Mewartakan dengan Jiwa

Analisis Kesenjangan Kebutuhan dan Ketersediaan Talenta Digital ASN di Pemerintah Daerah

20231025 soft launching platform digital smart asn 15
Sumber: Menpan.go.id

Menutup Lubang Hitam Talenta Digital: Ancaman Nyata bagi Keberlanjutan SPBE Daerah

Dalam beberapa bulan terakhir, diskursus kebijakan digital Indonesia telah berfokus pada pentingnya konsolidasi infrastruktur, mulai dari perlunya mandat sanksi anggaran untuk memaksa migrasi layanan ke Government Cloud (Edisi Januari 2025), hingga upaya menghilangkan 27.000 aplikasi yang duplikatif demi efisiensi anggaran (Edisi Februari 2025).

Namun, semua upaya konsolidasi dan efisiensi infrastruktur tersebut akan menemui jalan buntu jika kita mengabaikan satu pilar kritis: Talenta Digital Aparatur Sipil Negara (ASN). Kajian terbaru menunjukkan adanya kesenjangan (gap) signifikan antara kebutuhan talenta digital dengan ketersediaannya di banyak pemerintah daerah. Kesenjangan ini bukan hanya masalah administratif, melainkan ancaman nyata yang menghambat penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan merusak kualitas layanan publik digital.

Krisis Kuantitas, Kualitas, dan Ketergantungan Vendor

Masalah talenta digital di daerah dapat dianalisis dari tiga dimensi utama yang saling terkait. Pertama, Kekurangan Kuantitas ASN Digital. Jumlah ASN dengan latar belakang Teknologi Informasi (TI) di sebagian besar daerah masih rendah. Hal ini berarti beban kerja pengelolaan sistem seringkali ditumpukan pada sedikit orang atau bahkan diisi oleh ASN non-TI yang tidak memiliki keterampilan memadai.

Kedua, Kesenjangan Kualitas Kompetensi. Meskipun ada ASN di bidang TI, mereka seringkali belum menguasai keterampilan tingkat lanjut yang esensial untuk transformasi cloud-native dan data-driven pemerintah, seperti cloud architecture, keamanan data (cybersecurity), dan analitik data (data science). Fokus pelatihan masih didominasi pada literasi dasar, bukan pada keahlian kritis yang dibutuhkan untuk mengelola sistem terpusat.

Kombinasi dari kekurangan kuantitas dan kualitas ini menghasilkan dampak ketiga: Ketergantungan Absolut pada Vendor. Pengembangan dan pemeliharaan sistem SPBE diserahkan sepenuhnya kepada pihak eksternal. Tanpa talenta internal yang mampu menguasai, mengelola, dan mengembangkan sistem tersebut, proyek digital yang dibangun oleh vendor menjadi tidak berkelanjutan. Ini adalah risiko vendor lock-in terbesar yang mengancam keberlanjutan investasi digital pemerintah daerah.

Hambatan Struktural yang Menghambat Pertumbuhan

Kesenjangan talenta ini tidak terjadi tanpa sebab. Ada hambatan struktural yang perlu diatasi dari sisi kebijakan dan kelembagaan:

  1. Pendanaan dan Kebijakan SDM: Keterbatasan anggaran daerah untuk pelatihan dan sertifikasi digital lanjutan menjadi hambatan utama. Selain itu, belum ada standar kebutuhan formasi yang jelas untuk posisi digital, membuat rekrutmen dan penempatan menjadi tidak terarah.
  2. Distribusi dan Retensi: ASN dengan keahlian digital cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara daerah terpencil kesulitan menarik dan mempertahankan talenta berkualitas. Mekanisme insentif dan rotasi/mobilitas ASN yang ada saat ini belum efektif untuk pemerataan talent.
  3. Budaya Organisasi: Resistensi dan minimnya dukungan dari pimpinan daerah terhadap perubahan dan digitalisasi juga menjadi faktor signifikan yang menghambat pengembangan SDM digital.

Peta Jalan Menuju Mandiri Digital

Untuk menutup kesenjangan ini dan memastikan investasi digital yang masif (yang diharapkan mengurangi duplikasi aplikasi) tidak sia-sia, diperlukan lima langkah strategis:

  1. Pemetaan dan Standarisasi Kompetensi: Kementerian PANRB dan BKN harus secara berkala memetakan kompetensi digital ASN per daerah untuk mengetahui gap secara akurat. Hasil pemetaan harus digunakan untuk menetapkan Digital Skills Framework yang jelas, mencakup kompetensi data analyst, cybersecurity, AI, hingga digital service design sebagai acuan skema karier.
  2. Reformasi Skema Anggaran: Pemerintah perlu berani mengalihkan sebagian anggaran belanja aplikasi yang berpotensi duplikatif ke investasi peningkatan kapasitas ASN. Langkah ini adalah kunci untuk memitigasi inefisiensi yang telah disorot pada kajian bulan sebelumnya.
  3. Penguatan Upskilling dan Rotasi: Program pelatihan harus dioptimalkan melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, platform pembelajaran daring, dan sektor swasta. Selain itu, perlu diatur mekanisme rotasi/mobilitas talenta digital yang diiringi dengan insentif finansial bagi ASN bersertifikasi yang bersedia ditempatkan di daerah dengan gap talenta tinggi.
  4. Kemitraan Pusat-Daerah yang Berkelanjutan: Pemerintah pusat harus memperkuat perannya dalam mentoring dan pendampingan digitalisasi, terutama bagi Pemda yang memiliki keterbatasan sumber daya.

Keberhasilan implementasi Digital Public Infrastructure (DPI) akan ditentukan oleh kapasitas brainware di tingkat daerah. Tanpa kualitas dan kuantitas digital yang mumpuni, sistem canggih apapun akan runtuh oleh keterbatasan maintenance internal. Sinergi antara pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, dan sektor swasta harus segera diwujudkan untuk mengatasi kesenjangan talenta ini secara berkelanjutan. Ini adalah investasi jangka panjang yang tidak boleh ditunda.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arinal Haq, S.AP

Associate Researcher di Sasanti Institute. Aktif dalam riset dan diskusi khususnya digital governance, inovasi pelayanan publik, dan pengembangan kebijakan digital.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *