JAKARTA, Warta Jiwa – “Indonesia Gelap” bukan sekadar tagar, melainkan cerminan kondisi nyata di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Kabinet yang gemuk dan tidak efektif, kebijakan yang mengabaikan hak asasi manusia dan lingkungan hidup, serta upaya sistematis mengembalikan dominasi militer di ruang sipil menjadi tanda kemunduran demokrasi.
Pernyataan keras ini disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (14/10/2025), menjelang genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang dilantik 20 Oktober 2024.
Sementara Presiden Prabowo dengan bangga menyebut telah membuktikan janji-janjinya kepada rakyat, sejumlah lembaga independen justru memberikan penilaian yang sangat berbeda: rapor merah.
WALHI: Oligarki Semakin Terkonsolidasi, Rakyat Jadi Tumbal
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Even Sembiring tidak main-main dalam penilaiannya: “Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai situasi yang menakutkan dan mengerikan bagi Indonesia.”
WALHI menyampaikan catatan kritis sekaligus peringatan tegas terhadap berbagai kebijakan, pendekatan, dan program Pemerintahan Prabowo–Gibran yang dinilai merusak prinsip-prinsip keadilan ekologis serta mengorbankan keselamatan rakyat Indonesia.
“Meski Prabowo kerap mengagungkan konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam pidatonya, praktik pemerintahannya justru menyingkirkan keduanya,” kata Even. “Catatan ini tidak hanya mencerminkan situasi nasional, tetapi juga menunjukkan bagaimana atmosfer represif merata di berbagai daerah.”
Target 8% yang Mengorbankan Lingkungan
Menurut Even, target pertumbuhan ekonomi 8 persen telah mendorong negara semakin menggenjot investasi, khususnya dari ekstraksi sumber daya alam. “Pilihan cara ekonomi yang kapitalistik semakin menaruh rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis. Hal ini kian diperparah dengan pendekatan represif dan militeristik,” tegasnya.
Rapor Merah dari Berbagai Daerah
WALHI tidak sendirian dalam penilaiannya. Eksekutif daerah dari berbagai wilayah Indonesia memberikan catatan yang sama mengkhawatirkannya:
Papua: Ekspansi Perizinan yang Masif
Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Papua, menyampaikan: “Kami dari region Balu, Nusa Tenggara Timur dan Barat, Maluku Utara, dan Papua memberikan kartu merah kepada pemerintah Prabowo. Sebab ekspansi perizinan semakin masif di wilayah Timur Indonesia.”
Sumatra Barat: Indonesia Cemas 2045
Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Barat, mengkritik keras visi Presiden untuk Sumatra yang fokus pada pengembangan kawasan swasembada pangan, air, dan energi.
“Dalam satu tahun ini, rezim Prabowo-Gibran gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan hak lingkungan melalui penegakan hukum dan perlindungan ekosistem esensial seperti sumber air, pangan, dan lainnya,” kata Wengki.
“Mustahil, ekonomi rakyat kuat, jika ruang semakin menyempit, kawasan pangan hancur dan sumber air tercemar. Satu tahun RPJMN dijalankan, kita justru bergerak lebih cepat ke arah Indonesia Cemas 2045,” tegasnya.
Kalimantan Selatan: Krisis Ekologis Berkepanjangan
Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan, menyebutkan provinsi tersebut tengah mengalami krisis ekologis berkepanjangan, termasuk perencanaan Taman Nasional Meratus yang bermasalah.
“Ini kontradiktif dengan kearifan lokal, budaya, hukum adat hingga ritus masyarakat adat di Meratus,” kata Raden. “Proyek semacam ini selalu dibuat dengan dipaksaan. Padahal kami bersama masyarakat adat berulang kali mengupayakan dialog dan menawarkan resolusi dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.”
Raden juga menyoroti kasus keracunan MBG di Kalimantan Selatan: “Ini perlu dihentikan dulu, evaluasi proyek ini secara menyeluruh.”
Jawa Timur: Berpihak pada Korporasi
Wahyu Eka, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, menambahkan: “Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran menunjukkan arah pembangunan yang kian berpihak pada investasi dan korporasi besar, bukan pada perlindungan lingkungan dan rakyat.”
Hal ini terlihat dari pengembangan proyek ekonomi ekstraktif, termasuk proyek pembangkit listrik batu bara, co-firing biomassa, dan dinding laut raksasa yang merusak hutan, pesisir, dan ruang hidup rakyat.
Sulawesi Tenggara: Oligarki Menguasai Ruang Hidup
Andi Rahman, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tenggara, menilai negara dan ruang-ruang hidup rakyat saat ini telah dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik.
“Mereka yang mengendalikan keputusan-keputusan publik justru mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya, terutama dalam pengelolaan sektor sumber daya alam seperti pertambangan, perkebunan, dan energi,” kata Andi.
“Di Sulawesi Tenggara, ekspansi pertambangan nikel yang masif telah menyebabkan kerusakan serius terhadap sumber-sumber ekonomi lokal masyarakat. Pesisir dan laut yang menjadi tumpuan hidup para nelayan kini tercemar dan mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan mata pencaharian mereka.”
Enam Masalah Krusial yang Disorot WALHI
Dalam catatan kritisnya, WALHI menilai kebijakan dan pendekatan di sektor sumber daya alam dan lingkungan pada satu tahun rezim Prabowo-Gibran dinilai membutuhkan evaluasi serius:
1. Program Makan Bergizi Gratis dan Pangan Dinilai belum memperhatikan keberlanjutan ekologi dan telah menyebabkan 11.566 anak keracunan dengan satu korban meninggal.
2. Perluasan Peran Militer dalam Tata Kelola SDA Pengesahan revisi UU TNI memperluas peran militer di ruang sipil, termasuk dalam penertiban kawasan hutan melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025.
3. Legalisasi Sawit dalam Kawasan Hutan Kebijakan yang mengancam hutan lindung dan mengabaikan komitmen iklim Indonesia.
4. Perubahan Aturan Mineral dan Batu Bara Berpihak pada kepentingan perusahaan ekstraktif, bukan pada kelestarian lingkungan.
5. Pemulihan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Absen Tidak ada upaya serius untuk memulihkan kerusakan lingkungan atau menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan.
6. Kriminalisasi Pembela HAM dan Lingkungan Aktivis demokrasi, pembela hak asasi manusia, dan pembela lingkungan semakin sering dikriminalisasi.
Greenpeace dan Celios: 100 Hari Sudah Rapor Merah
Bahkan sebelum WALHI memberikan penilaian satu tahun, Greenpeace Indonesia dan Center of Economic and Law Studies (Celios) sudah memberikan rapor merah untuk 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 23 Januari 2025.
Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, mengkritik rencana kontroversial mengalihfungsikan 20 juta hektare hutan untuk swasembada pangan dan energi.
“Alih fungsi ini mengancam lingkungan, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat adat serta lokal yang bergantung pada hutan,” kata Leonard.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, menyoroti kegagalan ekonomi: “Performa IHSG yang turun 5,82 persen dalam tiga bulan terakhir, PHK di sektor padat karya, dan pelemahan daya beli yang berlanjut jadi rapor merah tim ekonomi Prabowo.”
Imparsial: Rapor Merah untuk Sektor Pertahanan
Imparsial merilis catatan sektor pertahanan menjelang setahun pemerintahan pada 19 Oktober 2025. Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha AS dan Peneliti Imparsial Wira Dika Orizha Piliang menyatakan:
“Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran justru mempertegas rekonsolidasi militerisme di Indonesia. Alih-alih memperkuat agenda reformasi sektor keamanan yang telah diperjuangkan sejak dua dekade terakhir, pemerintah bersama DPR justru mengambil langkah-langkah yang mendorong dominasi peran militer di ranah sipil.”
Militerisme: Ancaman Nyata Demokrasi
Salah satu kritik paling tajam dari berbagai lembaga adalah soal militerisme yang semakin menguat.
Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dinilai kental dengan pendekatan militerisme. Perpres ini menunjuk Menteri Pertahanan dan TNI untuk mengurus penertiban kawasan hutan.
“Militerisme atas nama penertiban kawasan hutan ini berpotensi menambah daftar panjang tindakan represif negara terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang selama ini hidup dan beraktivitas di sekitar hutan,” kata Leonard dari Greenpeace.
“Seperti yang sudah terjadi di pusaran proyek food and energy estate di Merauke, Papua Selatan. Dengan struktur satgas yang problematik ini, kita patut mempertanyakan komitmen dan transparansi pemerintah untuk menertibkan dan melindungi kawasan hutan.”
Program MBG: Prestasi atau Bencana?
Sementara Presiden Prabowo bangga dengan 36,2 juta penerima MBG, organisasi masyarakat sipil melihatnya dari sudut pandang yang sangat berbeda.
Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, menyoroti potensi peningkatan food waste. “Analisis WALHI menunjukkan tiap siswa menghasilkan 25-50 gram sisa makanan, menambah 425-850 ton sampah per hari. Meski penggunaan wadah stainless steel positif, peningkatan food waste ini berpotensi menambah emisi gas rumah kaca hingga 127,5-255 ton CO2e per hari.”
Lebih parah lagi, 11.566 anak mengalami keracunan akibat program ini per 12 Oktober 2025, dengan satu korban meninggal dunia.
Apa yang Direkomendasikan?
WALHI menyerukan perubahan paradigma pembangunan yang fundamental:
1. Dari Eksploitasi Menuju Pemulihan Hentikan ekstraksi sumber daya alam yang merusak, fokus pada pemulihan ekosistem yang rusak.
2. Dari Retorika Semu Menuju Keadilan Sejati Komitmen keadilan dan keselamatan tidak boleh hanya menjadi retorika diplomatik yang menutupi kenyataan ketimpangan struktural.
3. Pengakuan Hak Masyarakat Adat Hentikan pemaksaan proyek-proyek besar tanpa persetujuan masyarakat adat dan lokal.
4. Evaluasi Total Program Bermasalah MBG, alih fungsi hutan, dan proyek ekstraktif lainnya harus dievaluasi total atau dihentikan sementara.
5. Hentikan Militerisme Kembalikan peran militer ke fungsi pertahanan, bukan pengelolaan sumber daya alam atau ruang sipil.
Kontras dengan Klaim Pemerintah
Kontras yang mencolok terjadi antara klaim pemerintah dan penilaian lembaga independen:
Pemerintah Bilang:
- 36,2 juta penerima MBG (prestasi luar biasa)
- Ekonomi tumbuh stabil 5%
- Lifting minyak naik dari 580 ribu ke 605 ribu barrel
- Energi terbarukan naik dari 11% ke 15,5%
Lembaga Independen Bilang:
- 11.566 anak keracunan MBG (bencana kemanusiaan)
- IHSG turun 5,82%, PHK massal, daya beli turun
- Hutan terancam alih fungsi 20 juta hektare
- Militerisme semakin menguat, demokrasi mundur
- Oligarki terkonsolidasi, rakyat jadi tumbal
Penutup: Seruan untuk Perubahan Arah
“Selama arah kebijakan masih didikte oleh kepentingan modal dan logika pertumbuhan ekonomi, komitmen keadilan dan keselamatan hanya akan menjadi retorika diplomatik yang menutupi kenyataan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis, melainkan hasil dari ketimpangan struktural dan politik yang terus dipelihara,” tegas WALHI.
Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran memperlihatkan arah demokrasi yang semakin menjauh dari semangat konstitusi. Ambisi memperkuat militerisme tampak dalam kebijakan dan praktik kenegaraan.
“Indonesia Gelap” bukan lagi sekadar tagar. Ini adalah peringatan keras dari masyarakat sipil bahwa arah pembangunan yang diambil pemerintah saat ini mengancam masa depan Indonesia.
Pertanyaannya sekarang: akankah pemerintah mendengar kritik ini dan mengubah arah kebijakannya? Atau akan terus berjalan di jalur yang sama sambil menutup telinga terhadap suara rakyat dan lembaga independen?
Empat tahun tersisa. Rakyat Indonesia menunggu jawaban.
FAKTA KUNCI RAPOR MERAH:
WALHI:
- Penilaian: “Indonesia Gelap” – oligarki terkonsolidasi, keadilan ekologis ambruk
- 6 masalah krusial: MBG, militerisme, sawit di hutan, mineral-batubara, absennya penegakan hukum, kriminalisasi aktivis
- Kartu merah dari Papua, NTT, NTB, Maluku Utara
- Sumatra Barat: “Indonesia Cemas 2045”
- Kalsel: Krisis ekologis berkepanjangan
- Jatim: Berpihak pada korporasi, bukan rakyat
- Sultra: Oligarki kuasai ruang hidup rakyat
GREENPEACE & CELIOS (100 Hari):
- Rencana alih fungsi 20 juta hektare hutan
- IHSG turun 5,82% dalam 3 bulan
- 80.000 pekerja PHK di sektor padat karya
- Target ekonomi 8% terlalu ambisius
- Food waste MBG: 425-850 ton/hari (emisi 127,5-255 ton CO2e/hari)
IMPARSIAL (Sektor Pertahanan):
- Rekonsolidasi militerisme di Indonesia
- Revisi UU TNI perluas peran militer di ranah sipil
- Perpres No. 5/2025: Militer urus kawasan hutan
MASALAH KONKRET:
- Keracunan MBG: 11.566 anak (1 meninggal)
- Ekspansi pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara
- Taman Nasional Meratus bermasalah dengan hak adat
- PLTU batu bara, co-firing biomassa merusak lingkungan
- Kriminalisasi aktivis lingkungan dan HAM
CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk pernyataan resmi WALHI Nasional dan Eksekutif Daerah, Greenpeace Indonesia, Celios, Imparsial, dan berbagai media nasional. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang objektif dan membela kepentingan rakyat serta kelestarian lingkungan hidup.






