Mewartakan dengan Jiwa

Prestasi Indonesia di SEA Games 2025: Saat Pahlawan Tanpa Sorotan Tutup Aib Kegagalan PSSI

Ilustrasi Peraih Medali Emas SEA Games Thailand 2025. Disclaimer: Masih terdapat foto atlet peraih medali yang belum tercantum. Tanpa mengurangi rasa hormat, tim redaksi sangat mengapresiasi perjuangan seluruh atlet Indonesia di SEA Games. Dari berbagai sumber, disadur langsung oleh Redaksi Wartajiwa.com
Ilustrasi Peraih Medali Emas SEA Games Thailand 2025. Disclaimer: Masih terdapat foto atlet peraih medali yang belum tercantum. Tanpa mengurangi rasa hormat, tim redaksi sangat mengapresiasi perjuangan seluruh atlet Indonesia di SEA Games. Dari berbagai sumber, disadur langsung oleh Redaksi Wartajiwa.com

Wartajiwa.com, Bangkok – Kontingen Indonesia kukuh di peringkat kedua klasemen medali SEA Games 2025 dengan koleksi 68 emas, 76 perak, dan 81 perunggu per Rabu (17/12) sore. Namun di balik gemerlap prestasi itu, tersimpan ironi pahit: kegagalan timnas sepak bola U-22 yang gugur di fase grup menjadi noda hitam yang justru diimbangi oleh cabang olahraga lain yang jarang mendapat perhatian publik.

Medali-medali yang kini menghiasi podium Indonesia sebagian besar datang dari atlet-atlet di cabang olahraga yang minim sorotan media—wushu, angkat besi, pencak silat, panjat tebing, triathlon, dan menembak. Mereka adalah pahlawan sunyi yang bekerja keras tanpa gembar-gembor, tanpa bonus fantastis, dan tanpa pengakuan setara dengan sepak bola yang justru gagal total.

Kegagalan Sepak Bola: Tamparan Keras untuk PSSI

Kegagalan timnas U-22 Indonesia di SEA Games 2025 bukan sekadar kekalahan biasa. Ini adalah tamparan keras yang memperburuk citra Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang sudah lama ternoda di mata publik. Untuk pertama kali sejak 2009—atau 16 tahun yang lalu—Indonesia gagal lolos ke semifinal.

Target medali emas yang dicanangkan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali berakhir dengan kepulangan tanpa medali sama sekali. Tersingkir di fase grup setelah kalah dari Filipina dan hanya bisa mengalahkan Myanmar dengan skor 3-1—tidak cukup untuk lolos karena kalah produktivitas gol dari Malaysia.

Kritik tajam datang bertubi-tubi dari berbagai pihak. Pengamat sepak bola Binder Singh secara terbuka menagih pertanggungjawaban Zainudin Amali sebagai penanggung jawab langsung timnas U-22. Pengamat lain, Tommy Welly, bahkan menyebut semua pernyataan Amali tentang Indra Sjafri sebagai pelatih bertangan dingin dan pendekatan sains olahraga sebagai “omong kosong.”

Amali sendiri mengakui bahwa persiapan timnas U-22 SEA Games 2025 hanya berlangsung beberapa bulan—jauh berbeda dengan persiapan hampir tiga tahun yang dilakukan untuk SEA Games 2023 yang berhasil meraih emas. Ini adalah bukti nyata kurangnya perencanaan matang dari PSSI.

Yang lebih memprihatinkan, muncul unggahan Instagram dari anggota Exco PSSI Arya Sinulingga yang menyatakan: “minta maaf, urusan Timnas sepak bola putra untuk SEA Games, saya tidak mengerti (silakan tanya yang mengerti).” Pernyataan ini mengindikasikan ketidakjelasan tanggung jawab dalam tubuh PSSI—sebuah organisasi yang seharusnya solid dan terkoordinasi dengan baik.

