Ketika Birokrasi Berubah Menjadi Korporasi Publik
Pada awal Februari 2025, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mencatat bahwa pagu anggarannya telah mengalami pengurangan dari sekitar Rp 5,27 triliun menjadi Rp 3,462 triliun setelah dilakukan rekonstruksi efisiensi anggaran. Antaranews mencatat bahwa efisiensi tersebut menjadikan fokus kementerian lebih terarah pada dua program utama, yakni dukungan manajemen dan program fisik perumahan serta kawasan permukiman.
Pada hari yang sama, Menteri PKP menyampaikan bahwa untuk memastikan program ambisius “3 juta rumah” tetap berjalan, pola kerja sama baru antara BUMN dan swasta akan dikembangkan. Antaranews melaporkan bahwa Menteri PKP berdiskusi dengan Menteri BUMN untuk memanfaatkan aset-aset BUMN dan melibatkan pengembang swasta agar tanah tetap menjadi milik negara, namun pembangunan dan pembiayaan disinergikan.
Konteks ini menandakan bahwa birokrasi publik dipaksa untuk bergerak seperti entitas manajerial efisiensi, hasil, kemitraan yang merupakan inti dari paradigma New Public Management (NPM).
Konteks Kebijakan: Paradigma NPM dalam Manajemen Publik Indonesia
Kerangka NPM memunculkan prinsip-prinsip seperti kinerja, efisiensi, manajemen berbasis hasil, dan penerimaan logika korporasi dalam birokrasi publik. Dalam tahap implementasi, Kementerian PKP mengadopsi pendekatan semacam ini melalui restrukturisasi anggaran besar‐besaran, mengubah alokasi dari pengeluaran rutin menjadi program spesifik, serta membuka ruang kemitraan antara BUMN dan swasta yang selama ini lebih lazim di sektor privat. Misalnya, menurut laporan Merdeka yang mengutip Antaranews (6 Februari 2025), Kementerian PKP menyusun skema kolaborasi BUMN-swasta untuk program 3 juta rumah, salah satu skema adalah pembangunan properti dengan strata title (unit hunian bisa diperjualbelikan sedangkan tanah tetap menjadi milik negara). Selain itu, kolaborasi mulai melibatkan dana CSR, pemanfaatan aset BUMN seperti lahan KAI dan Perumnas, dan mengikutsertakan investor asing dari Qatar dan Uni Emirat Arab.
Sinergi BUMN-Swasta dalam Lensa NPM
Menggunakan teori NPM, terdapat dua dimensi utama yang layak dikaji: efisiensi dan hasil (output/outcome), serta manajemen kemitraan dan tanggung jawab (accountability).
Pertama, efisiensi anggaran menjadi pemicu utama. Pengurangan pagu Kementerian PKP dari Rp 5,274 triliun menjadi Rp 3,462 triliun menunjukkan bahwa birokrasi publik harus “melakukan lebih dengan lebih sedikit”. Jika diterjemahkan ke logika NPM, kementerian harus menunjukkan value for money, manajemen berbasis hasil, dan orientasi pelanggan (masyarakat berpenghasilan rendah). Dalam situasi ini, kemitraan BUMN-swasta muncul sebagai instrumen pengganti mekanisme pembiayaan tradisional sehingga pasar dan sektor usaha dapat dilibatkan untuk mempercepat layanan publik.
Kedua, kemitraan BUMN-swasta harus dikelola dengan mekanisme manajerial yang sesuai. Skema yang disebut seperti strata title, pemanfaatan aset BUMN, dan dana CSR menunjukkan transformasi dari birokrasi klasik menjadi model jaringan yang lebih fleksibel karakter khas NPM. Namun sisi kritisnya adalah akuntabilitas: tanah tetap milik negara, tetapi bagaimana memastikan pengembang swasta tidak mengambil keuntungan yang tidak proporsional? Bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi dibangun dalam kemitraan ini? Kerangka NPM menggarisbawahi bahwa kelembagaan publik harus tetap transparan, terukur, dan orientasi hasil harus muncul secara nyata.
Dalam konteks program perumahan, risiko muncul ketika kemitraan gagal menghasilkan output yang diharapkan: unit rumah tidak selesai tepat waktu, kualitas rendah, atau harga terlalu tinggi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di sinilah manajemen publik berbasis hasil harus hadir: indikator kinerja seperti jumlah unit selesai, tingkat keterserapan, waktu penyelesaian, dan kepuasan pengguna menjadi penting.
Tantangan Akuntabilitas dan Kapasitas
Paradigma NPM membawa banyak manfaat, seperti fokus pada efisiensi dan hasil, tetapi juga menimbulkan tantangan institusional. Dalam konteks kolaborasi BUMN-swasta, penting untuk memperhatikan beberapa aspek:
- Kapasitas institusional lembaga publik: kesiapan pengembangan skema kemitraan, regulasi aset negara, serta kompetensi pengelolaan hubungan swasta-publik harus dijamin agar kemitraan tidak justru menimbulkan diskriminasi atau konflik.
- Transparansi dan akuntabilitas: karena kemitraan membawa unsur komersial, publik perlu diyakinkan bahwa kepemilikan tetap milik negara dan keuntungan swasta tidak menyalahi prinsip keadilan sosial.
- Outcome nyata bagi masyarakat: program 3 juta rumah memang berorientasi target kuantitatif, namun orientasi kualitas, aksesibilitas, dan keberlanjutan harus menjadi bagian integral. NPM menekankan bahwa output bukan sekadar pencapaian angka, tetapi hasil yang berdampak bagi layanan publik.
Jika aspek-aspek tersebut diabaikan, maka kemitraan BUMN-swasta bisa menjadi mekanisme yang menggantikan birokrasi tanpa memperkuatnya, atau bahkan menimbulkan disfungsi baru ketika sektor swasta mengambil alih fungsi publik tanpa kontrol yang memadai.
Menuju Manajemen Publik yang Adaptif
Transformasi manajemen publik melalui paradigma NPM telah memasuki fase kemitraan nyata antara pemerintah dan sektor usaha swasta. Kementerian PKP pada Maret 2025 menampilkan potensi besar dalam skema kolaborasi, namun sekaligus menghadapi dilema klasik: bagaimana tetap mempertahankan kontrol, keadilan, dan orientasi publik di tengah efisiensi yang digencarkan?
Jika kemitraan ini dirancang dengan manajemen berbasis hasil, kapasitas institusional yang memadai, dan akuntabilitas yang kuat, maka sinergi BUMN-swasta bisa menjadi model efektif manajemen publik di era baru. Namun, bila sekadar menjalankan skema tanpa memperkuat mekanisme pengukuran dan kontrol, maka efisiensi bisa mengorbankan keadilan dan kualitas layanan publik.
Dalam kerangka NPM, adaptasi bukan hanya sekadar adopsi “cara korporasi”, tetapi transformasi yang menjadikan birokrasi mampu berkolaborasi, mengukur, dan mempertanggungjawabkan untuk kesejahteraan masyarakat secara nyata.




