Menapaki Era Kolaborasi Digital
Awal tahun 2025 menjadi penanda penting dalam arah kebijakan digital Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke India pada 23-26 Januari 2025, telah ditandatangani nota kesepahaman antara Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia dan Ministry of Electronics and Information Technology (MEIT) India. Kesepakatan itu mencakup kerja sama di bidang kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), infrastruktur digital publik, serta pengembangan sumber daya manusia di sektor teknologi informasi. Langkah ini menandai perubahan orientasi kebijakan digital Indonesia dari transformasi internal menuju kemitraan strategis lintas negara. Kolaborasi tersebut bukan sekadar simbol diplomasi, melainkan ekspresi niat untuk menjadikan digitalisasi sebagai instrumen diplomasi pembangunan (development diplomacy).
Digitalisasi sebagai Diplomasi Pembangunan
Menurut pernyataan resmi yang dikutip Antara News (26 Januari 2025), kerja sama ini diharapkan mempercepat agenda digital nasional sekaligus membuka ruang pembelajaran dari pengalaman India dalam membangun digital identity berbasis sistem Aadhaar. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyebut bahwa kemitraan dengan India merupakan salah satu pilar strategis dalam mencapai tata kelola pemerintahan digital yang efisien dan inklusif. Konteks ini relevan dengan arah kebijakan jangka panjang Indonesia menuju Visi Emas 2045, di mana ekonomi digital diproyeksikan melebihi USD 130 miliar pada tahun tersebut. Artinya, digitalisasi tidak lagi dipandang semata sebagai upaya modernisasi teknologi, melainkan juga sebagai arena kompetisi global untuk memperkuat kedaulatan ekonomi dan kapasitas institusional negara.
Kolaborasi yang Menyatu dalam Tata Kelola
Dari perspektif manajemen publik, MoU Indonesia-India tersebut merupakan bentuk collaborative governance di tingkat antarnegara yang memiliki implikasi langsung terhadap tata kelola domestik. Teori Ansell dan Gash (2007) menegaskan bahwa keberhasilan kolaborasi ditentukan oleh tiga elemen: shared motivation, joint capacity, dan shared actions. Motivasi bersama kedua negara tampak jelas: memperkuat kapasitas digital sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi. Namun, pada tahap awal ini, kapasitas bersama masih dalam proses pembentukan. Pembentukan Joint Working Group yang direncanakan sebagai tindak lanjut MoU menjadi indikator bahwa mekanisme koordinasi lintas lembaga mulai dipersiapkan, meskipun rincian struktur dan keanggotaannya belum diumumkan secara publik. Secara kelembagaan, tantangan utama berada pada koordinasi antarkementerian dan lembaga di dalam negeri. Kolaborasi internasional baru akan bermakna jika diikuti oleh sinergi domestik antara Kementerian Komunikasi dan Digital dengan kementerian pengguna seperti Pendidikan, Kesehatan, dan Bappenas. Dalam konteks ini, kerja sama dengan India berpotensi menjadi katalis untuk memperkuat integrasi kebijakan digital nasional yang selama ini cenderung tersebar. Lebih jauh, kemitraan ini juga menuntut penguatan akuntabilitas dan transparansi dalam implementasinya. Dalam banyak kasus, kerja sama digital antarnegara berhenti pada penandatanganan naskah kesepahaman tanpa mekanisme evaluasi yang jelas. Oleh karena itu, penting agar MoU ini disertai dengan sistem pemantauan berbasis indikator kinerja, misalnya melalui dashboard digital cooperation yang menampilkan kemajuan konkret di bidang infrastruktur, SDM, dan penerapan teknologi baru.
Menumbuhkan Kapasitas dan Kepercayaan
Kerja sama Indonesia-India di bidang digital membawa pesan bahwa transformasi teknologi harus ditopang oleh tata kelola kolaboratif yang kuat. Digitalisasi tidak dapat dikelola secara sektoral, sebab teknologi informasi kini menjadi sarana penghubung lintas bidang pembangunan. Dalam hal ini, diplomasi digital menjadi instrumen baru untuk memperkuat kemandirian negara dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di arena global. Namun, kemitraan internasional yang efektif selalu menuntut keseimbangan antara kapasitas teknis dan kepercayaan kelembagaan. Ketika infrastruktur teknologi dapat dibangun dengan cepat, kepercayaan antarpihak baik antara dua negara maupun antara lembaga di dalam negeri sering membutuhkan waktu yang lebih panjang. Karena itu, peran Kementerian Komunikasi dan Digital tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator kepercayaan antaraktor publik-swasta dan antarnegara. Apabila kolaborasi ini dikelola secara berkelanjutan, ia dapat menjadi model bagi bentuk kemitraan yang lebih luas di bidang transformasi publik: sebuah tata kelola yang memadukan efisiensi teknologi dengan nilai-nilai keterbukaan dan partisipasi.
Dari Transformasi Menuju Kolaborasi Berdaulat
Kerjasama digital Indonesia-India pada Januari 2025 mencerminkan arah baru dalam manajemen publik nasional bahwa teknologi bukan tujuan akhir, melainkan medium untuk memperkuat kolaborasi antaraktor dan antarnegara. Tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa kolaborasi ini tidak berhenti pada level protokol diplomatik, tetapi bertransformasi menjadi praktik pemerintahan digital yang inklusif, transparan, dan berdampak bagi masyarakat. Jika visi ini dijalankan dengan konsisten, maka Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, melainkan mitra sejajar dalam tatanan digital global yang menempatkan kolaborasi sebagai fondasi utama pembangunan berkelanjutan.




