Mewartakan dengan Jiwa

Memahami Kearifan Puasa Kejawen: Belajar Pengendalian Diri dan Mengenali Batas Tubuh

Ilustrasi: Budaya Kejawen
Ilustrasi: Budaya Kejawen

Malang, Jawa Timur – Di tengah dinamika kehidupan modern, berbagai praktik spiritual warisan leluhur kembali menarik perhatian masyarakat. Tiga di antaranya yang paling dikenal dalam tradisi Kejawen adalah Puasa Mutih, Puasa Patigeni, dan Puasa Ngebleng. Ketiganya merupakan laku tirakat atau pengendalian diri yang bertujuan untuk mencapai tujuan spiritual tertentu. Namun, di balik khazanah spiritualnya, muncul pertanyaan mengenai praktik dan dampaknya bagi kesehatan. Artikel ini akan mengulas secara objektif ketiga puasa tersebut dari perspektif spiritual dan kesehatan.

Puasa Mutih: Menyucikan Diri dengan Kesederhanaan

Praktik dan Tujuan Spiritual

Puasa Mutih adalah praktik berpuasa dengan hanya mengonsumsi nasi putih dan air putih, tanpa tambahan garam, gula, atau bumbu lainnya. Durasi pelaksanaannya bervariasi, mulai dari tiga, tujuh, hingga 40 hari, tergantung pada niat dan bimbingan guru spiritual.

Secara spiritual, Puasa Mutih memiliki beberapa tujuan utama:

  • Penyucian Diri: Dipercaya dapat membersihkan jiwa dan raga dari energi negatif serta racun dalam tubuh (detoksifikasi).
  • Pengendalian Diri: Melatih untuk mengendalikan hawa nafsu dan ketergantungan pada kenikmatan duniawi, seperti rasa makanan yang beragam.
  • Meningkatkan Fokus dan Kepekaan Batin: Dengan mengurangi rangsangan duniawi, pelaku diharapkan dapat lebih mudah mencapai kejernihan pikiran, fokus dalam meditasi, dan mempertajam kepekaan spiritual.
  • Syarat Spiritual: Seringkali menjadi laku yang harus dijalani untuk mencapai hajat atau keinginan tertentu, seperti kelancaran rezeki, mendapatkan pasangan hidup, hingga untuk persiapan acara sakral seperti pernikahan.

Tinjauan dari Sisi Kesehatan

Meskipun populer, Puasa Mutih mengundang perhatian serius dari sisi medis. Mengonsumsi hanya nasi putih dan air putih dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan.

Potensi Risiko:

  • Kekurangan Gizi (Malnutrisi): Tubuh tidak mendapatkan asupan nutrisi esensial yang lengkap seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral yang krusial untuk fungsi organ.
  • Gangguan Metabolisme: Diet yang sangat terbatas dapat menyebabkan kelelahan, sakit kepala, dan penurunan massa otot.
  • Risiko Penyakit Kronis: Paradoksnya, konsumsi karbohidrat sederhana dalam jumlah besar dari nasi putih dapat meningkatkan kadar gula darah secara drastis, yang jika dilakukan dalam jangka panjang berpotensi meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan obesitas.
  • Penurunan Daya Tahan Tubuh: Kurangnya asupan vitamin dan mineral dapat melemahkan sistem imun, membuat tubuh lebih rentan terhadap penyakit.

Pakar gizi umumnya tidak merekomendasikan diet ekstrem seperti ini. Jika pun dilakukan, disarankan dalam periode yang sangat singkat dan bukan sebagai solusi kesehatan atau diet penurunan berat badan.


Puasa Patigeni: Memadamkan “Api” dalam Diri

Praktik dan Tujuan Spiritual

Puasa Patigeni berasal dari kata “Pati” (mati) dan “Geni” (api). Praktik ini bertujuan untuk “mematikan api” dalam diri, yang melambangkan hawa nafsu, amarah, dan segala keinginan duniawi. Laku ini tergolong berat dan ekstrem.

Pelaksanaannya melibatkan:

  • Tidak makan dan tidak minum sama sekali.
  • Berada di dalam ruangan yang gelap gulita, tanpa cahaya.
  • Tidak berbicara (membisu) dan membatasi gerakan.
  • Dalam beberapa tingkatan, pelaku juga tidak diperkenankan untuk tidur.

Tujuan utama dari Puasa Patigeni adalah mencapai tingkat pengendalian diri tertinggi, menjernihkan pikiran dari segala gangguan eksternal, dan menyatukan diri dengan alam semesta atau Tuhan. Praktik ini sering dianggap sebagai “detoks digital ala leluhur” di zaman modern, di mana seseorang benar-benar menarik diri dari hiruk pikuk dunia.

Tinjauan dari Sisi Kesehatan

Dari sudut pandang medis, Puasa Patigeni adalah praktik yang sangat berbahaya dan berisiko tinggi.

Potensi Risiko:

  • Dehidrasi Akut: Tidak adanya asupan cairan sama sekali dalam 24 jam atau lebih dapat menyebabkan dehidrasi parah, yang berakibat pada kegagalan organ, terutama ginjal.
  • Hipoglikemia: Kadar gula darah akan turun drastis, menyebabkan lemas, pusing, kehilangan kesadaran, hingga kerusakan otak.
  • Gangguan Elektrolit: Ketidakseimbangan elektrolit akibat dehidrasi dapat mengganggu fungsi jantung dan saraf.
  • Stres Fisik dan Psikologis: Kurang tidur dan isolasi total dapat memicu stres berat pada tubuh dan berisiko menimbulkan masalah psikologis.

Praktik ini sangat tidak dianjurkan tanpa pengawasan ketat dari ahli spiritual yang berpengalaman dan harus dipahami memiliki risiko fatal.


Puasa Ngebleng: Tirakat Puncak untuk Hajat Tertentu

Praktik dan Tujuan Spiritual

Puasa Ngebleng memiliki kemiripan dengan Patigeni, namun seringkali dianggap sebagai puncaknya laku prihatin. Praktiknya adalah dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak keluar dari kamar atau tempat khusus selama periode tertentu, bisa satu, tiga, atau bahkan tujuh hari.

Filosofi di baliknya adalah untuk menggembleng jiwa dan raga, menyucikan hati, dan mempertajam batin demi tercapainya suatu tujuan besar atau “kesaktian”. Tujuan dari puasa ini sangat spesifik, mulai dari mendapatkan ketenangan batin, kelancaran rezeki secara drastis, hingga tujuan-tujuan yang bersifat supranatural.

Tinjauan dari Sisi Kesehatan

Seperti halnya Patigeni, Puasa Ngebleng membawa risiko kesehatan yang ekstrem dan mengancam jiwa. Kasus kematian akibat praktik ritual ini pernah dilaporkan terjadi.

Potensi Risiko:

  • Risiko Kematian: Kombinasi antara tidak makan, tidak minum, dan isolasi dalam waktu lama dapat berujung pada kegagalan multi-organ dan kematian.
  • Kelaparan dan Dehidrasi Berat: Risiko ini menjadi semakin tinggi seiring lamanya durasi puasa.
  • Halusinasi dan Gangguan Mental: Kondisi fisik yang ekstrem dapat memengaruhi fungsi otak dan memicu kondisi psikologis yang tidak stabil.

Secara medis, praktik ini sama sekali tidak dapat dibenarkan dan dianggap sebagai tindakan yang membahayakan nyawa.


Kesimpulan: Antara Spiritualitas dan Batasan Tubuh

Puasa Mutih, Patigeni, dan Ngebleng adalah bagian dari warisan budaya spiritual yang kaya di Nusantara. Dari perspektif spiritual, ketiganya menawarkan jalan untuk menempa diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Praktik-praktik ini mengajarkan nilai kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan hati.

Namun, dari kacamata kesehatan, praktik-praktik ini, terutama Patigeni dan Ngebleng, melampaui batas kemampuan fisiologis tubuh manusia dan membawa risiko yang sangat serius, bahkan fatal. Puasa Mutih, meskipun terlihat lebih ringan, tetap berisiko menyebabkan malnutrisi jika dilakukan dalam jangka panjang.

Masyarakat yang tertarik untuk mendalami praktik spiritual ini diimbau untuk memahami secara mendalam tidak hanya tujuan spiritualnya, tetapi juga potensi bahayanya. Sangat penting untuk tidak melakukannya tanpa bimbingan guru yang benar-benar memahami kondisinya dan selalu menempatkan keselamatan jiwa dan raga sebagai prioritas utama. Pada akhirnya, menemukan keseimbangan antara pencarian batin dan menjaga kesehatan fisik adalah kunci dari laku spiritual yang bijaksana.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *