Mewartakan dengan Jiwa

Kajian Efisiensi Anggaran VS Pengurangan Duplikasi Aplikasi (Siloed Applications) di Pemerintah Pusat dan Daerah

Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash
Foto oleh Jonas Leupe di Unsplash

Anatomi Pemborosan Digital: Ketika 27.000 Aplikasi Pemerintah Melahirkan Inefisiensi

Transformasi digital pemerintahan Indonesia telah mencapai kecepatan yang mengesankan, ditandai dengan pembangunan ribuan aplikasi layanan publik di berbagai instansi pusat dan daerah. Data Kementerian PANRB dan Bappenas (2022-2023) mencatat terdapat sekitar 27.000 aplikasi yang beroperasi di seluruh K/L. Secara teoretis, digitalisasi menjanjikan efisiensi besar-besaran. Namun, pada praktiknya, angka yang fantastis ini menyimpan paradoks: banyaknya aplikasi yang berdiri sendiri (siloed) dan tidak terintegrasi justru memicu pemborosan anggaran, tumpang tindih fungsi, dan beban operasional yang tinggi.

Kajian ini menyoroti kesenjangan (gap) antara harapan efisiensi anggaran negara yang dijanjikan melalui modernisasi digital dengan biaya yang ditimbulkan oleh duplikasi aplikasi yang tidak terkendali. Akar masalahnya struktural, yaitu kurangnya arsitektur SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) yang konsisten dan menjadi acuan bersama. Kondisi ini diperburuk oleh “ego-sektoral” antar instansi yang memilih membangun aplikasi sendiri meskipun fungsinya seringkali serupa.

Harga Mahal dari Fragmentasi Layanan

Duplikasi ini menciptakan inefisiensi ganda. Di satu sisi, ada biaya yang berulang untuk pengembangan dan maintenance fungsi yang mirip di berbagai instansi. Di sisi lain, alokasi anggaran menjadi terpecah untuk aplikasi yang tidak interoperabel.

Dampak paling nyata dirasakan oleh masyarakat, selaku pengguna layanan. Layanan publik menjadi terfragmentasi. Masyarakat dipaksa untuk berpindah-pindah aplikasi, bahkan harus mengunduh banyak aplikasi untuk layanan yang seharusnya dapat diakses melalui satu pintu terintegrasi. Pengalaman pengguna yang buruk (poor user experience) ini mencederai esensi pelayanan publik yang seharusnya sederhana dan cepat.

Meskipun Indonesia memiliki landasan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE yang menargetkan integrasi, penerapannya di lapangan belum maksimal. Hambatan kelembagaan menjadi salah satu penghalang utama: belum ada mekanisme tata kelola (governance) yang kuat untuk menyetop pengadaan aplikasi serupa. Selain itu, skema pendanaan TIK masih berbasis proyek, bukan berbasis siklus layanan terpadu, yang justru memberi insentif bagi instansi untuk terus mengajukan proyek pengembangan aplikasi baru. Budaya organisasi yang minim insentif untuk kolaborasi memperparah keadaan.

Lima Langkah Menuju Konsolidasi Digital

Untuk mengatasi krisis duplikasi dan menyelamatkan potensi penghematan anggaran, diperlukan intervensi kebijakan yang tegas. Kajian ini merekomendasikan lima langkah strategis:

  1. Moratorium dan Penapisan Ketat Aplikasi Baru

KemenPANRB dan Bappenas harus memberlakukan moratorium terhadap pengembangan aplikasi baru yang memiliki fungsi duplikatif. Setiap proposal aplikasi baru wajib melalui proses screening yang ketat berdasarkan Arsitektur SPBE Nasional.

  1. Reformasi Mekanisme Anggaran

Mekanisme pendanaan harus digeser dari berbasis proyek ke berbasis layanan berkelanjutan (service-based budgeting). Pendekatan ini memastikan alokasi dana berfokus pada pemeliharaan dan pengembangan layanan terpadu, bukan pada pembuatan aplikasi siloed baru.

  1. Penguatan Arsitektur SPBE Nasional

Penerapan arsitektur SPBE Nasional harus dilakukan secara ketat dengan menetapkan standar interoperabilitas dan keamanan data yang tunggal. Langkah ini juga perlu diperkuat dengan pengembangan portal layanan terpadu atau super-app yang mencakup lintas sektor dan wilayah.

  1. Insentif Kolaborasi

Pemerintah wajib memberikan insentif bagi instansi yang bersedia menghapus aplikasi siloed dan beralih menggunakan layanan sentral atau aplikasi bersama.

  1. IKU Digital dalam Penilaian Kinerja

Indikator Kinerja Utama (IKU) harus mencakup metrik spesifik terkait tingkat adopsi layanan sentral dan pengurangan aplikasi siloed. IKU ini harus menjadi komponen signifikan (misalnya 30%) dari penilaian kinerja dan tunjangan bagi Pejabat Eselon I/II dan Sekretaris Daerah.

Konsistensi dalam menerapkan Arsitektur SPBE adalah kunci keberhasilan. Dengan langkah konsolidasi yang tegas, potensi penghematan anggaran pengadaan dan pemeliharaan aplikasi diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Lebih dari sekadar menghemat biaya, tujuan akhirnya adalah mewujudkan layanan publik yang lebih sederhana, cepat, dan inklusif bagi seluruh masyarakat. Kini, bola ada di tangan para pengambil kebijakan untuk menunjukkan komitmen nyata dalam menakhodai transformasi digital yang efisien dan terpadu.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arinal Haq, S.AP

Associate Researcher di Sasanti Institute. Aktif dalam riset dan diskusi khususnya digital governance, inovasi pelayanan publik, dan pengembangan kebijakan digital.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *