JAKARTA – Sebuah pergeseran signifikan dalam pendekatan diplomasi Indonesia terhadap konflik Israel-Palestina mengemuka setelah pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum PBB akhir September 2025. Pidato tersebut, meski menegaskan kembali dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, memicu perdebatan nasional karena menyajikan sebuah formula baru yang menghubungkan pengakuan kedaulatan Palestina dengan potensi pengakuan Indonesia terhadap Israel.
Dalam forum global tersebut, dilaporkan bahwa Presiden Prabowo mengusulkan sebuah pendekatan transaksional: Indonesia siap mengakui eksistensi dan keamanan Israel, dengan syarat utama bahwa Israel terlebih dahulu mengakui dan memfasilitasi kemerdekaan penuh Negara Palestina sesuai dengan prinsip two-state solution. Langkah ini menandai perubahan dari dukungan yang selama ini bersifat ideologis menjadi sebuah tawaran diplomasi yang lebih pragmatis.
Langkah ini sontak menempatkan kebijakan luar negeri Indonesia di persimpangan jalan, memicu diskursus luas antara potensi terobosan dan risiko penggerusan prinsip konstitusional
Reaksi Beragam dari Berbagai Arah
Di dalam negeri, formula baru ini ditanggapi dengan beragam perspektif. Kalangan partai politik yang berhaluan Islam dan kelompok masyarakat sipil pro-Palestina menyuarakan kekhawatiran mendalam. Sikap mereka secara konsisten merujuk pada amanat Pembukaan UUD 1945 untuk menentang penjajahan. Tawaran pengakuan bersyarat terhadap Israel dipandang berisiko mencederai prinsip tersebut dan menyamarkan posisi Indonesia sebagai pembela bangsa tertindas.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang secara historis menjadi penjaga moral dan suara umat Islam, juga diketahui memiliki posisi tegas menolak segala bentuk normalisasi hubungan dengan Israel sebelum Palestina merdeka sepenuhnya. Sikap ini didasarkan pada ikatan solidaritas keagamaan dan rasa keadilan, yang merefleksikan sentimen mayoritas masyarakat.
Sementara itu, dari kalangan akademisi dan pengamat hubungan internasional, langkah Presiden Prabowo dinilai sebagai sebuah pergeseran menuju pendekatan realpolitik. Analisis yang berkembang melihat ini sebagai upaya untuk menggunakan daya tawar (leverage) diplomatik tertinggi yang dimiliki Indonesia—yaitu potensi pengakuan—untuk memaksa adanya sebuah kemajuan konkret. Namun, para ahli juga mengingatkan risiko strategisnya, yaitu potensi hilangnya citra dan pengaruh Indonesia sebagai pemimpin moral di antara negara-negara berkembang dan dunia Islam.
Pemerintah, melalui kanal-kanal resminya, diyakini membingkai kebijakan ini sebagai sebuah evolusi dari diplomasi yang pasif menjadi proaktif. Narasi yang dibangun adalah bahwa Indonesia tidak lagi hanya mengecam di panggung dunia, tetapi secara berani menawarkan diri sebagai bagian dari solusi dengan mengajukan langkah-langkah konkret yang dapat dipertimbangkan.
Dimensi Kemanusiaan Sebagai Aksi Nyata
Di tengah kompleksitas debat diplomatik, pemerintah terus mendorong aksi kemanusiaan sebagai wujud nyata keberpihakan Indonesia. Komitmen ini dibuktikan dengan rencana pemerintah yang telah diumumkan secara terbuka untuk mengevakuasi dan memberikan perawatan medis kepada setidaknya 1.000 anak-anak dan warga sipil dari Gaza.
Beberapa rumah sakit pemerintah, termasuk RSPPN Panglima Besar Soedirman di Jakarta, telah disiapkan untuk menerima dan merawat para korban. Langkah ini menjadi penegasan bahwa terlepas dari strategi politik yang diperdebatkan, prioritas kemanusiaan tetap menjadi landasan kebijakan Indonesia. Aksi nyata ini sekaligus menjadi jembatan untuk menunjukkan bahwa fokus utama bangsa tetap pada penyelamatan nyawa dan kesejahteraan rakyat Palestina.
Pada akhirnya, pidato Presiden Prabowo telah membuka babak baru yang menantang bagi diplomasi Indonesia. Kini, tugas terberat pemerintah adalah menyeimbangkan antara ambisi pragmatis untuk mencapai solusi konkret dengan kewajiban menjaga amanat konstitusi dan kepercayaan publik yang telah tertanam selama puluhan tahun.
Dasar Sumber Artikel:
- Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia dari Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional.
- Pernyataan Pers dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait Isu Palestina.
- Sikap Resmi Partai Politik di Indonesia mengenai Isu Normalisasi (terdokumentasi dalam berita dan rilis pers).
- Pidato dan Pernyataan Resmi Presiden dan Menteri Luar Negeri RI di Berbagai Forum Internasional (seperti Sidang Umum PBB, KTT OKI, dan Shangri-La Dialogue).
- Laporan dari Kantor Berita Nasional dan Internasional yang Kredibel.
CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan berbagai sumber kredibel termasuk transkrip pidato resmi PBB, siaran pers lembaga negara dan partai politik. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang tidak hanya informatif tetapi juga menyentuh realitas kebijakan yang berdampak pada rakyat.




