Mewartakan dengan Jiwa

Hari Pangan Sedunia 2025: Ketika 673 Juta Orang Kelaparan, Indonesia Masih Bergulat dengan Stunting dan Impor Beras

JAKARTA, Warta Jiwa – Setiap 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia. Tahun 2025 ini bertepatan dengan ulang tahun ke-80 Food and Agriculture Organization (FAO), organisasi PBB yang berdiri sejak 1945 dengan misi memberantas kelaparan global.

Tema yang diusung tahun ini: “Hand in Hand for Better Foods and a Better Future” atau “Bergandengan Tangan untuk Pangan yang Lebih Baik dan Masa Depan yang Lebih Baik.” Sebuah tema yang penuh harapan, namun kontras dengan realitas yang masih menyakitkan.

FAO mencatat bahwa sekitar 673 juta orang di dunia masih hidup dalam kondisi kelaparan, sementara di sisi lain, kasus obesitas dan pemborosan makanan terus meningkat. Paradoks yang menunjukkan bahwa masalah pangan bukan hanya soal produksi, tapi juga distribusi dan keadilan.

Indonesia: Negara Kaya yang Masih Import Beras

Indonesia, negara agraris dengan tanah subur dan iklim tropis yang ideal untuk pertanian, ironisnya masih harus mengimpor berbagai komoditas pangan strategis.

Berdasarkan laporan Neraca Bahan Makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional pada tahun 2018-2020, belum semua pangan strategis Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sejumlah pangan utama masih harus dipenuhi dari impor, termasuk kedelai (80-90 persen impor), gula pasir (65-70 persen impor), bawang putih (90-95 persen impor), dan daging sapi (25-30 persen impor).

Pada 2023, pemerintah bahkan menugaskan Bulog untuk mengimpor dua juta ton beras dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp13,5 triliun. Jumlah ini hampir setara dengan total anggaran Kementerian Pertanian yang terus mengalami penurunan sejak 2021.

Stunting: Cermin Kegagalan Sistem Pangan

Indonesia saat ini menghadapi masalah triple burden malnutrition, yakni kekurangan gizi (stunting dan wasting), kegemukan, dan kekurangan mikronutrien.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, 21,6 persen anak Indonesia berusia 5 tahun ke bawah mengalami stunting, 7,7 persen wasted, dan 17,1 persen kekurangan berat badan. Setidaknya, ada 23 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi asupan gizi berimbang (undernourished) setiap hari.

Penelitian yang dilakukan kepada remaja putri di 335 sekolah di daerah Jawa Barat menyebutkan bahwa 45 persen remaja putri tersebut mengalami anemia dan 18 persen obesitas, keduanya berkaitan dengan pola makan.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada anak-anak yang pertumbuhannya terhambat, remaja yang tidak bisa belajar optimal karena anemia, dan generasi masa depan yang terancam tidak mampu bersaing secara global.

Akar Masalah: Alih Fungsi Lahan dan Petani yang Menua

Ketua DPR RI Puan Maharani mengungkapkan, sistem pangan yang belum betul-betul efektif menimbulkan konflik agraria, kemiskinan, kelaparan, stunting, obesitas, perubahan iklim, dan kerusakan alam.

Salah satu penyebab utama adalah alih fungsi lahan sawah yang terjadi secara masif. Menurut data Kementerian Pertanian, alih fungsi lahan pertanian mencapai 90.000 hingga 100.000 hektare setiap tahun. Berdasarkan data BPS, selama 2018-2023, luas lahan baku sawah menciut 648.800 hektare, yakni dari 7,7 juta hektare menjadi 7,1 juta hektare.

Sementara itu, petani Indonesia semakin menua. Hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, proporsi petani pengelola usaha pertanian perorangan berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Sedangkan petani berusia 65 tahun ke atas proporsinya juga meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen.

Regenerasi petani yang lambat, ditambah konversi lahan pertanian menjadi nonpangan dan perubahan iklim, menciptakan ancaman serius bagi ketahanan pangan nasional.

Perubahan Iklim: Ancaman yang Makin Nyata

Greenpeace Indonesia mencatat bahwa gagal panen akibat cuaca ekstrim semakin sering terjadi. Salah satu kasus yang sangat mengkhawatirkan adalah embun beku di Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Papua, yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian masyarakat dan terjadinya gagal panen. Badan Penanggulangan Bencana Daerah mencatat sekitar 500 lebih kepala keluarga mengalami kelaparan, bahkan beberapa telah meninggal dunia.

Di Brebes, petani bawang merah harus rela kehilangan kesempatan panen hampir 50 persen dari yang seharusnya mereka panen akibat hujan ekstrim. Begitu juga dengan petani cabe, hampir di semua wilayah Jawa dan Sumatera yang menderita kerugian akibat hujan ekstrim.

Menurut laporan World Food Programme, curah hujan di Indonesia tercatat paling tinggi dibanding rata-rata selama 30 tahun, terutama selama pekan kedua dan ketiga April hingga Juni 2022.

Kritik Terhadap Kebijakan Pemerintah

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan keras pada 15 Oktober 2025. Mereka menyatakan bahwa kebijakan pangan nasional berupa “Swasembada Pangan” justru memperlihatkan kecenderungan komodifikasi, komersialisasi, dan militerisasi pangan, yang justru semakin menjauhkan rakyat dari kedaulatan atas pangan dan sumber-sumber kehidupan mereka.

Secara global, laporan FAO 2025 menyatakan masih terdapat 673 juta jiwa manusia yang berada dalam kondisi kelaparan dan 2,6 miliar manusia tidak mampu membeli pangan yang sehat dan bergizi. Situasi ini terjadi karena ketidakadilan struktural dalam sistem pangan, di mana korporasi mendapatkan keuntungan namun sebaliknya bagi produsen pangan skala kecil.

Setidaknya sebanyak 3.624 perempuan dari 57 desa di Indonesia mengalami penindasan dan pemiskinan akibat dari situasi ini yang kemudian berdampak pada krisis pangan, rusaknya lingkungan, dan hilangnya keragaman pangan lokal.

Anggaran yang Ironis

Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah telah mengalokasikan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp124,4 triliun. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis Rp71 triliun pada 2025.

Namun, beberapa tahun terakhir anggaran untuk Kementerian Pertanian sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam penyediaan pangan justru terus menurun. Dalam APBN 2023, pagu Kementan adalah Rp15,3 triliun. Sementara untuk tahun 2024, dialokasikan sebesar Rp14,6 triliun. Angka tersebut konsisten mengalami penurunan sejak 2021, ketika anggaran Kementan dialokasikan sebesar Rp15,8 triliun.

Ironis memang: anggaran untuk produksi pangan turun, tapi anggaran untuk impor naik. Prioritas yang terbalik.

Solusi: Empat Pilar Transformasi Pangan

Koalisi untuk Sistem Pangan Lestari (KSPL) Indonesia merumuskan empat pilar yang diperlukan untuk transformasi sistem pangan di Indonesia:

1. Pola Makan yang Sehat Berbasis Sumber Daya Lokal Mendorong keragaman konsumsi pangan yang sesuai dengan keragaman pangan di daerah masing-masing, sesuai dengan Gerakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman. Indonesia perlu mengubah budaya yang terlalu bergantung pada nasi. Keanekaragaman bahan pangan pengganti nasi sangat melimpah, seperti jagung, sagu, maupun ubi-ubian.

2. Produksi Berkelanjutan Mendorong pertanian yang efisien dan ramah lingkungan, serta menjaga kelestarian air, tanah, dan biodiversitas.

3. Pengurangan Susut dan Limbah Pangan Menurut PBB, sepertiga produksi pangan dunia untuk konsumsi manusia terbuang tiap tahunnya, rata-rata 1,3 miliar ton. Indonesia perlu sistem distribusi dan penyimpanan yang lebih baik untuk mengurangi pemborosan.

4. Pengembangan Platform Multipihak Transformasi tata kelola sistem pangan membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, petani, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat.

Pesan dari Lapangan: Suara yang Harus Didengar

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Barito Utara, H Taufik Nugraha, dalam peringatan Hari Pangan Sedunia 2025 menegaskan: “Kita di daerah tidak bisa tinggal diam. Krisis pangan global bisa berdampak langsung pada masyarakat kita. Oleh karena itu, kita perlu bergerak bersama pemerintah daerah, petani, pelaku usaha, dan masyarakat untuk memperkuat sistem agrifood lokal yang berkeadilan dan berdaya saing.”

Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi dari IPB University menekankan bahwa industri pangan perlu melakukan reformulasi produk: mengurangi kadar gula, garam, dan lemak, serta memperkaya produk dengan serat, vitamin, mineral, dan komponen bioaktif yang bermanfaat bagi tubuh.

Penutup: Dari Tema ke Aksi Nyata

Tema “Bergandengan Tangan untuk Pangan yang Lebih Baik dan Masa Depan yang Lebih Baik” adalah seruan yang indah. Tapi seruan tanpa aksi hanyalah retorika kosong.

Indonesia memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi lumbung pangan: tanah subur, iklim ideal, kearifan lokal yang kaya, dan sumber daya manusia yang besar. Yang kurang adalah: prioritas yang tepat, kebijakan yang konsisten, dan political will yang kuat.

Ketika 673 juta orang di dunia masih kelaparan, dan 21,6 persen anak Indonesia masih stunting, maka Hari Pangan Sedunia bukan hanya soal peringatan dan tema. Ini adalah pengingat bahwa kita, sebagai bangsa, masih punya pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan.

Karena pada akhirnya, kualitas suatu negara tercermin dari ketersediaan dan ketahanan pangannya. Dan saat ini, cermin itu menunjukkan bahwa Indonesia masih harus berjuang keras untuk memastikan setiap warganya mendapat pangan yang cukup, sehat, dan bergizi.


FAKTA KUNCI:

  • Hari Pangan Sedunia: 16 Oktober (setiap tahun sejak 1981)
  • Tema 2025: “Hand in Hand for Better Foods and a Better Future”
  • FAO berusia 80 tahun (berdiri 16 Oktober 1945)
  • Kelaparan global: 673 juta orang (FAO 2025)
  • Orang tidak mampu beli pangan sehat: 2,6 miliar
  • Stunting Indonesia: 21,6% anak usia <5 tahun
  • Orang Indonesia undernourished: 23 juta
  • Impor Indonesia: Kedelai (80-90%), gula (65-70%), bawang putih (90-95%)
  • Alih fungsi lahan: 90.000-100.000 hektare/tahun
  • Penyusutan lahan sawah 2018-2023: 648.800 hektare
  • Anggaran ketahanan pangan 2025: Rp124,4 triliun
  • Anggaran MBG 2025: Rp71 triliun
  • Anggaran Kementan 2024: Rp14,6 triliun (turun dari Rp15,8 triliun di 2021)

CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan sumber-sumber kredibel termasuk data resmi FAO, Kementerian Kesehatan, BPS, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, WRI Indonesia, Greenpeace Indonesia, pernyataan ICW dan koalisi masyarakat sipil, serta berbagai media nasional. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang tidak hanya informatif tetapi juga membela hak rakyat atas pangan yang cukup, sehat, dan bergizi.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *