Wartajiwa.com, Bangkok – Situasi perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas dengan pertempuran sengit yang meletus sejak Minggu (8/12/2025) malam. Bentrokan militer ini menewaskan sedikitnya 13 orang dan memaksa ratusan ribu warga sipil mengungsi, menghancurkan gencatan senjata yang baru berusia dua bulan.
Dalam perkembangan terkini, Komite Olimpiade Nasional Kamboja mengumumkan penarikan seluruh delegasi atletnya dari SEA Games ke-33 yang tengah berlangsung di Thailand. Keputusan dramatis ini diambil hanya beberapa jam setelah 30 atlet Kamboja mengikuti upacara pembukaan di Stadion Rajamangala, Bangkok, pada Selasa (9/12) malam.
Eskalasi Tak Terduga: Thailand Kerahkan F-16, Kamboja Luncurkan Roket BM-21
Pertempuran perbatasan dimulai dengan serangan artileri dan roket yang saling dilancarkan kedua negara. Thailand mengerahkan jet tempur F-16 untuk melancarkan serangan udara terhadap posisi militer Kamboja—pengerahan kekuatan udara pertama Thailand dalam pertempuran sejak konflik perbatasan Thailand-Laos. Kamboja merespons dengan peluncur roket BM-21 yang mampu menembakkan 40 roket sekaligus.
Kementerian Pertahanan Kamboja melaporkan sembilan warga sipil tewas dan 20 lainnya luka-luka sejak Senin. Sementara itu, militer Thailand menyebutkan empat tentaranya gugur dan 68 lainnya terluka dalam pertempuran yang melibatkan artileri berat dan munisi cluster di sepanjang 12 titik perbatasan.
Lebih dari 400.000 warga Thailand dan 55.000 warga Kamboja terpaksa mengungsi dari zona pertempuran. Ribuan warga Thailand kini bertahan di hampir 500 shelter darurat yang didirikan di empat provinsi perbatasan, sementara sekolah-sekolah ditutup dan aktivitas perdagangan lintas batas senilai miliaran dolar terhenti.
Penarikan Dramatis dari SEA Games 2025: Simbol Kegagalan Diplomasi Regional
Keputusan Kamboja menarik atletnya dari SEA Games menjadi simbol betapa seriusnya eskalasi konflik ini. Vath Chamroeun, Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Nasional Kamboja, menjelaskan bahwa keluarga para atlet meminta anak-anak mereka segera pulang karena khawatir akan gangguan perjalanan jika konflik terus meningkat.
“Atas nama Komite Olimpiade Nasional Kamboja, dengan penuh penyesalan kami informasikan bahwa karena kekhawatiran serius dan permintaan dari keluarga atlet kami untuk segera membawa kerabat mereka pulang, NOCC harus menarik seluruh delegasi kami dan mengatur kepulangan mereka demi alasan keamanan,” demikian bunyi surat resmi penarikan yang diterbitkan Rabu (10/12) dini hari.
Sebelumnya, Kamboja telah mengurangi partisipasinya dari 21 cabang menjadi hanya 13 cabang olahraga dengan 137 atlet dan staf. Namun eskalasi konflik memaksa mereka menarik diri sepenuhnya, meninggalkan SEA Games 2025 dengan satu negara peserta yang hilang—sebuah preseden langka dalam sejarah kompetisi regional Asia Tenggara.
Penarikan Dramatis dari SEA Games 2025: Simbol Kegagalan Diplomasi Regional
Sengketa perbatasan Thailand-Kamboja bukanlah hal baru. Konflik ini berakar pada rivalitas budaya berabad-abad antara Kerajaan Khmer dan Kerajaan Siam, diperumit oleh peta peninggalan kolonial Prancis yang tidak sepenuhnya diterima Thailand.
Mahkamah Internasional pada 1962 memutuskan bahwa Candi Preah Vihear adalah milik Kamboja, namun status tanah di sekitarnya tetap ambigu—celah hukum yang terus memicu ketegangan hingga kini. Selain Preah Vihear, kuil-kuil kuno lain seperti Ta Muen Thom dan Ta Krabey juga menjadi zona sengketa.
Pertempuran Juli 2025 lalu—yang berlangsung lima hari dan menewaskan setidaknya 48 orang—adalah yang terparah dalam lebih dari satu dekade. Gencatan senjata yang ditengahi Malaysia dan didorong oleh Presiden AS Donald Trump pada Oktober 2025 rupanya hanya menjadi jeda singkat sebelum konflik kembali meletus.
Politik Domestik dan Animositas Elit: Pengkhianatan Thaksin dan Manuver Hun Sen
Dimensi politik domestik memperburuk konflik. PM Thailand Paetongtarn Shinawatra diberhentikan sementara setelah bocornya rekaman teleponnya dengan pemimpin Kamboja Hun Sen pada Juni, di mana ia menyebut militer Thailand sebagai “pihak lawan” dan memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman”—sesuatu yang dinilai kritikus sebagai melemahkan persatuan nasional.
Kebocoran ini memicu protes dan penarikan dukungan dari Partai Bhumjaithai, yang akhirnya mengarah pada pemberhentiannya oleh Mahkamah Konstitusi. Hun Sen kemudian mengakui bahwa ia merekam percakapan tersebut dan membagikannya kepada 80 pejabat Kamboja, yang menyebabkan kebocoran—langkah yang dipandang banyak pengamat sebagai manuver politik yang memperkeruh situasi.
Thaksin Shinawatra, tokoh politik berpengaruh Thailand, menambah ketegangan dengan memposting di media sosial bahwa militer Thailand perlu “mengajari Hun Sen pelajaran atas kelicikannya.” Hun Sen membalas dengan menuduh Thaksin berkhianat dan menyulut perang, menunjukkan bagaimana animositas personal di antara elit politik memperburuk volatilitas konflik.
Diplomasi Gagal Thailan Menolak Adanya Pihak Ketiga
Thailand menolak tawaran mediasi pihak ketiga dari AS, China, dan Malaysia, memilih negosiasi bilateral. Namun pendekatan ini terbukti tidak efektif ketika kedua belah pihak terus saling tuding sebagai pemicu kekerasan.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mendesak kedua pihak memenuhi komitmen dalam Perjanjian Perdamaian Kuala Lumpur Oktober 2025, termasuk menarik senjata berat dari perbatasan dan mengkoordinasikan pembersihan ranjau darat. Namun seruan ini belum membuahkan hasil nyata.
Presiden Trump mengklaim akan “menelepon” untuk menghentikan konflik, sebagaimana yang dilakukannya pada Juli lalu dengan mengancam mencabut hak perdagangan kedua negara. Namun efektivitas pendekatan transaksional semacam ini kini dipertanyakan ketika gencatan senjata sebelumnya ternyata rapuh dan mudah runtuh.
Pertanyaan Mendesak untuk ASEAN: Relevansi Prinsip Non-Interferensi
Konflik ini mengekspos kelemahan fundamental sistem pencegahan konflik ASEAN. Meskipun kedua negara adalah anggota ASEAN, organisasi regional ini tampak tidak berdaya menghentikan pertumpahan darah di antara anggotanya sendiri.
Pendekatan konsensus dan non-interferensi ASEAN—yang selama ini menjadi prinsip dasar—terbukti memiliki keterbatasan serius dalam menghadapi konflik bersenjata aktif. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat atau penegakan hukum, kesepakatan damai sangat bergantung pada kehendak politik domestik yang mudah berubah.
Lebih dari 1.200 sekolah ditutup, perdagangan senilai $5 miliar terhenti, dan ratusan ribu nyawa terganggu—semuanya di tengah kawasan yang mengklaim diri sebagai komunitas terintegrasi. Pertanyaan mendesak adalah: sejauh mana ASEAN masih relevan jika tidak mampu mencegah perang di antara anggotanya?
Korban Ratusan Ribu Rakyat Sipil yang Terpaksa Mengungsi
Di balik statistik dan retorika politik, rakyat sipil di kedua sisi perbatasan yang paling menderita. Thidarat Homhual, petani berusia 37 tahun yang mengungsi ke shelter di Surin, mengungkapkan kekhawatirannya tentang sapi, bebek, empat anjing, dan sembilan kucing yang ditinggalkan.
“Kami bisa hidup seperti ini. Tidak apa-apa,” katanya. “Tapi saya ingin ini berakhir. Saya merindukan hewan peliharaan saya. Saya sangat merindukan semua hewan di rumah.”
Kisah semacam ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap angka pengungsi, ada kehidupan nyata yang terganggu, mimpi yang tertunda, dan masa depan yang tidak pasti.
Jalan Keluar yang Tidak Mudah
Konflik ini tidak memiliki solusi mudah. Diperlukan lebih dari sekadar gencatan senjata jangka pendek—yang terbukti rapuh—melainkan penyelesaian menyeluruh yang mengatasi akar masalah: status wilayah perbatasan yang belum terselesaikan, kepentingan politik domestik yang eksploitatif, dan ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif.
PM Thailand Anutin Charnvirakul telah mengusulkan referendum untuk mencabut perjanjian perbatasan yang ada, namun para ahli memperingatkan bahwa pencabutan tanpa pengganti yang jelas justru bisa menciptakan kekosongan hukum yang lebih berbahaya.
Yang pasti, semakin lama konflik ini berlangsung, semakin banyak nyawa yang terancam dan semakin dalam luka yang tercipta di antara dua bangsa tetangga yang sebenarnya memiliki banyak kesamaan budaya dan sejarah.
CATATAN REDAKSI:
Konflik Thailand-Kamboja adalah pengingat tragis bahwa di era modern sekalipun, sengketa teritorial lama masih bisa berubah menjadi pertumpahan darah. Wartajiwa.com menekankan pentingnya penyelesaian damai dan menghormati hukum internasional dalam setiap sengketa perbatasan.
Penarikan atlet Kamboja dari SEA Games—pesta olahraga yang seharusnya menjadi simbol persatuan Asia Tenggara—adalah simbol pahit dari kegagalan diplomasi regional. ASEAN harus melakukan introspeksi mendalam: apa gunanya integrasi regional jika tidak mampu mencegah perang di antara anggotanya sendiri?
Kami mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam narasi nasionalisme sempit yang sering dieksploitasi politisi untuk kepentingan jangka pendek. Yang terpenting adalah keselamatan rakyat sipil di kedua sisi perbatasan yang kini hidup dalam ketakutan. Perdamaian sejati hanya bisa dicapai melalui dialog jujur, kompromi yang adil, dan komitmen bersama untuk menghormati kedaulatan masing-masing.
Penulis: Vincencius Vino
Editor: Atma Guritno






