Ketegasan yang Menggugah
Ketika Menteri Keuangan Purbaya mulai menegaskan bahwa “anggaran yang tak terserap akan dialihkan untuk membayar utang negara”, publik segera menyadari bahwa gaya fiskal pemerintah tengah bergeser. Tidak lagi sekadar soal efisiensi teknokratis, tetapi tentang disiplin kolaboratif lintas kementerian dan lembaga. Dalam berbagai forum media, Purbaya menyampaikan pesan yang lugas: koordinasi lintas sektor hanya akan efektif jika setiap lembaga mampu mengelola sumber dayanya secara bertanggung jawab. Di balik ketegasan itu, terbaca pola komunikasi yang berbeda dari gaya menteri keuangan sebelumnya: keterbukaan strategis terhadap kemitraan, baik dengan lembaga pemerintah, dunia usaha, maupun otoritas perbankan. Di sinilah letak menariknya kepemimpinan fiskal ala Purbaya tegas, tetapi komunikatif; sentralistik dalam pengawasan, namun kolaboratif dalam pelaksanaan.
Konteks dan Tantangan Kolaborasi Fiskal
Kolaborasi lintas lembaga dalam pengelolaan fiskal negara bukan perkara sederhana. Dalam satu dekade terakhir, koordinasi antara Kementerian Keuangan dan K/L lain sering tersandera oleh tumpang tindih program, ego sektoral, dan mekanisme birokrasi yang berlapis. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran mempertegas tuntutan agar setiap K/L lebih adaptif terhadap kebijakan fiskal pusat. Purbaya menjawab tantangan itu dengan tiga langkah strategis. Pertama, pengetatan disiplin serapan anggaran, dengan ancaman realokasi ke prioritas nasional atau pelunasan utang. Kedua, penempatan dana pemerintah pada bank mitra negara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, BSI) sebagai bentuk kemitraan fiskal lintas sektor yang lebih produktif. Ketiga, penegasan transparansi antar-lembaga melalui digitalisasi laporan kinerja dan forum konsultatif terbuka. Langkah-langkah tersebut memperlihatkan teknik kepemimpinan yang menempatkan kolaborasi bukan semata kerja sama administratif, tetapi sebagai instrument of fiscal accountability alat untuk memastikan uang negara bergerak menuju manfaat publik yang terukur.
Tegas, Terbuka, dan Rasional
Jika ditilik dari teori collaborative governance (Ansell & Gash, 2007), kolaborasi yang berhasil membutuhkan tiga unsur: shared motivation, joint capacity, dan shared actions.
Gaya Purbaya menonjol pada unsur pertama shared motivation yakni dorongan bersama untuk bertanggung jawab atas anggaran publik. Ketegasannya membangun kesadaran disiplin fiskal lintas lembaga, meski terkadang disertai tekanan struktural. Namun, dalam aspek joint capacity, efektivitas kolaborasi bergantung pada kemampuan tiap K/L untuk menyesuaikan diri terhadap ritme fiskal Kemenkeu. Di sinilah potensi ketegangan muncul: kementerian teknis mungkin merasa “dikontrol” lebih kuat daripada “didukung”. Menariknya, Purbaya berusaha menyeimbangkan hal tersebut melalui komunikasi publik yang terbuka dan argumentatif mengundang perdebatan tetapi juga mengedukasi publik tentang rasionalitas kebijakan fiskal. Sementara itu, pada level shared actions, penempatan dana pemerintah ke bank-bank mitra menjadi bukti bahwa kolaborasi fiskal tidak berhenti di meja rapat, melainkan berlanjut pada kerja konkret antara negara dan dunia usaha. Dana yang semula mengendap dalam kas negara diarahkan ke sektor riil, menopang UMKM, dan memperkuat likuiditas nasional.
Kolaborasi sebagai Kepemimpinan Fiskal Baru
Gaya “tegas tetapi terbuka” yang ditunjukkan Purbaya mencerminkan bentuk baru kepemimpinan fiskal suatu kombinasi antara kontrol struktural dan diplomasi kebijakan. Di satu sisi, ia menjaga akuntabilitas fiskal agar tidak terjebak dalam politik anggaran; di sisi lain, ia membuka ruang diskusi bagi kementerian dan mitra non-pemerintah untuk berinovasi dalam penggunaan dana publik. Namun, gaya ini juga membawa risiko. Dominasi narasi efisiensi bisa mengaburkan pentingnya trust building antar-lembaga. Tanpa mekanisme negosiasi yang seimbang, kolaborasi berpotensi menjadi kepatuhan administratif semata. Karena itu, penting bagi Kementerian Keuangan untuk menyeimbangkan tekanan fiskal dengan pemberdayaan kelembagaan misalnya melalui joint performance evaluation, inter-agency forum, dan sistem insentif berbasis kinerja kolektif. Dari sudut pandang manajemen publik, strategi kolaborasi fiskal Purbaya bisa dipandang sebagai eksperimen kebijakan yang berani: mengubah budaya birokrasi sektoral menjadi ekosistem fiskal yang saling bergantung. Keberhasilan pendekatan ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kepercayaan (trust) dapat tumbuh seiring dengan penegakan disiplin fiskal.
Kolaborasi yang Menguatkan Akuntabilitas
Kepemimpinan publik di era reformasi fiskal membutuhkan keseimbangan antara otoritas dan partisipasi. Purbaya tampaknya memahami bahwa disiplin anggaran tanpa dialog tidak akan bertahan lama. Begitu pula sebaliknya, kolaborasi tanpa akuntabilitas hanya akan menghasilkan kompromi tanpa hasil. Oleh karena itu, gaya kolaboratif Purbaya yang tegas dalam prinsip dan terbuka dalam komunikasi layak dipahami bukan sekadar gaya personal, melainkan strategi tata kelola baru dalam manajemen fiskal nasional. Jika dijalankan secara konsisten, teknik ini dapat menjadi model kemitraan lintas lembaga yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga sehat secara institusional: transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kemaslahatan publik.




