Mewartakan dengan Jiwa

IRONI KOTA MALANG: Dataran Tinggi Tapi ‘Langganan’ Banjir, Proyek Drainase Tahunan Gagal Lagi?

Alun-Alun Malang. Sumber: Dokumentasi Wartajiwa.com
Alun-Alun Malang. Sumber: Dokumentasi Wartajiwa.com

MALANG – Fenomena “kolam renang dadakan” kembali terjadi di berbagai titik di Kota Malang setiap kali hujan lebat mengguyur. Cukup 1 hingga 3 jam hujan dengan intensitas tinggi, sejumlah ruas jalan protokol berubah menjadi sungai, melumpuhkan aktivitas warga dan memicu kemacetan parah.

Ironisnya, Kota Malang secara geografis berada di dataran tinggi, dengan ketinggian rata-rata 440-667 meter di atas permukaan laut (mdpl), jauh lebih tinggi dibanding kota tetangga seperti Surabaya atau Pasuruan. Secara logika hidrologi, air seharusnya dapat mengalir dengan lancar ke daerah yang lebih rendah.

Namun, fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Genangan air setinggi 30 hingga 100 cm kini menjadi pemandangan rutin yang semakin parah dari tahun ke tahun.

Paradoks Kota Pendidikan: Dataran Tinggi yang Rawan Genangan

Secara teoritis, topografi Kota Malang seharusnya membuatnya aman dari bencana banjir. Namun, kenyataan ini menjadi paradoks besar yang dipertanyakan publik.

“Aneh, ini kota tinggi tapi kok banjirnya parah. Harusnya air langsung turun ke bawah, ini malah menggenang,” keluh Rian, seorang pengendara ojek online yang ditemui di kawasan Jalan Soekarno-Hatta (Suhat) yang tergenang, (24/10/2025).

Kawasan langganan genangan pun tidak berubah dari tahun ke tahun, meliputi Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Galunggung, Jalan Ciliwung, kawasan Sawojajar, hingga Dinoyo. Aktivitas ekonomi dan sosial lumpuh total saat genangan terjadi, memaksa banyak kendaraan mogok dan warga terjebak.

Proyek Tahunan vs. Hasil Nihil

Kritik tajam tidak hanya tertuju pada fenomena alam, tetapi pada efektivitas kerja pemerintah kota. Publik menyoroti fakta bahwa setiap tahun, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang melalui Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPUPRPKP) selalu menganggarkan dana untuk proyek perbaikan drainase atau irigasi.

“Setiap tahun selalu ada proyek galian gorong-gorong, pelebaran selokan. Tapi hasilnya mana? Banjir bukannya teratasi, malah titiknya makin banyak dan makin tinggi,” ujar Budi, warga Sawojajar.

Pihak DPUPRPKP Kota Malang, dalam beberapa kesempatan, seringkali menyebut intensitas hujan ekstrem dan perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan sebagai biang kerok utama.

“Kami rutin melakukan normalisasi dan pembersihan sedimen. Namun, curah hujan memang di atas rata-rata dan banyak sampah menyumbat,” ujar seorang pejabat DPUPRPKP yang enggan disebut namanya, merujuk pada pernyataan-pernyataan sebelumnya.

Proyek Tahunan vs. Realita yang Memburuk

Situasi ini memicu frustrasi publik yang mendalam. Pasalnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Malang, melalui dinas terkait, diketahui hampir setiap tahun menganggarkan dan mengerjakan proyek-proyek perbaikan drainase, normalisasi sungai, atau pembangunan gorong-gorong baru.

Spanduk dan papan proyek galian kerap terlihat di berbagai sudut kota. Namun, anggaran yang digelontorkan seolah tidak berbanding lurus dengan hasil di lapangan. Bukannya teratasi, masalah genangan air ini justru terasa semakin parah dan meluas.

Proyek-proyek yang berjalan terkesan hanya bersifat “tambal sulam” dan reaktif, tanpa menyentuh akar permasalahan sesungguhnya.

Alih Fungsi Lahan Diduga Jadi Biang Kerok

Kritik publik kini menyoroti kegagalan sistemis dalam tata ruang kota. Laju pembangunan di Kota Malang yang sangat masif—mulai dari perumahan, ruko, hingga pusat perbelanjaan—diduga kuat menjadi penyebab utamanya.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfungsi sebagai area resapan air alami semakin tergerus, tergantikan oleh permukaan beton dan aspal. Akibatnya, hampir seluruh air hujan menjadi air limpasan (run-off) yang langsung membebani saluran drainase.

Masalahnya, sistem drainase yang ada saat ini diduga kuat memiliki kapasitas yang sudah usang. Saluran-saluran tersebut mungkin dirancang untuk kondisi Kota Malang puluhan tahun lalu, bukan untuk kota yang padat dan minim resapan seperti sekarang.

Tanpa adanya master plan drainase yang terintegrasi dan kemauan politik yang kuat untuk mengendalikan alih fungsi lahan, proyek perbaikan drainase tahunan hanya akan menjadi solusi sesaat yang sia-sia. Masyarakat pun terpaksa harus terus “berdamai” dengan ironi banjir di kota dataran tinggi ini.


Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk wawancara langsung dengan warga Kota Malang dan dinas terkait . Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, mengkritisi kebijakan pemerintah yang gagal melindungi warganya, dan membela hak-hak korban yang terabaikan.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *