ISTANBUL, Wartajiwa.com – Pesawat kepausan Airbus A320neo ITA Airways mendarat di Bandara Ankara pada pukul 12.22 waktu setempat, Kamis (27/11/2025), menandai dimulainya perjalanan apostolik perdana Paus Leo XIV sejak terpilih sebagai pemimpin 1,4 miliar umat Katolik sedunia pada Mei lalu. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyambut hangat kedatangan Paus asal Amerika Serikat ini, yang sengaja memilih negara mayoritas Muslim sebagai destinasi internasional pertamanya—sebuah langkah simbolis yang sarat makna geopolitik dan ekumenis.
Namun, satu pertanyaan terus menggema di kalangan umat Kristen dan pengamat internasional: Mengapa Paus Leo XIV tidak memasukkan Hagia Sophia—ikon monumental Kekristenan lama—ke dalam agendanya? Padahal, keempat pendahulunya—Paulus VI, Yohanes Paulus II, Benediktus XVI, dan Fransiskus—pernah mengunjungi bangunan legendaris abad ke-6 yang pernah menjadi katedral terbesar dunia selama hampir seribu tahun itu.
Misi Persatuan 1700 Tahun Konsili Nikea & Syahadat Iman
Kunjungan Paus Leo XIV ke Turki (27-30 November 2025) memiliki misi utama yang jelas: memperingati 1.700 tahun Konsili Nikea Pertama yang berlangsung pada tahun 325 Masehi di kota yang kini bernama İznik. Konsili bersejarah ini menghasilkan Syahadat Nikea—naskah kredo yang menjadi fondasi iman bagi 2,6 miliar umat Kristen di seluruh dunia, termasuk Katolik, Ortodoks Timur, dan Anglikan.
“Kredo bukan sekadar rumusan doktrinal, tetapi inti esensial iman Kristen. Oleh karena itu, perkembangannya bersifat organik, seperti realitas yang hidup, yang secara bertahap mengungkapkan dan mengekspresikan inti esensial iman secara lebih lengkap,” ujar Paus Leo XIV saat berbicara di Katedral Roh Kudus, Istanbul, Jumat (28/11/2025).
Perjalanan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari rencana mendiang Paus Fransiskus, yang menerima undangan dari Patriark Bartolomeus I dari Konstantinopel untuk hadir dalam peringatan bersejarah ini. Namun, Paus Fransiskus wafat pada April 2025 sebelum sempat mewujudkan agenda tersebut. Paus Leo XIV, sebagai penggantinya, berkomitmen melanjutkan misi ekumenis ini sejak awal masa kepausannya.
Pada Jumat (28/11), Paus Leo dan Patriark Bartolomeus I melakukan ziarah bersama ke İznik menggunakan helikopter. Di sana, mereka berdoa di reruntuhan Basilika Santo Neofitus yang kini terendam Danau İznik—lokasi yang menjadi tempat berlangsungnya konsili yang melahirkan Kredo Nikea. Pada 30 November, keduanya akan merayakan pesta Santo Andreas Rasul, tokoh yang memiliki makna setara dengan Rasul Petrus bagi umat Ortodoks.
Langkah ini dipandang sebagai usaha serius untuk mempererat hubungan Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur—dua tradisi besar Kekristenan yang terpisah sejak Skisma Besar tahun 1054.
Masjid Biru: Jejak Para Paus dalam Dialog Antaragama
Pada Sabtu pagi (29/11/2025), Paus Leo XIV mengunjungi Masjid Biru (Sultan Ahmed Mosque), salah satu ikon wisata utama Istanbul dengan enam menara menjulang dan interior yang dihiasi ubin Iznik berwarna biru cerah. Kunjungan ini menandai pertama kalinya Paus asal Chicago ini memasuki rumah ibadah umat Muslim sejak terpilih menggantikan Paus Fransiskus.
Seperti pengunjung lainnya, Paus Leo melepas sepatunya saat memasuki masjid—sebuah gestur penghormatan yang mengikuti jejak dua pendahulunya: Paus Benediktus XVI (2006) dan Paus Fransiskus (2014). Bahkan Paus sempat bergurau tentang kaus kaki putihnya yang ia kenakan, merujuk pada tim favoritnya, Chicago White Sox.
Namun, momen di dalam masjid memicu sedikit kebingungan. Muazin Aşgın Musa Tunca yang mendampingi Paus mengatakan kepada wartawan bahwa ia telah menawarkan Paus untuk beribadah di sana, namun Paus menjawab: “Tidak, saya hanya akan melihat-lihat.”
Kantor Pers Vatikan sempat mengirim pernyataan yang menyebut Paus telah melakukan “momen singkat doa” di masjid, namun kemudian menjelaskan bahwa pernyataan tersebut dikirim secara keliru berdasarkan booklet resmi sebelum perjalanan. Faktanya, Paus tidak tampak melakukan doa saat berada di dalam masjid.
Meski demikian, kunjungan ini tetap dianggap sebagai langkah penting dalam dialog antaragama. Sejak enam dekade terakhir, Gereja Katolik aktif membangun jembatan dengan dunia Islam. Baru-baru ini, Paus Leo memperingati 60 tahun deklarasi penting mengenai kerja sama antaragama di Vatikan, yang dihadiri ratusan pemimpin agama dari berbagai tradisi.
Mengapa Paus Leo XIV Tidak Mengunjungi Hagia Sophia?
Pertanyaan terbesar dari kunjungan ini adalah: Mengapa Paus Leo XIV tidak mengunjungi Hagia Sophia yang berlokasi tidak jauh dari Masjid Biru? Ketika ditanya pada hari Kamis mengapa Hagia Sophia tidak masuk agenda, Direktur Kantor Pers Takhta Suci Matteo Bruni menjawab singkat: “Itu tidak dimasukkan dalam agenda.”
Hagia Sophia memiliki sejarah yang kompleks dan penuh sensitivitas politik. Bangunan megah ini didirikan sebagai basilika pada abad ke-6 di masa Kekaisaran Bizantium dan menjadi katedral terbesar dunia selama hampir seribu tahun. Setelah jatuhnya Konstantinopel pada 1453, Hagia Sophia diubah menjadi masjid oleh Kesultanan Ottoman.
Dalam sebuah reformasi penting pasca-Ottoman, Mustafa Kemal Atatürk menetapkan Hagia Sophia sebagai museum pada 1935—status yang bertahan selama 85 tahun dan menjadikannya tempat yang terbuka bagi semua agama. Pada 1985, Hagia Sophia ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO.
Namun, pada 2020, Presiden Erdogan mengubah kembali status Hagia Sophia menjadi masjid—keputusan yang menuai kecaman internasional yang luas. Paus Fransiskus kala itu menyatakan dirinya “sangat sedih” atas kebijakan tersebut. Para pengkritik menuduh Erdogan dan Partai AKP yang berakar Islam telah mengikis pilar-pilar sekuler Turki demi kepentingan politik.
Sejak menjadi masjid kembali, mosaik-mosaik Kristen kuno yang menghiasi dinding Hagia Sophia ditutupi saat digunakan untuk shalat—sebuah praktik yang menambah sensitivitas bagi umat Kristen yang melihat bangunan tersebut sebagai warisan sakral mereka.
Keputusan Paus Leo XIV untuk tidak mengunjungi Hagia Sophia tampaknya merupakan langkah diplomatis yang diperhitungkan dengan matang. Akademisi Italia yang mengikuti isu Vatikan, Massimo Faggioli, mengatakan kepada The New Arab bahwa kunjungan ini sangat penting karena menjadi kesempatan pertama untuk melihat pandangan geopolitik Paus Leo XIV.
“Ini perjalanan yang sangat penting karena kita belum banyak mengetahui pandangan geopolitik Leo, dan ini merupakan kesempatan besar pertama untuk melihat sikapnya,” ujarnya.
Dengan menghindari Hagia Sophia, Paus tampaknya ingin menjaga hubungan baik dengan pemerintah Turki dan tidak membuka luka lama yang dapat merusak misi persatuan ekumenis dan dialog antaragama yang menjadi fokus kunjungannya.
Pesan Perdamaian di Tengah Konflik Global
Di luar isu Hagia Sophia, Paus Leo XIV menggunakan kunjungan perdananya ini untuk menyampaikan pesan perdamaian yang kuat di tengah meningkatnya konflik global. Dalam pidato bersama Presiden Erdogan di Ankara, Paus menyoroti peran strategis Turki sebagai jembatan antarperadaban.
“Bahkan sebelum menjadi penghubung antara Asia dan Eropa, jembatan ini menghubungkan Turki dengan dirinya sendiri,” ujar Paus Leo XIV, merujuk pada simbol jembatan Selat Dardanelles yang digunakan sebagai logo kunjungan tersebut.
Namun, pesan paling keras datang saat ia memperingatkan bahwa dunia sedang menuju Perang Dunia Ketiga yang “dimajukan sedikit demi sedikit.” Paus menyesali tingginya jumlah konflik berdarah di dunia dan menegaskan bahwa masa depan kemanusiaan kini berada di ujung tanduk.
“Dunia tidak stabil karena ambisi dan pilihan yang menginjak-injak keadilan dan perdamaian. Konflik di tingkat global saat ini didorong oleh strategi kekuatan ekonomi dan militer yang berlaku. Kita tidak boleh menyerah pada ini,” pintanya dengan tegas.
Paus juga mengutuk penggunaan agama untuk membenarkan kekerasan. Bersama Patriark Bartolomeus I, mereka menandatangani deklarasi bersama yang menegaskan penolakan terhadap “penggunaan agama atau nama Tuhan untuk membenarkan kekerasan.”
Umat Katolik Minoritas: 36.000 Jiwa di Negara 85 Juta Muslim
Salah satu agenda penting kunjungan Paus adalah menyapa umat Katolik di Turki yang hanya berjumlah sekitar 36.000 jiwa atau 0,04 persen dari total populasi 85 juta penduduk. Mereka tersebar di 48 paroki di seluruh negeri.
Pada Sabtu sore (29/11), Paus bertemu secara tertutup dengan pemimpin gereja-gereja Kristen setempat sebelum menghadiri kebaktian di Gereja Patriarkal St. George bersama Patriark Bartolomeus I. Keduanya menegaskan kembali ikatan “persaudaraan” antara dua cabang gereja yang terpisah sejak Skisma Besar 1054.
Pada malam harinya, Paus memimpin misa di Volkswagen Arena yang dihadiri sekitar 3.000-4.000 umat. Liturgi disampaikan dalam Bahasa Turki, Inggris, Latin, Armenia, dan Aramaik, dengan terjemahan simultan dalam Bahasa Turki di layar besar. Sebagian umat mengenakan kaus bergambar Paus dan membawa bendera berbagai negara.
Kunjungan ini memberikan penguatan iman dan dukungan moral bagi komunitas Katolik yang sangat minoritas. Menurut sejarawan gereja Jörg Ernesti, kebebasan beragama di Turki “setidaknya, terbatas.” Banyak gereja yang kosong atau ditutup, dan beberapa bahkan diubah menjadi masjid oleh pemerintah Turki.
Melanjutkan Misi ke Lebanon di Tengah Krisis Timur Tengah
Usai menyelesaikan rangkaian kegiatan ekumenis di Turki, Paus Leo XIV melanjutkan perjalanan ke Lebanon pada 30 November hingga 2 Desember 2025. Lebanon, negara dengan persentase umat Kristen terbesar di Timur Tengah, tengah dilanda krisis ekonomi yang parah dan merasakan dampak langsung dari konflik Gaza serta perang antara Israel dan Hizbullah yang memuncak pada ofensif besar Israel sejak Oktober 2024.
Uskup César Essayan, Vikaris Apostolik Beirut, menyebut kunjungan Paus sebagai “tanda besar harapan” bagi rakyat Lebanon dan seluruh Timur Tengah. “Kami sungguh berharap kunjungan beliau akan membawa hembusan damai dan menjadi saat pembaruan bagi kita semua,” katanya kepada Vatican News.
Presiden Lebanon Joseph Aoun secara resmi mengundang Paus Leo XIV pada Juni 2025. Kunjungan ini akan mencakup ibu kota Beirut dan beberapa lokasi ziarah di utara negara. Menjelang akhir perjalanannya, Paus akan berhenti sejenak untuk berdoa di pelabuhan Beirut, tempat ledakan dahsyat pada musim panas 2020 menghancurkan permukiman dan merenggut ratusan nyawa.
Para pemimpin Lebanon berharap kunjungan Paus dapat membawa perhatian global terhadap negara mereka di tengah ketidakpastian keamanan regional. Namun, kekhawatiran tentang keamanan perjalanan juga muncul. Dalam pertemuan pada 15 Oktober dengan Raja Abdullah II dan Ratu Rania dari Yordania, Ratu Rania menanyakan tentang keamanan perjalanan tersebut.
Vatikan menegaskan bahwa rencana kunjungan tidak berubah setelah serangan udara Israel di Beirut awal pekan sebelumnya, dan perjalanan ini adalah untuk misi perdamaian, rohani, dan sosial.
Dari İznik ke Beirut: Jembatan Perdamaian di Dunia yang Terpecah
Kunjungan perdana Paus Leo XIV ke Turki dan Lebanon menandai arah kepemimpinannya: membangun jembatan persaudaraan di dunia yang semakin terpecah oleh konflik, nasionalisme, dan ketegangan antaragama. Dengan memilih dua negara yang dibentuk oleh sejarah panjang Islam sebagai destinasi pertamanya, Paus mengirim pesan kuat bahwa dialog lintas agama dan persatuan ekumenis adalah kunci perdamaian global.
Jesuit Felix Körner, yang fasih berbahasa Turki dan pernah mengajar di negara tersebut, mengatakan kepada DW bahwa banyak pihak di dunia Islam, terutama di Turki, merasa terhormat bahwa perjalanan luar negeri pertama Paus ditujukan kepada mereka.
“Bagi banyak orang, Paus Leo menjadi ‘bentuk alternatif kehadiran keagamaan.’ Ia menunjukkan bahwa agama dapat memberi pengaruh melalui soft power—melalui teladan hidup, kata-kata yang membangun, dan diplomasi. Bukan melalui hard power, kekuasaan negara, kekerasan, atau korupsi,” katanya.
Keputusan untuk melewati Hagia Sophia mungkin mengecewakan sebagian umat Kristen yang melihat bangunan tersebut sebagai simbol penting warisan mereka. Namun, dalam konteks misi diplomatik dan ekumenis yang lebih besar, langkah ini menunjukkan kematangan kepemimpinan Paus Leo XIV yang memahami bahwa perdamaian sejati membutuhkan pengorbanan dan kebijaksanaan—bukan hanya simbol dan nostalgia masa lalu.
Seperti yang dikatakan Uskup Essayan: “Kami ingin kembali percaya bahwa jalan kemanusiaan hanyalah jalan damai—melalui dialog, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat setiap manusia.”
Dari İznik ke Beirut, dari sejarah ke harapan, Paus Leo XIV menapaki jalan para Bapa Gereja dan menabur kembali benih persaudaraan sejati: bahwa tidak ada masa depan bagi umat manusia tanpa damai, tanpa dialog, tanpa kasih.
CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk laporan resmi Kantor Pers Vatikan melalui Direktur Matteo Bruni (27 November 2025), liputan langsung perjalanan apostolik Paus Leo XIV di Turki (27-30 November 2025), pernyataan Uskup César Essayan kepada Vatican News, analisis akademisi Massimo Faggioli dan sejarawan gereja Jörg Ernesti, serta liputan dari berbagai media nasional & internasional.
Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang objektif dan berimbang. Keputusan Paus Leo XIV untuk tidak mengunjungi Hagia Sophia dalam kunjungan perdananya ke Turki adalah langkah diplomatis yang kontroversial namun dapat dipahami dalam konteks misi ekumenis dan dialog antaragama yang lebih luas. Meskipun beberapa umat Kristen mungkin kecewa dengan keputusan ini, kita harus mengakui bahwa perdamaian sejati seringkali membutuhkan pengorbanan simbolis demi tujuan yang lebih besar. Hagia Sophia tetap menjadi luka terbuka dalam hubungan Kristen-Islam, dan kunjungan Paus ke sana dapat memicu ketegangan yang justru bertentangan dengan pesan persaudaraan yang ingin ia sampaikan. Kami menghormati keberanian Paus Leo XIV dalam memilih jalan diplomasi daripada nostalgia, dan berharap misi perdamaiannya di Turki dan Lebanon dapat membawa harapan baru bagi umat di Timur Tengah yang telah lama menderita akibat konflik berkepanjangan.
Penulis: Setiawan Ade
Editor: Vincencius Vino




