Mewartakan dengan Jiwa

Mensos Minta Influencer Izin Sebelum Galang Donasi: Prosedur Dulu, Korban Bencana Kemudian?

Mensos, Influencer wajib izin untuk galang donasi
Ilustrasi Wartajiwa

Jakarta, Wartajiwa.com – Di tengah banjir bandang yang merenggut ratusan nyawa di Sumatera, Menteri Sosial Saifullah Yusuf justru memberikan pernyataan yang menuai kritik tajam dari publik. Mensos yang akrab disapa Gus Ipul menegaskan bahwa artis dan influencer yang menggalang donasi untuk korban bencana sebaiknya mengurus izin terlebih dahulu ke pemerintah.

“Tetapi sebaiknya kalau menurut ketentuan itu izin dulu. Ya izinnya bisa dari kabupaten, kota, atau juga dari Kementerian Sosial,” ujar Gus Ipul saat ditemui di Kantor Kemensos, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2025).

Pernyataan ini mengundang gelombang kritik keras di media sosial. Warganet mempertanyakan relevansi birokrasi perizinan di tengah situasi darurat kemanusiaan, terutama ketika influencer seperti Ferry Irwandi telah bergerak cepat mengumpulkan lebih dari Rp 10 miliar dalam 24 jam untuk membantu korban.

Ketika Rakyat Bergerak Cepat, Pejabat Bicara Izin dan Birokrasi

Sementara korban bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat masih berjuang bertahan hidup dengan meminum air banjir yang dicampur bubuk teh, pemerintah justru menekankan pentingnya aspek administratif. Gus Ipul menyebutkan bahwa penggalangan dana di atas Rp 500 juta wajib menggunakan auditor bersertifikat, sementara di bawah nominal tersebut cukup audit internal dengan pelaporan ke Kemensos.

“Kalau di atas Rp 500 juta ya harus menggunakan auditor. Harus bekerja sama dengan auditor yang bersertifikat untuk juga bisa melaporkan, dapatnya dari mana saja, diperuntukkan apa saja,” kata Gus Ipul.

Mensos juga menegaskan proses perizinan sudah sangat mudah dan dapat dilakukan secara online. Namun pertanyaannya: ketika korban bencana membutuhkan bantuan segera, apakah prosedur administratif harus menjadi prioritas utama?

Kritik Tajam dan Pertanyaan Publik di Media Sosial

Pernyataan Mensos langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak warganet mempertanyakan keberadaan Gus Ipul yang tidak terlihat turun langsung ke lokasi bencana, sementara berbagai tokoh masyarakat telah lebih dulu hadir memberikan bantuan nyata.

Salah satu akun media sosial di platform X menulis: “Di tengah situasi Bencana seperti ini publik terus mempertanyakan keberadaan Saifullah Yusuf selaku Mensos RI yang dianggap tidak peduli dan tanggap. Dia justru malah mementingkan urusan yang sama sekali tidak penting dengan pindah-pindah Hotel tiap pertemuan, mohon dievaluasi Pak @prabowo.”

Jurnalis dan filmmaker Dandhy Laksono bahkan memberikan sindiran pedas melalui akun pribadinya dengan menulis: “SAMPAH!!! (pun masih lebih berguna).” Cuitan tersebut secara gamblang menunjukkan kekecewaan terhadap prioritas yang dipilih oleh Mensos di tengah krisis kemanusiaan.

Transparansi vs. Urgensi: Aturan Perizinan di Tengah Krisis Kemanusiaan

Memang benar bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik sangat penting. Namun, pertanyaannya adalah: apakah mekanisme perizinan yang diajukan Mensos proporsional dengan urgensi situasi bencana?

Ferry Irwandi dan banyak influencer lain yang membuka penggalangan dana telah menunjukkan komitmen transparansi dengan memberikan laporan terperinci kepada publik melalui platform seperti KitaBisa yang memiliki sistem audit tersendiri. Platform-platform penggalangan dana digital ini umumnya sudah memiliki mekanisme verifikasi dan pelaporan yang ketat.

Keberadaan peraturan tentang penggalangan dana memang perlu, terutama untuk mencegah penyalahgunaan. Namun, penekanan pada izin formal di tengah darurat kemanusiaan dapat menghambat respons cepat yang justru sangat dibutuhkan korban. Saat warga masih kesulitan mendapatkan makanan dan air bersih, formalitas administratif terkesan menjadi prioritas yang salah tempat.

