Mewartakan dengan Jiwa

DIJAJAH HOAKS, DIPENJARA ‘SERVER’. Makna Sumpah Pemuda Kini Dipertanyakan.

kongres sumpah pemuda

JAKARTA, Warta Jiwa – Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan semangat “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa”. Kini di tahun 2025, medan perjuangan telah bergeser dari ruang kongres ke ruang digital—tempat di mana persatuan justru terancam oleh hoaks, echo chamber, dan polarisasi yang mengakar kuat.

Medan Baru, Musuh Baru

Jika pemuda 1928 bersatu melawan penjajah fisik, pemuda 2025 berhadapan dengan musuh yang lebih licin: disinformasi, algoritma media sosial, dan ruang gema digital yang membuat bangsa terbelah tanpa sadar.

Data Kementerian Komunikasi dan Digital menunjukkan sepanjang 2024 saja, pemerintah mengidentifikasi 1.923 konten hoaks, dengan kategori terbanyak adalah penipuan (890 konten), politik (237 konten), dan pemerintahan (214 konten).

Lebih mengkhawatirkan, Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2.330 hoaks selama 2023, dengan 1.292 di antaranya adalah hoaks politik—dua kali lipat lebih banyak dibanding Pemilu 2019.

Sementara survei Katadata Insight Center mengungkap fakta mencengangkan: 30-60% masyarakat Indonesia terpapar hoaks saat mengakses internet, namun hanya 21-36% yang mampu mengenalinya.

Kondisi ini diperparah oleh realitas bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami cara menggunakan teknologi dengan bijak, sehingga timbul perpecahan di tengah masyarakat.

Terjebak dalam Ruang Gema

Echo chamber atau ruang gema kini menjadi fenomena nyata yang mengancam persatuan. Penelitian dari Universitas Sumatera Utara tentang polarisasi politik di Twitter menemukan bahwa algoritma media sosial membuat para pendukung politik hanya menerima informasi yang bias secara terus-menerus. Hal ini menyebabkan pola komunikasi yang selalu terpolar dari satu topik ke topik lainnya.

Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk meningkatkan engagement. Platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok mencurate timeline pengguna berdasarkan preferensi dan interaksi sebelumnya. Akibatnya, pengguna terjebak dalam gelembung informasi yang hanya memperkuat pandangan mereka sendiri, sementara perspektif berbeda semakin jarang muncul.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Pendidikan PKN menjelaskan bahwa di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media sosial, echo chamber menciptakan kondisi di mana pengguna terus-menerus terpapar pada konten yang sejalan dengan pandangan mereka, sehingga memperkuat keyakinan yang sudah ada tanpa adanya koreksi dari pihak lain.

Sumpah Pemuda 4.0: Dari Konsumen ke Kurator

Di tengah krisis ini, momentum Sumpah Pemuda 2025 dengan tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu” menjadi relevan. Namun, bukan sekadar seremonial belaka.

Pengamat sosial kemasyarakatan Serian Wijatno menegaskan bahwa Sumpah Pemuda harus menjadi momentum aksi nyata, bukan retorika. “Pengukur semangat sumpah pemuda tidak lagi pada kemeriahan seremoni, tetapi pada peningkatan kualitas pemuda. Harus ada langkah inovatif yang memberi terobosan jangka panjang bagi pemuda,”.

Serian juga menekankan bahwa pendekatan yang mengandalkan slogan puitis harus ditinggalkan, dan perlu ada peningkatan indeks pembangunan pemuda (IPP) pada bidang pendidikan dan lapangan kerja.

Konsep “Sumpah Pemuda Digital” mulai digaungkan sebagai respons terhadap tantangan era digital. Pemuda Indonesia ditantang untuk menjadi kurator informasi yang bijak—bukan sekadar konsumen pasif yang terombang-ambing arus informasi.

Bayangkan kekuatan 60 juta pemuda Indonesia jika mereka menjadi jaringan kurator yang andal. Mereka dapat secara kolektif meredam gelombang hoaks, mendorong diskusi berbasis bukti, dan membangun ekosistem informasi yang sehat.

Ancaman Nyata terhadap Demokrasi

Polarisasi yang terus dibiarkan dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Lukman Nur Hakim dari PSKP UGM mengungkapkan bahwa polarisasi dapat menimbulkan general distrust publik terhadap politik.

Hal ini diperkuat survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan 36% responden menyatakan Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis.

“Polarisasi ini jika terus dibiarkan dapat mengancam keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Masyarakat berpotensi mengalami distrust in democracy,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat politik Suherman Saragih Silaen memberikan kritik tajam bahwa Sumpah Pemuda hari ini seperti fatamorgana: terlihat megah, tapi rapuh dan sulit dijangkau karena tidak membumi.

Solusi: Bukan Menghindari, Tapi Menghadapi dengan Cerdas

Ahli komunikasi menegaskan bahwa polarisasi di media sosial tidak dapat dihindari sepenuhnya pada skala nasional. Manusia memiliki karakter yang beragam, dan perbedaan karakter menghasilkan perbedaan sudut pandang yang menjadi salah satu faktor pembentuk polarisasi.

Namun, masyarakat bisa lebih cerdas dalam menghadapi situasi ini. Hal pertama yang harus dipahami adalah siapa saja bisa bersuara di media sosial. Kemudahan ini membuat informasi yang ada di media sosial menjadi sangat bias. Keabsahan suatu informasi perlu dipertanyakan, mengingat banyak yang sumbernya tidak jelas.

Studi dari Universitas Oxford justru menolak dikambinghitamkan internet sebagai biang keladi polarisasi politik. Dibanding memperburuk kondisi polarisasi, internet justru dilihat sebagai pencerah yang mampu memberikan sudut pandang bervariasi—jika digunakan dengan bijak.

Peran Media Mainstream sebagai Jembatan

Penelitian menunjukkan bahwa media mainstream memainkan peran penting sebagai jembatan antara bola-bola echo chamber. Jembatan yang dimaksud adalah memberitakan dari dua sisi, tidak cenderung pada salah satu ruang gema di media sosial.

Echo chamber menjadi buruk ketika resonansi ide tidak diimbangi dengan adanya arbitrate trust atau penengah kepercayaan. Jika media mainstream tidak memainkan peran ini, kemungkinan besar bola-bola echo chamber tersebut membentuk polarisasi yang lebih dalam.

Seruan untuk Bertindak

Peringatan Sumpah Pemuda 2025 bukan sekadar mengenang sejarah atau meneriakkan yel-yel persatuan. Ini adalah panggilan untuk bertindak konkret: menjadi pemuda yang tidak hanya cerdas teknologi, tetapi juga berjiwa nasionalis, berakhlak, dan taat hukum.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam keterangannya merefleksikan bahwa di tubuh bangsa ini banyak generasi muda yang memiliki potensi dan prestasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam penguasaan saintek khususnya teknologi digital. Namun ia mengingatkan bahwa masalah kesehatan mental akibat berbagai tekanan hidup yang sarat beban di kalangan kaum milenial dan generasi Z dapat menjadi ancaman sosial baru.

Selain itu, masalah kemiskinan literasi dan etika digital yang dialami generasi muda Indonesia juga menjadi perhatian serius. Temuan Microsoft tahun 2022 menunjukkan tingkat digility orang Indonesia rendah dalam kehidupan dunia digital dan media sosial.

Sumpah Pemuda 2025 harus diterjemahkan dalam Sumpah Pemuda Digital: di mana pemuda Indonesia bersatu menjaga martabat bangsa di ruang digital, menjadi kurator informasi yang bijak, dan mewariskan ekosistem informasi yang sehat untuk generasi mendatang.

Karena pada akhirnya, “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” di era digital juga berarti: Satu komitmen untuk melawan hoaks, satu kesadaran untuk keluar dari echo chamber, dan satu tekad untuk membangun Indonesia yang lebih baik—baik offline maupun online.


FAKTA KUNCI:

DATA HOAKS DI INDONESIA:

  • Total konten hoaks 2024: 1.923 konten (Komdigi)
  • Kategori terbanyak: Penipuan (890), Politik (237), Pemerintahan (214)
  • Total hoaks 2023: 2.330 konten (Mafindo)
  • Hoaks politik 2023: 1.292 konten (2x lipat dari Pemilu 2019)
  • Masyarakat terpapar hoaks: 30-60%
  • Masyarakat mampu mengenali hoaks: 21-36%

DAMPAK POLARISASI:

  • 36% responden menilai Indonesia kurang demokratis (Indikator Politik Indonesia)
  • Polarisasi politik meningkat di media sosial (Riset USU)
  • General distrust terhadap politik meningkat (PSKP UGM)
  • Tingkat digility Indonesia rendah (Microsoft 2022)

SUMBER DATA:

  • Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi)
  • Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo)
  • Katadata Insight Center
  • Universitas Sumatera Utara (Riset Polarisasi Politik)
  • Jurnal Pendidikan PKN
  • Indikator Politik Indonesia
  • Universitas Oxford (Studi Internet dan Polarisasi)
  • Microsoft (Studi Digility 2022)

CATATAN REDAKSI:

Artikel ini disusun berdasarkan data kredibel dari Kementerian Komunikasi dan Digital, Mafindo, Katadata Insight Center, serta berbagai sudut panfang akademis. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita objektif dan kritis yang memberdayakan masyarakat menjadi warga digital yang bijak. Literasi digital adalah kunci menjaga persatuan bangsa di era modern.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *