Mewartakan dengan Jiwa

Rakyat Antre Panjang, SPBU Tutup, Karyawan Kena PHK: Mengapa Bahlil Jadi Menteri Paling Dibenci?

Bahlil Lahadalia Mentri ESDM Republik Indonesia
Bahlil Lahadalia Mentri ESDM Republik Indonesia

JAKARTA, Warta Jiwa – Bu Siti (52) terduduk lemas di depan warungnya yang sepi. Sudah tiga minggu ini, dagangan gas elpiji 3 kg yang biasa menjadi andalan penghasilannya tak lagi boleh dijual. “Dulu sehari bisa jual 20-30 tabung. Itu sudah cukup untuk makan anak-anak. Sekarang warung sepi, uang habis, mau makan aja bingung,” ujarnya sambil menahan air mata.

Di tempat lain, Mas Ahmad (35), karyawan SPBU swasta di Jakarta Selatan, baru saja menerima surat PHK. SPBU tempatnya bekerja terpaksa tutup karena kekosongan BBM yang berkepanjangan. “Saya sudah kerja 7 tahun di sini. Punya istri dan dua anak. Sekarang saya harus cari kerja dari nol lagi,” katanya dengan suara bergetar.

Dua kisah ini hanyalah secuil dari ribuan cerita penderitaan rakyat yang menjadi korban dari kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Data analisis media sosial menunjukkan sentimen negatif terhadap Bahlil mencapai 82,9 persen – angka yang luar biasa tinggi untuk seorang menteri di era digital ini.

Bencana LPG 3 Kg: Antrean Panjang yang Memakan Korban Jiwa

Februari 2025 menjadi bulan yang kelam bagi masyarakat pengguna gas elpiji 3 kg. Pemerintah melalui Bahlil mengeluarkan kebijakan pelarangan distribusi LPG 3 kg melalui pengecer, yang sebelumnya berjumlah sekitar 375 ribu di seluruh Indonesia. Alasannya: untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan menghilangkan praktik penyalahgunaan.

Tapi apa yang terjadi di lapangan? Kekacauan total.

Antrean mengular di pangkalan gas di sejumlah daerah. Yang paling memilukan, seorang ibu di Pamulang, Tangerang Selatan dilaporkan meninggal dunia setelah mengantre berjam-jam di pangkalan gas.

Ibu Markonah (58) yang ditemui Warta Jiwa di sebuah pangkalan di Depok menceritakan pengalamannya: “Saya datang jam 5 pagi, baru dapat jam 10 siang. Kaki sakit, kepala pusing kena panas. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau nggak dapat gas, anak-anak mau masak pakai apa?”

Antrean pembeli mengular karena banyak warga yang belum terdaftar sebagai penerima subsidi LPG 3 kg, sementara pembelian gas di agen dan pangkalan wajib menunjukkan KTP. Prosedur yang rumit di tengah kebutuhan yang mendesak.

Kebijakan ini akhirnya dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto hanya dalam hitungan hari. Bahlil pun meminta maaf atas meninggalnya salah satu warga Pamulang. Tapi maaf saja cukup? Bu Siti dan ribuan pengecer lainnya sudah kehilangan mata pencaharian selama berminggu-minggu.

Ilustrasi SPBU Shell (Sumber: shell.co.id)

Krisis BBM di SPBU Swasta: Konsumen dan Pekerja Jadi Korban

Jika kasus LPG 3 kg masih bisa diselesaikan dengan cepat (meski sudah makan korban), krisis BBM di SPBU swasta adalah bencana yang masih berlanjut hingga hari ini.

Sejak pertengahan September 2025, ratusan SPBU swasta mengalami kelangkaan pasokan BBM non-subsidi, terutama Pertamax. Shell, Vivo, dan SPBU swasta lainnya sering kali tutup atau hanya melayani dengan porsi terbatas.

Apa penyebabnya? Kebijakan pemerintah yang membatasi kuota impor BBM untuk SPBU swasta. Bahlil menegaskan tidak akan membuka tambahan impor BBM nonsubsidi untuk SPBU swasta, dengan alasan bahwa kuota impor 2025 sudah dinaikkan menjadi 110 persen dari realisasi 2024.

Tapi konsumen di lapangan berkata lain. Pak Rudi (42), pengendara mobil di Jakarta, mengeluh: “Saya pengguna setia Shell V-Power. Tapi sudah sebulan ini, hampir semua SPBU Shell kosong. Saya terpaksa pakai Pertamax Pertamina, padahal motor saya nggak cocok. Mesin jadi kasar.”

Yang lebih parah, kebijakan ini mengancam ribuan lapangan kerja. Mas Ahmad adalah salah satu dari ratusan karyawan SPBU swasta yang terancam PHK karena SPBU tempat mereka bekerja tutup akibat tidak ada pasokan.

Rakyat Menggugat: Sudah Kehabisan Kesabaran

Frustasi publik kini sudah memasuki ranah hukum. Seorang warga bernama Tati Suryati mengajukan gugatan perdata terhadap Bahlil, PT Pertamina, dan Shell melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 648/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst pada 27 September 2025.

Tati, yang merupakan pengguna setia BBM Shell, kesulitan mendapatkan BBM sejak pertengahan September 2025 dan menilai kelangkaan ini sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam gugatannya, Tati meminta ganti rugi materil sebesar Rp1,1 juta.

Bukan soal nominalnya yang besar, tapi ini adalah simbol perlawanan rakyat kecil yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Tati bahkan menyatakan bersedia mencabut gugatannya jika pasokan BBM di SPBU swasta kembali normal. Ini menunjukkan bahwa yang diinginkan rakyat bukan uang ganti rugi, tapi solusi nyata.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *