Mewartakan dengan Jiwa

IMPLEMENTASI TRANSAKSI NON-TUNAI PEMERINTAH DAERAH (PENERIMAAN DAN PENGELUARAN)

6546a4576d23bb3892ee7d1b790ee350

Menakar Efektivitas Transaksi Non-Tunai di Pemerintah Daerah

Dorongan pemerintah untuk menerapkan Transaksi Non-Tunai (TNT) di tingkat daerah adalah bagian dari agenda besar reformasi tata kelola keuangan publik. Melalui kebijakan ini, seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah diharapkan dilakukan secara elektronik tanpa uang fisik guna menekan potensi penyimpangan, meningkatkan transparansi, serta mempercepat proses administrasi.

Secara prinsip, kebijakan TNT sejalan dengan semangat good governance: akuntabel, efisien, dan bebas korupsi. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan TNT di daerah belum sepenuhnya berjalan mulus. Banyak pemerintah daerah masih berada pada tahap parsial atau uji coba terbatas. Artinya, sistem non-tunai belum sepenuhnya menggantikan praktik transaksi kas yang telah mengakar selama puluhan tahun.

Mengapa Transaksi Non-Tunai Penting

Penerapan TNT menjadi langkah strategis dalam membangun ekosistem keuangan publik yang transparan dan terdigitalisasi. Melalui sistem ini, setiap aliran uang daerah tercatat secara otomatis dalam sistem perbankan dan dapat ditelusuri secara real-time. Penelitian (Dewi et al., 2023) menunjukkan bahwa daerah yang telah mengimplementasikan TNT secara menyeluruh mengalami penurunan signifikan dalam potensi fraud dan kebocoran anggaran.

Selain itu, TNT membantu menciptakan efisiensi proses kerja. Jika sebelumnya bendahara harus mencatat, menyetor, dan merekonsiliasi transaksi manual, kini proses tersebut dapat berlangsung otomatis melalui sistem virtual account dan electronic clearing. Manfaat ini bukan hanya menghemat waktu dan biaya administrasi, tetapi juga mengurangi potensi kesalahan manusia. Namun, di balik manfaat tersebut, implementasi TNT di daerah masih menghadapi berbagai hambatan struktural, teknis, dan budaya kerja yang perlu segera diatasi.

Hambatan: Dari Regulasi hingga SDM

Pertama, hambatan kelembagaan. Banyak daerah belum memiliki regulasi yang mengikat untuk memandatkan TNT secara penuh. Sebagian besar aturan masih berupa surat edaran atau instruksi kepala daerah, bukan peraturan daerah yang bersifat wajib. Akibatnya, adopsi TNT bergantung pada komitmen individu kepala daerah dan aparatur, bukan pada sistem yang berkelanjutan. Selain itu, SOP keuangan daerah masih berbasis kas tradisional, sementara sistem baru memerlukan pembaruan prosedur untuk rekonsiliasi elektronik dan audit digital. Di sisi lain, koordinasi antar-lembaga, khususnya antara pemerintah daerah dan bank mitra, seringkali belum harmonis. Beberapa daerah bahkan menghadapi keterbatasan jumlah bank yang mampu menyediakan layanan TNT dengan sistem yang terintegrasi.

Kedua, hambatan teknis dan infrastruktur. Tidak semua daerah memiliki konektivitas internet yang stabil dan kapasitas server memadai. Di wilayah terpencil, gangguan jaringan dapat menghambat proses transaksi real-time dan menurunkan kepercayaan pengguna terhadap sistem non-tunai. Selain itu, interoperabilitas antarsistem masih menjadi masalah klasik. Banyak aplikasi keuangan daerah yang belum kompatibel dengan sistem pembayaran elektronik nasional karena perbedaan format data, API, dan mekanisme rekonsiliasi.

Ketiga, hambatan SDM dan budaya kerja. Transformasi digital tidak hanya memerlukan perangkat keras, tetapi juga perubahan pola pikir. Banyak bendahara dan operator keuangan di SKPD belum terbiasa menggunakan sistem elektronik. Resistensi terhadap perubahan, ditambah rendahnya literasi digital dan keuangan, membuat TNT dianggap rumit dan berisiko. Padahal, tanpa kesiapan manusia sebagai pengguna utama, sistem secanggih apapun hanya akan menjadi formalitas administratif.

Peluang Sinkronisasi dan Reformasi

Meski banyak tantangan, peluang mempercepat TNT terbuka lebar. Perkembangan pembayaran digital di masyarakat (e-wallet, QRIS, mobile banking) dapat menjadi jembatan untuk sinkronisasi TNT dengan ekosistem keuangan digital nasional. Dengan dukungan regulasi seperti Instruksi Presiden tentang Pencegahan Korupsi dan Permendagri No. 79/2022, pemerintah daerah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mempercepat adopsi. Namun, percepatan tersebut hanya akan efektif bila disertai reformasi menyeluruh pada regulasi, infrastruktur, SDM, dan pengawasan.

Rekomendasi Kebijakan

Pertama, dari aspek regulasi dan tata kelola, pemerintah daerah perlu segera mengharmonisasikan Perda atau Peraturan Bupati/Walikota dengan Permendagri 79/2022. Regulasi ini harus mewajibkan rekonsiliasi elektronik antar-OPD dan antara pemerintah daerah dengan bank penyedia kanal pembayaran. Kedua, dari sisi infrastruktur dan teknologi, dibutuhkan investasi nyata pada jaringan internet, data center pemerintah, dan sistem disaster recovery. Pemerintah juga perlu menerapkan standar interoperabilitas nasional untuk memastikan seluruh kanal pembayaran, baik pajak, retribusi, maupun layanan publikdapat terhubung dalam satu sistem rekonsiliasi otomatis.

Ketiga, penguatan SDM harus dilakukan melalui pelatihan masif bagi bendahara dan staf keuangan daerah, dengan melibatkan BPKP, BPK, dan perguruan tinggi. Modul pelatihan dapat mengadopsi model blended learning agar adaptif terhadap berbagai kondisi daerah. Keempat, dari sisi pengawasan dan anti-fraud, pemerintah perlu membangun sistem monitoring transaksi real-time dengan anomaly detection, audit IT, dan audit forensik periodik. Setiap transaksi elektronik wajib memiliki logging dan audit trail agar mudah ditelusuri bila terjadi penyimpangan. Terakhir, untuk memastikan inklusivitas, program sosialisasi publik perlu digencarkan. Masyarakat harus memahami bahwa transaksi non-tunai bukan hanya urusan administrasi pemerintah, tetapi bagian dari perlindungan hak mereka sebagai warga yang berhak atas layanan publik yang bersih dan transparan.

Menuju Keuangan Publik yang Digital dan Akuntabel

Penerapan transaksi non-tunai adalah fondasi penting menuju tata kelola keuangan daerah yang lebih modern dan akuntabel. Namun, teknologi hanyalah alat, keberhasilannya ditentukan oleh kualitas regulasi, komitmen pemimpin daerah, dan kesiapan SDM. Jika ketiga faktor ini berjalan selaras, maka TNT tidak sekadar menjadi proyek digitalisasi keuangan, melainkan tonggak penting reformasi birokrasi fiskal Indonesia menuju masa depan yang lebih transparan, efisien, dan berintegritas.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arinal Haq, S.AP

Associate Researcher di Sasanti Institute. Aktif dalam riset dan diskusi khususnya digital governance, inovasi pelayanan publik, dan pengembangan kebijakan digital.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *