Wartajiwa.com, Jakarta – Kementerian Kebudayaan resmi meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” pada Minggu (14/12/2025), bersamaan dengan penetapan 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional. Namun peluncuran buku setebal 7.958 halaman dalam 10 jilid ini justru diwarnai gelombang kritik tajam dari akademisi, sejarawan, hingga organisasi masyarakat sipil yang mempertanyakan objektivitas dan independensi penulisannya.
Karya Monumental atau Proyek Kontroversial?
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan buku ini hasil kolaborasi 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 lembaga non-perguruan tinggi, tanpa campur tangan pemerintah. “Jadi ini bukan ditulis oleh saya, oleh Pak Restu, atau oleh orang Kementerian Kebudayaan. Kita memfasilitasi para sejarawan untuk menulis sejarah,” kata Fadli dalam acara peluncuran di Kantor Kemendikdasmen.
Buku yang mencakup perjalanan bangsa dari masa prasejarah hingga 2024 ini disusun dengan pendekatan perspektif Nusantara, menempatkan Indonesia sebagai subjek utama sejarah—bukan sekadar objek dari narasi kolonial Barat. Fadli menegaskan proyek ini merupakan respons terhadap aspirasi para sejarawan mengingat penulisan sejarah komprehensif terakhir dilakukan pada 2012 melalui buku “Indonesia dalam Arus Sejarah.”
Namun di balik klaim mulia tersebut, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana independensi akademik dijaga ketika negara menjadi fasilitator dan penentu arah penulisan?
Kritik Tajam dari Dunia Akademis
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menjadi salah satu suara kritis paling lantang. Ia mempertanyakan penggunaan istilah “sejarah resmi” dalam proyek pemerintah ini. “Sejak kapan pemerintah memiliki kuasa dan kewenangan untuk menulis sejarah resmi, sedangkan versi lain tidak dikatakan resmi?” kata Truman.
Lebih mengejutkan lagi, Truman—yang sempat ditunjuk sebagai editor untuk jilid pertama—mengundurkan diri hanya 10 hari setelah proyek dimulai pada Januari 2025. Ia mengaku memiliki perbedaan pendapat akademis karena para penulis hanya diminta mengisi konten berdasarkan outline yang sudah ditentukan, tanpa diskusi menyeluruh terlebih dahulu.
“Peserta sudah diberikan outline, kemudian hanya diminta diisi konten-konten yang relevan. Hal ini dianggap janggal karena outline tersebut semestinya didiskusikan dulu oleh para editor yang terdiri dari sejarawan dan prasejarawan,” ungkap Truman.
Sejarawan dari Universitas Nasional, Andi Achdian, bahkan lebih blak-blakan. Ia menyebut penulisan sejarah resmi oleh negara adalah ciri khas negara otoriter, bukan negara demokratis. “Biasanya negara-negara demokratis kan ngapain sih gitu loh bikin program itu ya. Biasanya kan negara-negara otoriter tuh, yang punya kepentingan untuk menulis sejarah resmi yang mereka klaim sebagai sejarah resmi,” kritik Andi.
Kekhawatiran Penghilangan Pelanggaran HAM
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi penghilangan atau penyajian tidak lengkap terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terutama pada era Orde Baru. Beberapa pengamat mengkhawatirkan penculikan aktivis 1998 dan dugaan kekerasan seksual massal tidak mendapat porsi memadai atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Andi Achdian menyesalkan bahwa dari 12 kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM, outline buku sejarah hanya memasukkan dua di antaranya. “Sementara problem-problem lain seperti yang sudah diakui negara sendiri kan 12 pelanggaran HAM masa lalu yang berat itu juga tidak masuk,” kata Andi.
Menurutnya, berdasarkan outline yang ada, revisi penulisan sejarah hanya berisi glorifikasi terhadap pemerintahan presiden mulai Sukarno hingga Jokowi. “Jadi enggak ada luka sejarahnya. Semuanya baik-baik saja. Nah itu problem dari sejarah official history ya,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid turut mengkritik penggunaan label “sejarah resmi” yang berpotensi meminggirkan narasi alternatif dan perspektif korban, terutama dalam kasus-kasus pelanggaran HAM.
Mensos yang Belum Baca Bukunya Sendiri
Ironi lain muncul ketika Fadli Zon mengaku belum membaca buku yang baru saja diluncurkannya. “Ini mungkin baru jadi. Belum kita cetak secara massal. Eh, saya juga belum baca, terus terang saya akan baca sekali lagi ya. Jadi baru serahkan,” ujar Fadli dengan jujur.
Pernyataan ini mengundang pertanyaan: bagaimana seorang menteri yang memimpin proyek sebesar ini bisa belum membaca hasilnya sebelum diluncurkan? Apakah ini mencerminkan kurangnya supervisi langsung, atau justru bukti bahwa pemerintah benar-benar tidak ikut campur dalam substansi penulisan?
Fadli juga mengakui buku ini “tidaklah sempurna” karena tidak akan mencakup keseluruhan sejarah Indonesia. “Kalau sejarah kita ditulis lengkap, mungkin harus seratus jilid. Buku ini adalah highlight dari perjalanan,” katanya.
Antara Kepentingan Politik dan Kepentingan Bangsa
Fadli Zon berulang kali menegaskan bahwa proyek ini bukan untuk kepentingan politik. “Saya yakin ini bukan untuk kepentingan politik. Ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara kita. Ini adalah bagian dari upaya kita untuk merawat memori kolektif bangsa,” tegasnya.
Namun timing peluncuran—bersamaan dengan peringatan menuju 80 tahun Indonesia merdeka dan di tengah pemerintahan Prabowo Subianto yang baru beberapa bulan berjalan—menimbulkan spekulasi. Apalagi Direktorat Sejarah yang menjadi motor proyek ini baru saja dihidupkan kembali setelah lama tidak aktif, bersamaan dengan dibentuknya Kementerian Kebudayaan di era Prabowo.
Pertanyaannya: mengapa penulisan sejarah ini begitu mendesak sehingga harus diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun (Januari-November 2025)? Apakah memang ada urgensi akademis, atau ada pertimbangan politik di balik proyek ambisius ini?
Dilema Historiografi Negara-Bangsa
Perdebatan soal buku ini mengekspos dilema fundamental dalam penulisan sejarah nasional: siapa yang berhak menulis sejarah? Negara atau akademisi independen? Dan jika negara terlibat sebagai fasilitator, bagaimana menjamin independensi akademik tetap terjaga?
Bonnie Triyana, sejarawan dan Pemimpin Redaksi Historia, menyarankan agar naskah buku sejarah diuji publik terlebih dahulu sebelum diterbitkan. “Supaya dapat masukan dari masyarakat. Karena sejatinya sejarah adalah milik masyarakat, bukan hanya milik negara,” katanya.
Saran ini masuk akal mengingat sejarah adalah narasi kolektif yang tidak boleh dimonopoli satu pihak. Dalam negara demokratis, seharusnya ada ruang untuk berbagai versi sejarah—dari perspektif pemerintah, akademisi independen, korban, pelaku, hingga masyarakat akar rumput.
Respons Pemerintah: Terbuka pada Kritik?
Menanggapi gelombang kritik, Fadli Zon menyatakan keterbukaan terhadap masukan. “Saya kira kalau terjadi perbedaan pendapat itu satu hal yang sangat biasa, dan saya kira harus agree to disagree sebagai bagian dari demokrasi kita,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani bahkan menegaskan bahwa kritik terhadap buku sejarah adalah bagian dari proses penyempurnaan. “Pemerintah tidak perlu malu untuk melakukan revisi jika memang ditemukan kekeliruan,” kata Lalu.
Namun apakah pernyataan keterbukaan ini benar-benar ditindaklanjuti? Atau hanya retorika untuk meredam kritik? Buku ini dijadwalkan dicetak massal pada awal 2026 dan akan menjadi panduan ajaran di sekolah-sekolah—sebuah langkah yang menimbulkan kekhawatiran baru.
Jika buku ini menjadi rujukan wajib dalam pendidikan nasional, bukankah ini berarti negara telah menetapkan narasi tunggal yang harus diterima generasi mendatang? Bagaimana dengan pluralisme perspektif sejarah yang seharusnya diajarkan dalam pendidikan kritis?
Pertanyaan yang Harus Dijawab
Peluncuran buku sejarah ini menghadirkan sejumlah pertanyaan mendesak yang membutuhkan jawaban transparan:
Pertama, mengapa outline ditentukan terlebih dahulu sebelum diskusi dengan para editor dan penulis? Bukankah dalam penelitian akademis yang independen, kerangka kerja seharusnya dirumuskan bersama?
Kedua, bagaimana mekanisme pemilihan 123 penulis dilakukan? Apakah ada kriteria objektif, atau ada pertimbangan lain seperti kedekatan ideologis dengan pemerintah?
Ketiga, mengapa kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diakui negara sendiri tidak mendapat porsi memadai dalam outline? Apakah ini bentuk self-censorship atau memang ada instruksi untuk menghindari topik sensitif?
Keempat, jika buku ini benar-benar independen dan tanpa intervensi pemerintah, mengapa Menteri Kebudayaan sendiri belum membacanya sebelum peluncuran? Bukankah seharusnya ada quality control dari pihak yang bertanggung jawab?
Sejarah adalah Medan Pertarungan Narasi
Filosof Michel Foucault pernah berkata: “Sejarah adalah medan pertarungan kekuasaan.” Mereka yang menguasai narasi sejarah, menguasai legitimasi di masa kini. Maka tidak mengherankan jika penguasa selalu berusaha mengontrol bagaimana sejarah ditulis, diajarkan, dan diingat.
Pengalaman Orde Baru mengajarkan kita bahwa ketika negara memonopoli narasi sejarah, yang terjadi adalah distorsi masif. Peristiwa 1965 dinarasikan semata sebagai “pemberontakan PKI,” menghilangkan kompleksitas politik dan tragedi kemanusiaan yang mengiringinya. Peran militer diglorifikasi, sementara suara korban dibungkam.
Kini, 27 tahun setelah Reformasi, Indonesia kembali berhadapan dengan upaya negara menulis “sejarah resmi.” Bedanya, kali ini dilakukan dengan wajah yang lebih demokratis—melibatkan puluhan sejarawan, mengklaim independensi, dan membuka diri pada kritik.
Namun pertanyaannya tetap sama: apakah ini benar-benar penulisan sejarah yang independen, atau hanya bentuk kontrol negara yang lebih halus dan canggih?
Sejarah untuk Siapa?
Yang paling penting adalah: sejarah ditulis untuk siapa? Untuk legitimasi pemerintah? Untuk membangun nasionalisme sempit? Atau untuk memberikan pemahaman kritis kepada masyarakat tentang perjalanan bangsa dengan segala kompleksitas, kontradiksi, dan luka-lukanya?
Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan sejarah yang jujur—sejarah yang tidak hanya merayakan kemenangan, tetapi juga mengakui kesalahan. Sejarah yang tidak hanya mengagungkan pahlawan, tetapi juga mendengar suara korban. Sejarah yang tidak hanya melegitimasi penguasa, tetapi juga memberdayakan rakyat untuk berpikir kritis.
Buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” bisa menjadi kontribusi berharga untuk literasi sejarah nasional—asalkan benar-benar objektif, komprehensif, dan tidak menjadi alat propaganda halus. Namun dengan berbagai kekhawatiran yang muncul, publik berhak untuk tetap waspada dan kritis.
Jalan Keluar: Transparansi dan Diskursus Terbuka
Untuk menjawab keraguan publik, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret:
Pertama, buka akses penuh kepada publik untuk membaca dan menelaah buku sebelum dicetak massal dan dijadikan rujukan pendidikan. Adakan diskusi publik di berbagai forum akademis, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas korban pelanggaran HAM.
Kedua, publikasikan secara transparan proses pemilihan penulis, kerangka kerja outline, dan mekanisme editorial yang digunakan. Ini penting untuk memastikan tidak ada bias politis atau penyensoran yang terjadi.
Ketiga, jika memang ditemukan kekeliruan atau bias dalam penulisan—terutama terkait pelanggaran HAM—lakukan revisi secara terbuka dan libatkan korban serta keluarganya dalam proses itu.
Keempat, jangan jadikan buku ini sebagai satu-satunya rujukan dalam pendidikan sejarah. Ajarkan siswa untuk membaca berbagai perspektif, membandingkan narasi yang berbeda, dan berpikir kritis tentang bagaimana sejarah dikonstruksi.
Sejarah bukanlah produk jadi yang statis, melainkan proses diskursus yang terus-menerus. Dalam negara demokratis yang sehat, tidak ada satu versi sejarah yang boleh mengklaim sebagai “kebenaran tunggal.” Yang ada adalah beragam narasi yang saling berkompetisi dalam ruang publik, dan masyarakatlah yang pada akhirnya menentukan narasi mana yang paling dapat dipertanggungjawabkan.
CATATAN REDAKSI:
Peluncuran buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” seharusnya menjadi momen gembira dalam khazanah intelektual bangsa. Namun gelombang kritik yang muncul menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap proyek sejarah yang dimotori negara masih rapuh—warisan trauma dari manipulasi sejarah era Orde Baru yang belum sepenuhnya sembuh.
Wartajiwa.com menekankan: dalam negara demokratis, tidak ada tempat untuk “sejarah resmi” yang memonopoli kebenaran. Sejarah adalah medan kontestasi narasi yang harus dibuka untuk semua pihak—pemerintah, akademisi independen, korban, dan masyarakat umum.
Kritik terhadap buku ini bukan berarti anti-nasionalisme atau menolak upaya negara merawat memori kolektif. Justru sebaliknya, kritik adalah bentuk kepedulian agar sejarah bangsa ditulis dengan jujur, komprehensif, dan bertanggung jawab. Nasionalisme sejati bukan dibangun atas glorifikasi buta dan penyangkalan kesalahan masa lalu, melainkan atas keberanian mengakui luka sejarah dan komitmen untuk tidak mengulanginya.
Kami mengajak pembaca untuk tidak serta-merta menerima atau menolak buku ini, melainkan membacanya secara kritis ketika nanti diterbitkan. Bandingkan dengan sumber-sumber sejarah lain, dengarkan suara-suara yang mungkin tidak terakomodasi di dalamnya, dan ajukan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Sejarah terlalu penting untuk diserahkan kepada satu pihak manapun. Sejarah adalah milik kita semua, dan kita semua bertanggung jawab untuk memastikan generasi mendatang mendapatkan warisan sejarah yang jujur dan bermanfaat untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Penulis: Vincencius Vino
Editor: Setiawan Ade




