga merasa dilibatkan, bukan dimobilisasi.
Dalam diskusi “Ketahanan Sosial dan Tata Kelola Krisis” di Universitas Indonesia (22 September 2025), sejumlah pakar menyoroti pentingnya memperluas definisi keamanan nasional mencakup dimensi sosial dan psikologis. “Ketahanan bukan berarti tidak ada krisis, melainkan kemampuan masyarakat untuk bangkit bersama,” ujar salah satu narasumber.
Penguatan forum masyarakat sipil, lembaga keagamaan, dan perguruan tinggi menjadi penopang utama ketahanan kolaboratif. Di beberapa daerah, kolaborasi antarorganisasi lokal bahkan melahirkan inovasi, seperti Community Mediation Center di Bandung yang memfasilitasi dialog antara warga dan aparat. Ini menjadi contoh praktik bottom-up resilience yang jarang diakui tetapi memiliki efek nyata bagi stabilitas sosial.

Dari Krisis Menuju Kapasitas Adaptif

Peristiwa sosial September 2025 menunjukkan bahwa stabilitas politik dan keamanan tidak dapat dijaga dengan instrumen hukum semata, tetapi dengan sistem kolaborasi yang adaptif dan berkepercayaan. Pemerintahan yang tangguh adalah pemerintahan yang mampu belajar dari krisis dan menjadikannya bahan untuk memperbaiki sistem. Model resilience governance menawarkan cara pandang baru: negara bukan benteng yang menolak guncangan, tetapi jaringan yang lentur, belajar, dan berdaya tahan. Dalam model ini, pemerintah, swasta, masyarakat, dan media berperan sebagai simpul yang saling menopang. Apabila kolaborasi sosial ini terus diperkuat, maka setiap krisis dapat menjadi peluang bagi pertumbuhan kapasitas kolektif bangsa. Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai negara demokrasi besar, tetapi juga sebagai masyarakat tangguh (resilient society) yang mampu menjaga persatuan di tengah tekanan sosial dan politik yang kompleks.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *