Mewartakan dengan Jiwa

Rp 10,3 Miliar dalam 24 Jam: Solidaritas Rakyat Tanpa Label Pencitraan

Malaka Project menyerahkan bantuan di Aceh Tamiang
Ilustrasi Wartajiwa

Surabaya, Wartajiwa.com – Di tengah tragedi bencana banjir bandang yang melanda Sumatera, muncul sebuah gerakan solidaritas yang menarik perhatian publik bukan karena gemerlap nama besar, melainkan karena kesederhanaan labelnya: “Bantuan Rakyat Indonesia.” Penggalangan dana yang diinisiasi oleh Ferry Irwandi dan Malaka Project berhasil mengumpulkan lebih dari Rp 10,3 miliar dalam waktu 24 jam—angka yang mencatatkan rekor sebagai penggalangan dana terbesar untuk bencana nasional di platform KitaBisa.

Namun, yang lebih menarik bukan hanya nominal fantastis tersebut, melainkan pilihan Ferry untuk tidak melabeli bantuan dengan nama pribadinya. Di tengah era politik identitas dan pencitraan yang kian masif, pilihan ini menjadi tamparan halus bagi praktik bantuan bencana yang kerap dijadikan panggung aktualisasi diri para pejabat dan politikus.

Kondisi di Aceh Tamiang: Warga Minum Air Banjir, Bantuan Pemerintah Minim

Ferry Irwandi, konten kreator sekaligus pendiri Malaka Project, memulai penggalangan dana pada 1 Desember 2025, merespons banjir bandang yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam keterangan di platform KitaBisa, Ferry menulis dengan sederhana: “Curah hujan ekstrem yang terjadi selama beberapa hari berturut-turut telah memicu banjir bandang dan tanah longsor di berbagai wilayah.”

Tanpa embel-embel nama besar, tanpa rompi berlabel identitas partai, Ferry dan timnya terjun langsung ke lokasi bencana. Bantuan seberat 2,6 ton yang mencakup makanan bergizi siap saji, perlengkapan bayi, kebutuhan ibu, dan sarana kebersihan diprioritaskan untuk daerah pedesaan yang masih minim bantuan—bukan untuk zona foto dengan infrastruktur memadai.

“Hari ini di Aceh Tamiang itu sudah masuk juga satu dua truk, cuma kita berusaha untuk daerah hilir seperti pedesaannya. Untuk daerah kota, informasi yang kita dapat bantuan sudah cukup banyak masuk, sehingga kita upayakan yang pedesaan,” ujar Ferry kepada wartawan di Bandara Kualanamu.

Di Aceh Tamiang, Ferry menyaksikan langsung kondisi mengenaskan warga yang belum menerima bantuan apapun dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. “Keadaannya mengerikan! Susah banget makan. Orang-orang nggak makan berhari-hari,” ungkap Ferry. Warga terpaksa minum air banjir yang diberi bubuk teh agar tidak terlalu bau.

Ironi di Lapangan: Zulkifli Hasan dan Rompi Taktis Verrell Bramasta

Kontras dengan kesederhanaan Ferry Irwandi, publik menyaksikan fenomena lain di lapangan. Sejumlah pejabat dan politikus hadir dengan atribut lengkap: rompi berlabel nama, karung beras di pundak yang terlalu berat untuk sekadar dokumentasi, hingga helikopter yang menjatuhkan bantuan dari udara—alih-alih mengirimkannya dengan metode yang lebih aman dan terukur.

Zulkifli Hasan, Menteri Koordinator Bidang Pangan, menjadi sorotan ketika foto dirinya menggendong karung beras viral di media sosial. Bukannya empati, yang muncul justru gelombang kritik dan meme. Program sitkom Lapor Pak! bahkan membuat parodi atas fenomena ini, dengan Andhika Pratama mengenakan rompi berlabel “ANDHIKA” dan “DPR (Dika Polisi Rakyat)”, sementara Wendi Cagur memerankan adegan menggendong karung yang enggan dibantu orang lain—sebuah sindiran telak terhadap kecenderungan pejabat mengutamakan pose ketimbang substansi.

Kritik serupa juga mengarah pada Verrell Bramasta yang mengenakan rompi taktis saat meninjau lokasi bencana di Sumatera Barat. Netizen menilai pemilihan kostum tersebut tidak kontekstual. “Itu wajar. Cuman, kan, itu lagi bencana, bukan lagi perang gitu,” celetuk Hesti Purwadinata dalam parodi tersebut.

Puan Maharani, Ketua DPR, pun angkat bicara terkait kontroversi bantuan yang dijatuhkan dari helikopter hingga rusak. Ia meminta evaluasi metode distribusi bantuan dan mengingatkan pejabat agar lebih berempati. “Lebih baik kita bisa berempati daripada memberikan komentar yang tidak seharusnya. Karena memang situasinya musibah di mana-mana,” ujar Puan.

Politik Identitas dalam Karung Beras: Kritik Publik Semakin Tajam

Praktik melabeli bantuan bencana dengan nama pribadi atau partai politik bukanlah hal baru di Indonesia. Selama bertahun-tahun, korban bencana kerap menerima bantuan yang dibungkus dengan identitas politik tertentu. Karung beras bertuliskan nama calon legislatif, spanduk bantuan bergambar wajah pejabat, hingga kunjungan lapangan yang lebih mirip kampanye ketimbang misi kemanusiaan.

Fenomena ini bukan tanpa konsekuensi. Publik, terutama generasi muda yang melek media sosial, kini memiliki literasi politik yang lebih tajam. Mereka mampu membedakan antara bantuan tulus dan bantuan yang sarat muatan pencitraan. Ketika Ferry Irwandi memilih label “Bantuan Rakyat Indonesia,” ia secara tidak langsung menegaskan bahwa solidaritas kemanusiaan tidak membutuhkan embel-embel identitas politik.

Pengamat sosial menyebut, praktik melabeli bantuan dengan nama pribadi mencerminkan mentalitas “pemberian” yang hierarkis, bukan solidaritas yang setara. Bantuan dilihat sebagai kemurahan hati individu atau kelompok tertentu, bukan sebagai kewajiban kolektif sebagai sesama warga negara.

“Ada jarak yang semakin lebar antara ‘tugas pejabat’ dan ‘gestur publik’. Pejabat datang untuk meninjau, tapi cara mereka meninjau kerap lebih menonjol daripada hasil dari kunjungan itu sendiri,” tulis salah satu media dalam analisisnya.

Di Tengah Solidaritas Rakyat, Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Kerugian 836 Nyawa?

Di tengah solidaritas rakyat yang mengalir deras, pertanyaan kritis juga perlu diajukan: Di mana peran negara? Menurut data BNPB per 4 Desember 2025, korban meninggal akibat banjir dan longsor di Sumatera telah mencapai 836 jiwa, dengan 518 orang hilang, 2.700 orang luka-luka, dan sekitar 576.300 orang mengungsi. Total rumah rusak mencapai 10.500 unit, belum lagi ratusan fasilitas umum, pendidikan, dan kesehatan yang hancur.

Sejumlah pihak menunjuk jari kepada menteri-menteri yang berwenang dalam kebijakan tata kelola lingkungan. Nama-nama seperti Raja Juli Antoni (Menteri Kehutanan), Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM), dan Hanif Faisol Nurofiq (Menteri Lingkungan Hidup) disebut harus bertanggung jawab atas keputusan strategis yang berkaitan dengan kondisi ekosistem Sumatera.

Greenpeace Indonesia dan berbagai kelompok pemerhati lingkungan telah lama memperingatkan dampak eksploitasi hutan dan tambang yang tidak terkendali. Kini, ketika bencana datang, yang terlihat bukanlah peta jalan pemulihan ekologis jangka panjang, melainkan sekadar konferensi pers dan janji-janji tanpa tindak lanjut konkret.

Solidaritas Rakyat yang Sesungguhnya

Ferry Irwandi dan puluhan ribu donatur yang ikut berkontribusi dalam kampanye “Solidaritas Bantu Korban di Sumatera” membuktikan bahwa rakyat Indonesia masih memiliki empati kolektif yang kuat. Tanpa iming-iming popularitas, tanpa embel-embel jabatan, mereka bergerak cepat dan efektif.

Polri melalui Direktorat Kepolisian Udara membantu pengiriman bantuan melalui jalur udara, sementara berbagai relawan turun langsung ke lokasi terpencil yang sulit dijangkau. Malaka Project pun terus memberikan update transparansi penggunaan dana kepada publik—sebuah praktik yang seharusnya menjadi standar dalam setiap bentuk bantuan kemanusiaan.

“Dari Rakyat untuk Rakyat, dari Warga untuk Warga, dari nakama kepada nakama. IKUZO TEMERA! Kita Berangkat!” tulis Ferry dalam unggahan Instagramnya. Tidak ada label partai, tidak ada nama besar di karung beras, hanya solidaritas murni antar sesama warga negara.

Menutup dengan Catatan Penting

Bencana di Sumatera adalah pengingat bahwa Indonesia masih rapuh dalam manajemen risiko bencana. Namun, bencana ini juga membuka mata kita pada dua sisi: solidaritas rakyat yang luar biasa, dan praktik politik pencitraan yang perlu dievaluasi ulang.

Ketika rakyat bergerak dengan cepat dan tulus, sudah seharusnya para pemangku kebijakan belajar dari mereka. Bantuan kemanusiaan bukan panggung untuk aktualisasi diri. Ia adalah tanggung jawab moral yang harus dijalankan dengan integritas, efektivitas, dan—yang terpenting—tanpa embel-embel.

Ferry Irwandi dan jutaan rakyat Indonesia yang berdonasi telah memberikan pelajaran berharga: solidaritas sejati tidak membutuhkan label.


CATATAN REDAKSI:

Artikel ini ditulis sebagai bentuk apresiasi terhadap solidaritas rakyat Indonesia dalam menghadapi bencana, sekaligus sebagai kritik konstruktif terhadap praktik bantuan bencana yang masih sarat muatan pencitraan politik. Wartajiwa.com meyakini bahwa bantuan kemanusiaan harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan transparansi, bukan sebagai alat kampanye politik terselubung. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, politikus, dan masyarakat—untuk bersama-sama membangun sistem penanggulangan bencana yang lebih berintegritas dan berorientasi pada kepentingan korban, bukan popularitas pemberi bantuan.

Penulis: Vincencius Vino

Editor: Atma Guritno

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *