Mewartakan dengan Jiwa

Generasi Netflix: Makin Terhibur atau Makin Terisolasi?

Ilustrasi Generasi Netflix
Ilustrasi Generasi Netflix

Jakarta – Lampu apartemen Dian (27) masih padam saat ia tiba pukul tujuh malam. Lelah setelah seharian bekerja di sebuah agensi kreatif di Jakarta, satu-satunya hal yang ia inginkan adalah melepas penat. Notifikasi di ponselnya menunjukkan ajakan teman-temannya untuk makan malam bersama, namun dengan sekali usap, ajakan itu diabaikan. Sebagai gantinya, ia menyalakan televisi, membuka aplikasi Netflix, dan dalam hitungan detik, dunia nyata yang bising tergantikan oleh lanskap sinematik drama Korea terbaru.

Dian adalah representasi dari sebuah generasi yang hidup di puncak keemasan hiburan. Dengan layanan streaming seperti Netflix, Disney+, dan lainnya, akses terhadap ribuan film dan serial dari seluruh dunia kini ada di ujung jari. Fenomena ini melahirkan pertanyaan mendasar: di tengah kelimpahan hiburan ini, apakah kita menjadi generasi yang lebih bahagia, atau justru semakin menarik diri ke dalam kepompong kesendirian?


Utopia Hiburan: Dunia dalam Genggaman

Tidak dapat dimungkiri, platform on-demand telah merevolusi cara kita mengonsumsi media. Kelebihannya begitu nyata dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern.

Pertama, aksesibilitas dan pilihan tanpa batas. Generasi sebelumnya terikat pada jadwal siaran televisi yang kaku. Kini, “Generasi Netflix” memiliki otonomi penuh. Mereka adalah kurator bagi hiburan mereka sendiri, bebas memilih apa, kapan, dan di mana mereka akan menonton. Dari film pemenang Oscar, dokumenter investigatif, hingga anime dari Jepang, semua tersedia secara instan.

Kedua, fenomena ini mendorong lahirnya komunitas digital global. Paradoksnya, aktivitas menonton yang soliter justru bisa melahirkan ikatan sosial baru. Forum diskusi di Reddit, utas panjang di X (dulu Twitter), atau grup-grup penggemar di Facebook menjadi ruang virtual tempat jutaan orang dari berbagai negara membedah teori, merayakan karakter favorit, dan merasa terhubung melalui cerita yang sama. Mereka mungkin terisolasi secara fisik di kamar masing-masing, tetapi mereka adalah bagian dari percakapan global.

“Kita menyaksikan lahirnya fandom yang melintasi batas geografis,” tulis seorang analis media dalam laporan Digital Media Consumption Report 2025. “Sebuah serial dari Spanyol seperti ‘Money Heist’ bisa menjadi fenomena budaya di Indonesia, menciptakan rasa kebersamaan virtual yang kuat.”


Distopia Sunyi: Jebakan Algoritma dan Kesepian

Namun, di balik kemudahan dan kemewahan hiburan tersebut, ada sisi lain yang lebih suram dan sering kali tidak disadari.

Kembali ke apartemen Dian. Tiga episode berlalu tanpa terasa. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ia memang terhibur, tetapi ia belum bertukar sepatah kata pun dengan manusia lain sejak meninggalkan kantor. Inilah inti dari kekhawatiran banyak ahli. Sebuah studi yang dipublikasikan di Jurnal Psikologi Sosial mengaitkan pola menonton berlebihan (binge-watching) dengan meningkatnya perasaan kesepian dan gejala depresi ringan.

Psikolog menyebutnya sebagai “jebakan dopamin”. Setiap kali satu episode berakhir, platform secara otomatis memutar episode berikutnya, memberikan kepuasan instan yang membuat kita sulit berhenti. Menurut sosiolog Sherry Turkle dalam bukunya yang relevan, Alone Together, teknologi menyediakan ilusi kebersamaan tanpa menuntut keintiman yang nyata. Kita merasa terhubung dengan karakter di layar, tetapi mengorbankan koneksi dengan orang-orang di sekitar kita.

Lebih jauh lagi, algoritma personalisasi yang canggih menciptakan “gelembung filter” atau echo chamber. Platform belajar apa yang kita sukai dan terus-menerus menyajikan konten serupa. Meskipun efisien, ini secara perlahan mengurangi paparan kita pada perspektif dan cerita yang berbeda, membatasi pengalaman budaya bersama yang dulu diciptakan oleh media konvensional.


Menemukan Keseimbangan

Jadi, makin terhibur atau makin terisolasi? Jawabannya tidak hitam-putih. “Generasi Netflix” adalah generasi yang paling terhibur dalam sejarah manusia, sekaligus yang paling rentan terhadap isolasi modern.

Teknologi itu sendiri bersifat netral. Platform streaming adalah alat yang luar biasa untuk relaksasi, edukasi, dan bahkan koneksi global. Masalahnya bukan pada alatnya, melainkan pada intensitas dan intensi penggunaannya.

Kuncinya terletak pada kesadaran untuk menemukan keseimbangan. Menikmati maraton serial di akhir pekan adalah sebuah kemewahan, tetapi itu tidak seharusnya menggantikan interaksi tatap muka yang esensial bagi kesehatan mental. Tantangan terbesar bagi generasi ini bukanlah memilih tontonan berikutnya, melainkan memutuskan kapan harus menekan tombol pause, mematikan layar, dan kembali terhubung dengan dunia nyata yang menunggu di luar sana. Mungkin, seperti ajakan makan malam yang Dian abaikan, kebahagiaan sejati terkadang tidak ditemukan dalam episode selanjutnya, tetapi dalam percakapan hangat bersama seorang sahabat.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *