Wartajiwa.com, Jakarta – Niat tulus diaspora Indonesia di luar negeri membantu korban banjir dan longsor Sumatera justru berujung polemik. Bantuan kemanusiaan yang dikirim terancam dikenakan pajak dan tertahan di Bea Cukai karena belum memenuhi persyaratan administratif sebagai bantuan bebas bea—sebuah ironi di tengah urgensi kemanusiaan yang memakan hampir 1.000 nyawa.
Keluhan ini mencuat dari diaspora Indonesia di Singapura yang mengaku pengiriman bantuan mereka—mulai dari pakaian layak pakai, selimut, obat-obatan, hingga perlengkapan bayi—diperlakukan sebagai barang impor biasa ketika tiba di Indonesia. Tanpa status bencana nasional, barang-barang tersebut tidak otomatis mendapatkan pembebasan bea masuk dan pajak.
Akar Masalah: Absennya Status Bencana Nasional Mempersulit Pembebasan Bea Cukai
Persoalan fundamental terletak pada keputusan pemerintah yang belum menetapkan banjir dan longsor Sumatera sebagai bencana nasional. Hingga pertengahan Desember 2025, meski korban tewas mencapai 990 jiwa dengan 222 orang masih hilang, pemerintah tetap menetapkannya sebagai bencana daerah tingkat provinsi.
Tanpa deklarasi resmi bencana nasional, pembebasan bea masuk dan pajak tidak berlaku secara otomatis. Regulasi yang berlaku hanya memberikan pembebasan jika bantuan dikirim melalui lembaga resmi yang diakui negara atau melalui mekanisme permohonan khusus—prosedur yang memakan waktu di tengah situasi darurat.
Kedutaan Besar RI di Singapura menyarankan diaspora menyalurkan bantuan melalui lembaga seperti Palang Merah Indonesia. Namun sebagian diaspora menilai prosedur tersebut tidak sepenuhnya responsif terhadap kondisi darurat di lapangan, karena proses pengiriman melalui lembaga resmi tidak selalu cepat.
Sikap Pemerintah yang Terkesan Arogan di Tengah Krisis Kemanusiaan
Keputusan pemerintah ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah pemerintah secara tidak langsung menolak bantuan dari luar negeri? Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke Tapanuli Tengah pada 1 Desember 2025 menyatakan bahwa status darurat bencana daerah “sudah cukup”—pernyataan yang dinilai banyak pihak tidak proporsional dengan skala bencana.
Menko PMK Pratikno membela keputusan ini dengan argumen bahwa penanganan sudah menggunakan “kekuatan nasional” meski tanpa status bencana nasional. Namun realitas di lapangan bercerita lain: ratusan ribu pengungsi, ribuan desa terisolasi, krisis air bersih, listrik padam, dan distribusi bantuan yang lamban.
Lebih dari 21 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Posko Nasional untuk Sumatera menilai penanganan pemerintah pusat berjalan lamban dan tidak sebanding dengan skala bencana. Desakan agar pemerintah menetapkan status bencana nasional terus menguat, bahkan seorang advokat telah menggugat pemerintah ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Sikap pemerintah yang enggan menetapkan status bencana nasional—dengan alasan hanya tsunami Aceh 2004 dan Covid-19 yang pernah ditetapkan demikian—terkesan mengabaikan definisi bencana nasional dalam UU No. 24 Tahun 2007 yang mencakup indikator jumlah korban, kerusakan infrastruktur, dan cakupan wilayah terdampak. Semua indikator tersebut telah terpenuhi oleh bencana Sumatera.
Kritik Etik: Pencitraan dan Potensi Korupsi di Tengah Penderitaan Rakyat
Sementara bantuan dari luar negeri terhambat birokrasi, kritik tajam juga tertuju pada sejumlah pejabat yang dinilai menjadikan bencana sebagai panggung pencitraan. Akademisi Rocky Gerung dalam diskusi publik menyindir, “Di mana ada kamera, di situ enggak ada empati. Itu artinya mau pamer.”
Aksi pembagian bantuan dari helikopter oleh Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menuai kontroversi ketika video menunjukkan bantuan dilemparkan dari udara—cara yang dinilai tidak efektif dan merendahkan martabat penerima. Anggota DPR Verrell Bramasta juga dikritik karena mengenakan rompi khusus yang terkesan “seragam resmi penanggulangan bencana” saat berkunjung ke lokasi.
Berbagai aksi pejabat yang datang dengan karung beras hanya untuk difoto, atau berpose di lokasi bencana dengan kamera mengikuti di belakang, memunculkan kemarahan publik. Yang dibutuhkan warga terdampak adalah distribusi bantuan yang cepat dan merata, bukan drama politik.
Presiden Prabowo sendiri harus mengingatkan seluruh pejabat dalam Rapat Terbatas pada 7 Desember: “Saya tidak mau ada pihak-pihak yang menggunakan bencana ini untuk memperkaya diri. Saya akan sangat keras. Jangan ada yang mencari keuntungan di tengah penderitaan rakyat.”
Peringatan ini mengindikasikan kekhawatiran nyata akan potensi penyelewengan bantuan. KPK pun turun tangan menegaskan akan memantau penggunaan anggaran dan donasi untuk mengantisipasi penyimpangan, meminta semua pihak saling memonitor agar bantuan tepat sasaran.
Distribusi Bantuan: Cepat atau Hanya di Atas Kertas?
Pemerintah mengklaim telah menggelontorkan bantuan senilai Rp 66,7 miliar melalui Kementerian Sosial per 7 Desember, termasuk 39 dapur umum yang memproduksi lebih dari 400.000 bungkus makanan per hari. Angka-angka di atas kertas terlihat mengesankan.
Namun laporan dari lapangan mengungkap realitas berbeda. Posko Nasional untuk Sumatera melaporkan pengungsian yang tidak layak, layanan medis minim, sanitasi memburuk, harga bahan pokok melonjak, dan listrik tidak stabil. Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, bantuan baru dapat dijangkau pada 7 Desember—10 hari setelah bencana—setelah koordinasi intensif terkait “isu keamanan bandara.”
Warga di berbagai lokasi bahkan membangun hunian sementara secara swadaya karena minimnya respons pemerintah. Seorang pengungsi di Surin, Thidarat Homhual, mengungkapkan keprihatinannya yang sederhana namun menyentuh: “Kami bisa hidup seperti ini. Tidak apa-apa. Tapi saya ingin ini berakhir. Saya merindukan hewan peliharaan saya.”
Koordinasi logistik yang buruk menyebabkan bantuan menumpuk di bandara dan pelabuhan, sementara desa-desa terisolasi kesulitan mendapat akses. Bukan kurangnya barang yang menjadi masalah, tetapi sistem distribusi yang tidak efisien.
Solidaritas Rakyat Mengalahkan Pemerintah Yang Sibuk Pencitraan
Di tengah lambannya respons pemerintah, solidaritas “rakyat bantu rakyat” justru menjadi penyelamat tercepat. Mahasiswa, relawan, komunitas ibu-ibu, hingga diaspora di luar negeri menggalang donasi—bahkan dari nominal Rp5.000—yang terkumpul menjadi miliaran rupiah dalam waktu singkat.
Artis dan influencer dengan jutaan pengikut mampu menggerakkan donasi besar dalam hitungan jam. Namun alih-alih difasilitasi, mereka justru diminta mengurus izin terlebih dahulu—sebuah kebijakan yang kembali memunculkan pertanyaan tentang prioritas pemerintah: prosedur atau kemanusiaan?
Ironinya, sementara pemerintah sibuk dengan jargon nasionalisme dan “harga diri bangsa” yang menolak menetapkan status bencana nasional, rakyat sipil yang tidak punya kewenangan formal justru bergerak lebih cepat dan efektif.
Pertanyaan yang Harus Dijawab
Polemik pajak bantuan luar negeri ini mengekspos beberapa masalah mendasar dalam sistem penanggulangan bencana Indonesia:
Pertama, regulasi yang kaku dan tidak adaptif terhadap situasi darurat. Sistem yang dirancang untuk mencegah penyelundupan malah menghambat arus bantuan kemanusiaan. Kedua, resistensi pemerintah menetapkan status bencana nasional meski indikator UU telah terpenuhi—keputusan yang terkesan politis ketimbang kemanusiaan. Ketiga, kecenderungan pejabat menggunakan bencana sebagai ajang pencitraan alih-alih fokus pada penyelamatan dan pemulihan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah peringatan Presiden sendiri tentang potensi korupsi dan penyelewengan bantuan—mengindikasikan bahwa pemerintah menyadari ada celah dalam sistem yang bisa dieksploitasi oknum tidak bertanggung jawab.
Mendesak: Reformasi Sistem Tanggap Darurat dan Prosedur Fast-Track Bantuan
Bencana Sumatera 2025 harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh sistem penanggulangan bencana nasional. Beberapa langkah mendesak yang perlu diambil:
Pemerintah harus segera menetapkan mekanisme khusus pembebasan bea dan pajak untuk bantuan kemanusiaan dalam situasi darurat—tanpa menunggu status bencana nasional yang proses penetapannya birokratis. Perlu ada prosedur fast-track yang tetap akuntabel namun tidak menghambat arus bantuan.
Status bencana nasional harus ditetapkan berdasarkan indikator objektif sesuai UU, bukan pertimbangan politik atau “harga diri bangsa.” Ketika hampir 1.000 nyawa melayang dan ratusan ribu mengungsi, tidak ada yang lebih penting dari penyelamatan dan pemulihan.
Distribusi bantuan harus diprofesionalkan dengan sistem logistik terintegrasi, bukan diserahkan pada improvisasi pejabat yang mencari publisitas. Transparansi penuh atas penggunaan dana bantuan juga mutlak diperlukan untuk mencegah penyelewengan.
Terakhir, pejabat negara harus memahami bahwa di tengah bencana, rakyat tidak membutuhkan panggung politik. Mereka membutuhkan air bersih, makanan, tempat berlindung, dan kepastian bahwa negara hadir untuk melindungi mereka—bukan untuk berfoto.
CATATAN REDAKSI:
Artikel ini mengungkap dilema tragis: bantuan kemanusiaan dari luar negeri untuk korban bencana terancam pajak karena absennya status bencana nasional, sementara pemerintah bersikukuh bahwa penanganan “sudah cukup.” Hampir 1.000 nyawa melayang, ratusan ribu mengungsi, namun birokrasi tetap lebih diutamakan daripada kemanusiaan.
Wartajiwa.com menekankan: dalam situasi darurat kemanusiaan, kepentingan rakyat harus menjadi satu-satunya kompas kebijakan. Bukan harga diri politik, bukan pencitraan pejabat, bukan prosedur birokratis yang kaku. Status bencana nasional bukan sekadar label administratif—ia adalah pintu masuk bagi mobilisasi sumber daya maksimal, termasuk memfasilitasi bantuan dari luar negeri yang kini tertahan di Bea Cukai.
Kritik terhadap pejabat yang menjadikan bencana sebagai panggung pencitraan juga harus menjadi pembelajaran. Rakyat cukup cerdas membedakan empati sejati dari drama politik. Peringatan Presiden tentang potensi korupsi bantuan menunjukkan bahwa sistem kita masih rapuh—bahkan di tengah tragedi kemanusiaan, ada oknum yang siap mengeksploitasi penderitaan untuk keuntungan pribadi.
Kami mengajak pembaca untuk terus mengawasi: bagaimana bantuan didistribusikan, apakah benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan, dan apakah pemerintah akhirnya menempatkan kepentingan rakyat di atas pertimbangan politik. Solidaritas masyarakat sipil yang mengalahkan kecepatan respons negara adalah bukti bahwa kemanusiaan masih hidup di tengah kita—pertanyaannya, kapan negara akan menyusul?
Penulis : Vincencius Vino
Editor : Atma Guritno