Kegagalan ini bukan hanya tentang kalah pertandingan. Ini tentang ekspektasi publik yang dikhianati, tentang investasi sumber daya yang tidak membuahkan hasil, dan tentang sistem pembinaan yang tidak berkelanjutan. Sepak bola mendapat perhatian paling besar, anggaran paling besar, sorotan media paling masif—namun hasilnya mengecewakan.

Pahlawan Tanpa Sorotan yang Menyelamatkan Muka Bangsa

Sementara sepak bola gagal total, atlet-atlet dari cabang olahraga yang di “anak tiri” kan justru tampil gemilang. Mereka adalah tulang punggung prestasi Indonesia di SEA Games 2025, namun namanya jarang disebut di media massa, jarang mendapat apresiasi publik, dan minim dukungan sponsor.

Angkat Besi: Konsistensi yang Tak Pernah Mengecewakan

Rizki Juniansyah dan Rahmat Erwin Abdullah adalah nama-nama yang mungkin asing di telinga publik awam, namun mereka adalah pahlawan sejati. Rizki bahkan memecahkan rekor dunia sambil meraih emas, sementara Rahmat dengan tenang mempersembahkan medali emas ke-58 untuk Indonesia.

Cabang angkat besi konsisten menjadi andalan Indonesia di setiap edisi SEA Games. Para lifter ini berlatih keras dengan fasilitas yang jauh dari mewah, tanpa hingar-bingar media, namun selalu menghadirkan hasil. Mereka tidak pernah gagal memenuhi target, tidak pernah membuat alasan, dan tidak pernah menyalahkan siapa pun saat kalah.

Wushu: Juara Umum yang Minim Pengakuan

Timnas wushu Indonesia kembali meraih predikat juara umum dengan total 5 medali emas, 3 perak, dan 1 perunggu. Patricia Geraldine, Edgar Xavier Marvelo, dan trio Ahmad Ghifari Fuaiz, Ahmad Ghozali Fuaiz, serta Terrence Tjahyadi adalah nama-nama yang seharusnya dirayakan secara nasional.

Patricia bahkan merebut emas pertamanya di SEA Games dengan penampilan memukau, mengalahkan atlet Malaysia dan Singapura. Namun berapa banyak orang yang tahu namanya? Berapa banyak media yang memberitakan kisah perjuangannya?

Pencak Silat: Olahraga Asli Nusantara yang Terpinggirkan

Sebagai olahraga bela diri asli Indonesia, pencak silat seharusnya mendapat perhatian dan dukungan maksimal. Namun kenyataannya, para pesilat berjuang dengan dukungan minimal. Meski begitu, mereka tetap menyumbang medali emas dan mempertahankan dominasi Indonesia di cabang ini.

Andika Dhanireksa, Asep Yuldan Sani, dan Rano Slamet Nugraha meraih emas dari nomor beregu putra seni. Steefanny Kinky Henandhita juara di kategori putri 52kg. Mereka adalah representasi budaya bangsa yang seharusnya dibanggakan, namun justru kurang diapresiasi.

Panjat Tebing: Tercepat di Dunia, Terlupakan di Negeri Sendiri

Atlet panjat tebing Indonesia—khususnya di nomor speed—adalah yang tercepat di dunia. Mereka meraih empat medali emas di SEA Games 2025, membuktikan konsistensi prestasi level internasional. Namun siapa yang tahu nama mereka? Siapa yang mengikuti perjuangan mereka?

Triathlon, Dayung, Menembak: Emas Tanpa Gemerlap

Tim triathlon Indonesia menyapu bersih 3 medali emas dari nomor aquathlon team relay—putri, putra, dan campuran. Tim dayung menyumbang emas dari berbagai nomor. Atlet menembak seperti Dewi Laila Mubarokah, Muhamad Iqbal Raia Prabowo, dan Sulthanul Aulia Maruf juga memberikan kontribusi krusial.

Mereka semua berprestasi tanpa sorotan kamera yang berlebihan, tanpa skandal internal federasi, dan tanpa drama penunjukan pelatih. Mereka hanya fokus pada satu hal: mengharumkan nama Indonesia.

Ironi Alokasi Sumber Daya dan Perhatian Publik

Ironi terbesar dari SEA Games 2025 adalah disparitas alokasi sumber daya dan perhatian publik. Sepak bola mendominasi pemberitaan media, mendapat anggaran besar, dan menjadi pembicaraan di mana-mana—namun hasilnya mengecewakan. Sementara cabang olahraga lain yang minim dukungan justru konsisten menghadirkan prestasi.

Pemerintah menjanjikan bonus Rp1 miliar untuk setiap medali emas. Pertanyaannya: apakah bonus yang sama berlaku untuk semua cabang olahraga? Atau ada perbedaan perlakuan? Dan lebih penting lagi, mengapa alokasi sumber daya sebelum kompetisi tidak proporsional dengan potensi prestasi?

PSSI sebagai federasi sepak bola memiliki anggaran dan fasilitas yang jauh lebih besar dibanding federasi olahraga lain. Namun tata kelola yang buruk, perencanaan tidak matang, dan sistem pembinaan yang tidak berkelanjutan membuat semua sumber daya itu sia-sia.

Bandingkan dengan Pengurus Besar Angkat Besi Indonesia atau Pengurus Besar Wushu Indonesia yang dengan sumber daya terbatas mampu menghasilkan atlet-atlet kelas dunia. Mereka tidak punya drama internal, tidak punya konflik kepentingan, dan fokus pada satu tujuan: pembinaan atlet.

Target 80 Emas: Realistis atau Ambisius?

Indonesia menargetkan 80 medali emas di SEA Games 2025 dengan target finis di tiga besar klasemen. Dengan 68 emas per 17 Desember, target ini masih mungkin tercapai mengingat masih ada beberapa hari pertandingan tersisa.

Menpora Erick Thohir menyatakan optimisme bahwa Indonesia bisa mempertahankan posisi kedua—mengulang capaian tahun 1995. Namun pertanyaannya bukan hanya tentang jumlah medali, melainkan bagaimana prestasi itu dicapai dan apakah sistem pembinaan sudah berkelanjutan.

Atletik menjadi penyumbang emas terbanyak dengan 8 medali emas, diikuti wushu (5 emas), sport climbing (4 emas), judo (4 emas), dan menembak (4 emas). Bulu tangkis, yang selalu diandalkan, menyumbang 3 emas dari nomor beregu dan tunggal putra lewat All Indonesian Final antara Alwi Farhan dan Muhammad Zaki Ubaidillah.

Namun kehilangan emas dari sepak bola—yang seharusnya menjadi primadona—adalah pukulan telak secara psikologis. Karena sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia, kegagalan di sini dirasakan lebih menyakitkan dibanding kegagalan di cabang olahraga manapun.

Pesan untuk Publik Indonesia

Artikel ini bukan bermaksud merendahkan sepak bola atau meninggikan cabang olahraga lain. Sepak bola tetap penting dan memiliki tempat spesial di hati rakyat Indonesia. Namun kegagalan di SEA Games 2025 harus menjadi momen refleksi: bahwa prestasi tidak datang dari popularitas atau anggaran besar semata, melainkan dari kerja keras, perencanaan matang, dan sistem yang berkelanjutan.

Publik Indonesia juga perlu memberikan perhatian yang sama kepada semua cabang olahraga. Ketika Patricia Geraldine meraih emas, seharusnya namanya sebesar nama pemain sepak bola. Ketika Rizki Juniansyah memecahkan rekor dunia, seharusnya ia mendapat sorotan media yang sama dengan atlet sepak bola.

Kebanggaan terhadap prestasi olahraga tidak boleh selektif. Semua atlet yang berjuang untuk Indonesia layak mendapat dukungan dan apresiasi—bukan hanya yang populer atau yang berasal dari cabang olahraga favorit.

Harapan untuk Masa Depan

Indonesia masih punya beberapa hari untuk menambah pundi-pundi medali di SEA Games 2025. Namun yang lebih penting adalah apa yang terjadi setelah SEA Games berakhir: evaluasi menyeluruh, perbaikan sistem pembinaan, dan komitmen untuk membangun olahraga Indonesia yang lebih baik.

PSSI harus berbenah total. Evaluasi tidak cukup hanya di atas kertas—harus ada perubahan konkret dalam tata kelola, sistem pembinaan berjenjang, dan perencanaan jangka panjang. Kegagalan di SEA Games 2025 tidak boleh terulang lagi.

Federasi olahraga lain yang sudah berprestasi dengan baik harus mendapat dukungan lebih besar. Mereka telah membuktikan bahwa dengan sumber daya terbatas pun prestasi bisa diraih. Bayangkan apa yang bisa mereka capai jika mendapat dukungan maksimal.

Publik Indonesia juga harus lebih terbuka dalam memberikan apresiasi kepada semua cabang olahraga. Jangan hanya fokus pada sepak bola—ada banyak atlet hebat di cabang olahraga lain yang berjuang keras untuk mengharumkan nama Indonesia.

Dan yang terpenting: prestasi olahraga adalah cermin dari karakter bangsa. Konsistensi atlet angkat besi, dedikasi pesilat, kecepatan pemanjat tebing—semua itu menunjukkan bahwa Indonesia punya potensi besar. Yang dibutuhkan hanya sistem yang baik, dukungan yang memadai, dan komitmen jangka panjang.

SEA Games 2025 belum berakhir. Indonesia masih punya kesempatan menambah medali dan mempertahankan posisi kedua. Namun apapun hasil akhirnya, yang terpenting adalah pembelajaran: bahwa pahlawan sejati tidak selalu datang dari tempat yang paling terang—mereka sering kali bekerja dalam sunyi, tanpa sorotan, namun dengan dedikasi yang tak tergoyahkan.


CATATAN REDAKSI:

Prestasi Indonesia di SEA Games 2025 adalah kisah tentang ironi: kegagalan cabang olahraga paling populer ditutup oleh kesuksesan cabang olahraga yang jarang mendapat perhatian. Wartajiwa.com ingin menyoroti disparitas ini bukan untuk memecah belah, melainkan untuk mendorong introspeksi dan perbaikan.

Kegagalan timnas sepak bola U-22 yang gugur di fase grup adalah tamparan keras yang memperburuk citra PSSI yang sudah lama bermasalah. Target medali emas yang dicanangkan dengan penuh percaya diri berakhir dengan kepulangan tanpa medali. Persiapan yang tidak matang, konflik internal, dan ketidakjelasan tanggung jawab menjadi akar masalah yang harus segera diperbaiki.

Di sisi lain, atlet-atlet dari wushu, angkat besi, pencak silat, panjat tebing, triathlon, menembak, dan cabang olahraga lain tampil gemilang dengan dukungan minim. Mereka adalah pahlawan sunyi yang menyelamatkan muka bangsa—namun jarang mendapat apresiasi setara dengan atlet sepak bola.

Kami mengajak pembaca untuk memberikan apresiasi yang sama kepada semua atlet Indonesia, terlepas dari cabang olahraganya. Patricia Geraldine, Rizki Juniansyah, Rahmat Erwin Abdullah, dan ratusan atlet lain layak mendapat pengakuan, dukungan, dan penghargaan yang sama dengan atlet dari cabang olahraga populer.

Prestasi olahraga adalah investasi jangka panjang. Tidak ada yang instan, tidak ada yang bisa dibeli dengan uang semata. Yang dibutuhkan adalah sistem pembinaan berkelanjutan, tata kelola yang baik, dan komitmen dari semua pihak—pemerintah, federasi, dan masyarakat.

Akhirnya, kami mengajak semua pihak untuk merayakan keberhasilan atlet-atlet Indonesia di SEA Games 2025 dengan bangga—namun juga belajar dari kegagalan yang terjadi. Karena prestasi sejati bukan hanya tentang berapa banyak medali yang diraih, melainkan tentang bagaimana kita membangun sistem yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Penulis: Vincencius Vino
Editor:
Atma Guritno

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *