JAKARTA, Warta Jiwa – Tepat sebulan setelah pelantikannya pada 8 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kini tengah berpacu dengan waktu. Di pundaknya, terbentang sederet tantangan ekonomi yang menentukan masa depan 275 juta rakyat Indonesia. Pertanyaannya: sanggupkah sosok berlatar belakang insinyur ini menyelesaikan PR besar yang ditinggalkan pendahulunya?
Warisan Berat Sri Mulyani
Menggantikan Sri Mulyani Indrawati bukanlah perkara mudah. Sosok yang sempat melayani tiga presiden ini meninggalkan catatan solid dalam menjaga disiplin fiskal selama hampir sembilan tahun. Namun di balik prestasi itu, Purbaya mewarisi persoalan struktural yang tak kalah kompleks.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut salah satu tantangan terberat adalah mengatur kas negara yang sangat terbatas untuk menyelesaikan utang-utang negara. Dengan latar belakangnya sebagai mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan periode 2020-2025, Purbaya memang paham betul soal pengelolaan risiko keuangan. Tapi apakah itu cukup?
Lima Bom Waktu Menanti
Para ekonom mencatat setidaknya lima persoalan krusial yang harus segera dijinakkan oleh Menkeu baru:
1. Penerimaan Pajak yang Mandek
Indonesia menghadapi dilema klasik: target ambisius dengan realitas yang keras. Di tengah ekonomi global yang hanya tumbuh 3,2% pada 2025, penerimaan negara diperkirakan tetap stagnan di kisaran 12,7% terhadap PDB. Sementara itu, belanja negara justru meningkat menjadi 15,4% akibat program prioritas pemerintah seperti makanan bergizi gratis (MBG).
Kesenjangan ini menciptakan defisit yang terus membengkak. Pertanyaannya: dari mana uang akan datang?
2. Konsumsi Rumah Tangga yang Lesu
Data Kementerian Keuangan menunjukkan perlambatan mengkhawatirkan pada konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen utama PDB Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, perlambatan ini terjadi bahkan di periode Ramadan yang biasanya menjadi momentum konsumsi tinggi.
Ini bukan sekadar angka statistik. Ini soal ibu rumah tangga yang menghitung ulang belanjaan di pasar, soal warung makan yang sepi pembeli, soal keluarga yang menunda membeli kebutuhan sekunder. Ketika daya beli rakyat melemah, seluruh sendi ekonomi ikut tersendat.
3. Grey Economy yang Menggerogoti
Ekonomi bawah tanah atau grey economy menjadi musuh tak kasat mata yang menguras potensi penerimaan negara. Miliaran rupiah beredar tanpa tercatat, ribuan transaksi luput dari pajak. Purbaya harus menemukan cara untuk membawa ekonomi bayangan ini ke permukaan, tanpa mencekik pelaku usaha kecil yang memang kesulitan administrasi.
4. Defisit Transaksi Berjalan
ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) memproyeksikan defisit transaksi berjalan Indonesia akan melebar menjadi -0,8% pada 2025 dan -1,3% pada 2026, seiring dengan menyusutnya surplus perdagangan. Ini sinyal bahwa Indonesia mengimpor lebih banyak daripada mengekspor, sebuah tren yang membahayakan cadangan devisa.
5. Ketegangan Perdagangan Global
Seperti kapal yang berlayar di lautan badai, ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari gejolak global. Ketegangan perdagangan internasional, terutama konflik dagang antara negara-negara besar, membuat pasar ekspor Indonesia semakin tidak pasti. Harga komoditas fluktuatif, rantai pasokan terganggu.
Gebrakan Awal: Berani atau Nekat?
Dalam sebulan pertamanya, Purbaya sudah menunjukkan gaya yang berbeda. Ia menginjeksi Rp200 triliun ke sektor perbankan untuk menjaga likuiditas, sekaligus memastikan tarif cukai rokok tidak berubah pada 2026. Keputusan kontroversial yang menuai beragam respons.
Para analis menilai Purbaya membawa pendekatan yang lebih pro-pertumbuhan dibanding pendahulunya yang dikenal sangat hati-hati. Dengan latar belakang sebagai ekonom matematis, ia mencoba menemukan formula optimal antara ekspansi fiskal dan disiplin anggaran.
Tapi di sinilah letak pertaruhannya. Terlalu konservatif, ekonomi stagnan. Terlalu ekspansif, fiskal bisa kebobolan. Purbaya sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis.
Harapan di Tengah Ketidakpastian
Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%, angka yang sangat ambisius mengingat berbagai indikator menunjukkan perlambatan. Target realistis pemerintah sendiri berada di rentang 5,1-5,5 persen dengan inflasi terkendali di 1,5-3,5 persen.
Meskipun terdengar sederhana, menjaga inflasi tetap rendah sambil mendorong pertumbuhan adalah seni ekonomi tertinggi. Ibarat menyetir mobil: terlalu lambat tidak sampai tujuan, terlalu cepat bisa menabrak.
Yang membedakan Purbaya dari Sri Mulyani adalah gaya komunikasinya yang lebih terbuka dan janjinya untuk menghindari kebijakan “aneh-aneh”. Ia juga menekankan pentingnya transparansi, terutama dalam program makanan bergizi yang anggarannya sangat besar.
Ujian Sesungguhnya Baru Dimulai
Seratus hari pertama biasanya menjadi periode bulan madu bagi setiap pemimpin. Tapi untuk Purbaya, tidak ada waktu untuk bersantai. Setiap keputusan yang ia ambil hari ini akan menentukan nasib ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Akankah ia berhasil menyeimbangkan antara efisiensi dengan pemerataan, antara konsolidasi fiskal dengan stimulus ekonomi, antara kewenangan pusat dengan otonomi daerah? Hanya waktu yang akan menjawab.
Yang pasti, 275 juta rakyat Indonesia menunggu dengan harapan yang sama: ekonomi yang tumbuh, harga yang terjangkau, dan lapangan kerja yang terbuka lebar. Beban di pundak Purbaya bukan hanya soal angka dan statistik, tapi soal kehidupan nyata jutaan keluarga yang menggantungkan masa depan mereka pada keputusan-keputusan yang diambil di ruang rapat Kementerian Keuangan.
Artikel ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya termasuk data Kementerian Keuangan, analisis INDEF, proyeksi AMRO, dan berbagai laporan ekonomi terkini. Warta Jiwa berkomitmen untuk mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang tidak hanya informatif tetapi juga menyentuh realitas kehidupan masyarakat.