Kontras Respons: Solidaritas Ferry Irwandi & Rakyat Melawan Formalitas Kemensos

Data BNPB per 4 Desember 2025 mencatat 836 orang meninggal dunia, 518 orang hilang, 2.700 orang luka-luka, dan sekitar 576.300 orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatera. Kondisi ini memerlukan respons cepat dan masif, bukan prosedur berlapis yang berpotensi memperlambat bantuan.

Sementara Mensos berbicara tentang perizinan di kantor Kemensos Jakarta, Ferry Irwandi dan timnya telah mengirimkan 2,6 ton bantuan ke daerah-daerah terpencil yang belum tersentuh bantuan pemerintah. Tanpa rompi berlabel nama, tanpa kampanye politik, hanya solidaritas murni dari rakyat untuk rakyat.

Kementerian Agama bahkan telah berhasil menggalang donasi hingga Rp 155 miliar untuk korban bencana Sumatera. Organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama melalui Ketua Umum Gus Yahya mengajak warga NU menyumbang Rp 20.000 per keluarga. Respons masyarakat sipil jauh lebih cepat dan konkret dibandingkan langkah-langkah birokratis yang disampaikan Mensos.

Pertanyaan Kritis: Mengapa Negara Terlambat Hadir dan Mempersulit Bantuan?

Pernyataan Mensos memunculkan beberapa pertanyaan krusial yang perlu dijawab:

Pertama, mengapa penekanan pada perizinan justru muncul setelah rakyat bergerak cepat membantu? Apakah ini bentuk kontrol negara terhadap gerakan solidaritas masyarakat sipil?

Kedua, di mana posisi Kementerian Sosial ketika bencana pertama kali terjadi? Mengapa instrumen negara yang seharusnya menjadi garda depan penanggulangan bencana sosial justru terkesan lambat merespons?

Ketiga, apakah sistem perizinan yang dimaksud sudah benar-benar efisien dan tidak memberatkan, ataukah justru menambah lapisan birokrasi yang tidak perlu di tengah situasi darurat?

Pelajaran Penting

Bencana di Sumatera seharusnya menjadi momentum evaluasi bagi pemerintah, khususnya Kementerian Sosial. Transparansi dan akuntabilitas memang penting, tetapi tidak boleh menjadi penghalang bagi respons cepat dalam situasi darurat.

Sistem perizinan yang baik seharusnya memfasilitasi, bukan mempersulit. Jika tujuannya adalah transparansi, maka pemerintah seharusnya mengapresiasi platform-platform digital yang sudah memiliki mekanisme audit sendiri, bukan menambah lapisan birokrasi baru.

Yang lebih penting lagi, pejabat publik—terutama Menteri Sosial—seharusnya menunjukkan kepemimpinan nyata dengan turun langsung ke lokasi bencana, bukan hanya mengingatkan soal perizinan dari balik meja kantor.

Rakyat Indonesia telah membuktikan bahwa solidaritas mereka tidak membutuhkan instruksi birokrasi. Yang mereka butuhkan adalah dukungan, apresiasi, dan koordinasi yang efektif dari pemerintah—bukan hambatan administratif yang tidak pada tempatnya.

Ketika korban bencana masih berjuang bertahan hidup, mari prioritaskan kemanusiaan di atas formalitas. Izin boleh diurus, tetapi jangan sampai birokrasi mengalahkan nyawa manusia.


CATATAN REDAKSI:

Wartajiwa.com mendukung prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Namun, kami juga meyakini bahwa dalam situasi darurat kemanusiaan, respons cepat harus menjadi prioritas utama. Artikel ini ditulis sebagai kritik konstruktif terhadap prioritas yang dipilih oleh Kementerian Sosial di tengah bencana Sumatera. Kami mengajak pemerintah untuk mengevaluasi mekanisme perizinan agar tidak menghambat gerakan solidaritas rakyat, serta lebih fokus pada kehadiran nyata di lapangan dibandingkan penekanan prosedur administratif. Korban bencana membutuhkan bantuan segera, bukan lapisan birokrasi tambahan.

Penulis: Vincencius Vino

Editor: Atma Guritno

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *