Mewartakan dengan Jiwa

442 Tewas, 402 Hilang, DPR Desak Bencana Nasional, Prabowo: “Nanti, Nanti Kita Monitor Terus”

Prabowo: "Nanti kita monitor terus"
ilustrasi wartajiwa:

JAKARTA, Wartajiwa.com – Di tengah tragedi kemanusiaan yang merenggut 442 nyawa dan menyisakan 402 orang hilang, pemerintah pusat masih enggan menetapkan banjir dan longsor Sumatera sebagai bencana nasional. Hingga Minggu malam (30/11/2025), korban terus berjatuhan di tiga provinsi—Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat—sementara ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal dan akses ke wilayah terisolir masih terputus.

Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dalam konferensi pers hari ketujuh tanggap darurat menegaskan bahwa bencana ini masih berstatus “bencana daerah tingkat provinsi”, bukan bencana nasional. Alasannya sederhana namun kontroversial: situasi di lapangan dinilai masih dapat ditangani pemerintah daerah dengan dukungan pusat, dan “kondisi mencekam hanya terlihat di media sosial”.

“Coba di Sumatera Utara yang kemarin kelihatannya mencekam kan sekarang yang menjadi hal yang sangat serius tinggal Tapanuli Tengah. Daerah lainnya kelihatannya relatif masyarakatnya kita lihat lah,” ujar Suharyanto, Sabtu (29/11/2025).

Pernyataan ini menuai kritik keras dari berbagai kalangan yang menilai pemerintah pusat meremehkan skala tragedi dan abai terhadap penderitaan rakyat.

DPR Mendesak, Presiden Prabowo: “Nanti Kita Monitor Terus”

Dewan Perwakilan Rakyat sejak Jumat (28/11) telah mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana nasional. Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menegaskan bahwa bencana yang terjadi sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah untuk menangani.

“DPR juga mengusulkan ini (status darurat) bencana nasional, tidak lagi bencana kabupaten, tidak bencana provinsi. Ini saya kira kategori bencananya sudah bisa disebut berskala nasional. Kalau sudah berskala nasional, lintas kementerian lembaga ayo sama-sama, karena memang tidak tertangani oleh satu pihak saja,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda juga menekankan bahwa bencana yang meliputi tiga provinsi telah memenuhi seluruh indikator penetapan status bencana nasional: cakupan wilayah lintas provinsi, jumlah korban masif, kerusakan sarana prasarana parah, kerugian harta benda ratusan miliar rupiah, dan dampak sosial ekonomi yang melumpuhkan.

Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi NasDem, Dini Rahmania, menambahkan empat alasan krusial: cakupan multiprovinsi, ancaman terhadap infrastruktur kritis, krisis kemanusiaan dengan ribuan pengungsi, serta perlunya koreksi kebijakan hulu terkait deforestasi dan alih fungsi lahan.

Namun, desakan DPR seolah diabaikan. Presiden Prabowo Subianto dalam keterangannya Jumat malam (28/11) hanya menjawab singkat: “Nanti, nanti kita monitor terus.”

Dalih “Mencekam di Medsos” yang Menyakiti Ratusan Keluarga Korban

Yang paling menyakitkan dari pernyataan BNPB adalah framing bahwa kondisi “mencekam hanya di media sosial”. Kepala BNPB Suharyanto berulang kali menekankan bahwa persepsi publik tentang keparahan bencana dibentuk oleh situasi di media sosial, sementara kondisi di lapangan “tidak semencekam itu”.

“Kondisi mencekam memang terlihat di media sosial, tapi tidak demikian dengan kondisi terkini di lapangan,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (28/11/2025).

Pernyataan ini mengabaikan fakta bahwa 442 keluarga telah kehilangan anggota keluarganya, 402 keluarga masih menunggu dengan cemas nasib kerabat mereka yang hilang, dan ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur. Bagi mereka, bencana ini bukan “mencekam di medsos”—ini adalah kenyataan pahit yang mereka hadapi setiap detik.

Di Tapanuli Tengah, empat anggota keluarga—seorang ibu dan tiga anaknya—ditemukan meninggal tertimbun longsor saat tidur. Di Kabupaten Agam yang menjadi wilayah paling terdampak di Sumbar, 87 korban meninggal dan 76 orang masih hilang. Di Aceh, 96 korban tewas dan 75 orang belum ditemukan.

Apakah nyawa-nyawa ini juga hanya “mencekam di media sosial”?

442 Korban Jiwa dan 402 Hilang: Standar Bencana Nasional yang Terlalu Tinggi?

BNPB berulang kali menyebut bahwa Indonesia hanya pernah menetapkan dua bencana nasional: Tsunami Aceh 2004 dan Pandemi Covid-19. Gempa besar lain seperti Palu, NTB, dan Cianjur pun tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.

“Kita tidak perlu diskusi panjang lebar ya, yang dimaksud dengan status bencana nasional yang pernah ditetapkan oleh Indonesia itu kan Covid-19 dan Tsunami 2004. Cuma dua itu yang bencana nasional. Sementara setelah itu banyak terjadi bencana gempa Palu, gempa NTB kemudian gempa Cianjur (bukan bencana nasional),” ujar Suharyanto.

Namun, perbandingan ini justru menimbulkan pertanyaan: Apakah standar penetapan bencana nasional di Indonesia terlalu tinggi sehingga rakyat harus mati ratusan bahkan ribuan dulu baru dianggap “cukup parah”? Apakah negara harus menunggu sampai sistem pemerintahan benar-benar lumpuh total baru turun tangan penuh?

Tsunami Aceh 2004 menewaskan lebih dari 170.000 orang. Covid-19 melumpuhkan seluruh sistem kesehatan nasional dan menewaskan ratusan ribu warga. Jika standarnya adalah “seburuk itu”, maka tidak akan pernah ada bencana nasional lagi di Indonesia—kecuali terjadi katastrofi skala megabencana.

Pengamat: “Sudah Layak Ditetapkan sebagai Darurat Nasional”

Berbeda dengan penilaian BNPB, sejumlah pengamat menilai banjir Sumatera sudah sangat layak ditetapkan sebagai bencana nasional. Pengamat kebijakan publik Dr. Usman Lamreung menilai penanganan bencana sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah.

“Ketika pemerintah pusat harus turun langsung dengan mengerahkan helikopter untuk distribusi bantuan, itu menandakan beban penanganan sudah melampaui kemampuan daerah. Tanpa komando nasional, risiko ketimpangan distribusi bantuan dan keterlambatan penanganan akan semakin besar,” ujarnya kepada KabarAktual.id, Minggu (30/11/2025).

Usman menekankan bahwa penetapan darurat nasional bukan hanya respons sesaat, tetapi keputusan penting agar negara benar-benar hadir untuk memastikan pemulihan dan perlindungan jangka panjang bagi masyarakat.

Namun, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah justru membela kebijakan pemerintah. Menurutnya, selama pemerintah daerah masih sanggup menangani bencana di wilayahnya, tidak perlu penetapan bencana nasional.

“Iya belum (masuk kriteria bencana nasional). Aceh masih sanggup melayani sendiri, Sumut masih nanganin sendiri, Sumbar masih nanganin sendiri,” ujar Trubus kepada Kompas.com, Minggu (30/11/2025).

Pertanyaannya: Jika pemerintah daerah “masih sanggup”, mengapa pemerintah pusat harus mengerahkan TNI dengan alutsista besar-besaran, helikopter untuk distribusi bantuan, dan Presiden sendiri turun tangan memimpin koordinasi? Bukankah ini bukti bahwa kapasitas daerah sudah terlampaui?

Dampak Penundaan Status Nasional di Lapangan (Logistik dan Anggaran)

Penundaan penetapan status bencana nasional berdampak langsung pada kecepatan dan efektivitas penanganan. Tanpa status nasional, koordinasi lintas kementerian/lembaga menjadi lebih lambat karena harus melalui mekanisme birokrasi yang panjang.

Dana darurat juga terbatas pada alokasi provinsi yang sudah dipotong sejak awal tahun. Seperti yang diungkap ekonom Celios Media Askar, pemangkasan anggaran BNPB berdampak pada dana transfer ke daerah, yang menjadi sumber utama dana tidak terduga untuk penanganan darurat bencana.

Di lapangan, realitasnya jelas: Tim SAR kesulitan mencapai titik-titik terisolasi karena akses terputus dan peralatan terbatas. Pengungsi di berbagai shelter menghadapi kelangkaan air bersih, makanan, dan obat-obatan. Jalur nasional penghubung Sibolga–Padang Sidempuan dinyatakan putus total. Tujuh wilayah di Sumut belum bisa dijangkau karena terisolasi.

BPBD Sumatera Barat memperkirakan nilai kerugian mencapai Rp4,9 miliar, sementara di Kabupaten Pesisir Selatan saja kerugian ditaksir mencapai Rp108 miliar. Mengingat bencana terjadi di puluhan kabupaten/kota di tiga provinsi, total kerugian diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri dari Fraksi PDIP menegaskan bahwa penetapan status nasional penting untuk memperkuat respons pemerintah pusat dan mempercepat mobilisasi anggaran, logistik, personel SAR, dan relawan. “Penetapan status bencana nasional ini juga akan memudahkan proses koordinasi dalam proses tanggapan darurat, rehabilitasi, hingga rekonstruksi,” ujarnya.

YLBHI: “Pemerintah Gagal Jalankan Mandat Konstitusi di Tengah Krisis”

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui LBH Medan mendesak pemerintah menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional dan mengevaluasi total pengelolaan hutan. Koordinator Divisi Lingkungan Hidup LBH Medan, Irvan Hakim, mencatat bahwa hingga 30 November ada sekitar 166 yang meninggal dunia dan 143 yang masih dalam pencarian di Sumut saja.

“LBH menilai ini juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem Batang Toru,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif YLBHI Edy menyayangkan respons Menteri Kehutanan yang terkesan menghindar dari tanggung jawab terkait video kayu gelondongan yang terbawa arus banjir. “Menteri kehutanan justru terkesan menghindar dari tanggung jawab misalkan beberapa video kayu gelondongan direspons oleh Menhut bahwa itu kayu beberapa bukan dari ilegal logging,” katanya.

Edy menegaskan bahwa sesuai mandat konstitusi, pengelolaan Sumber Daya Alam harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Ia menilai pemerintah gagal dalam menjalankan amanat tersebut. “Ini menunjukkan kementerian gagal menjalankan mandat konstitusi. Alih-alih digunakan untuk melindungi ruang hidup warga, justru digunakan untuk memberikan ruang untuk kegiatan ekstrativisme dan praktis meminggirkan kepentingan dan keselamatan publik,” ungkapnya.

Presiden: “Nanti Kita Monitor Terus”

Ketika ditanya soal kemungkinan penetapan status bencana nasional, Presiden Prabowo Subianto hanya menjawab singkat: “Nanti, nanti kita monitor terus,” usai menghadiri Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2025 di Jakarta, Jumat malam (28/11/2025).

Jawaban ini terdengar sangat tidak memadai di tengah ratusan keluarga yang masih menunggu dengan cemas nasib anggota keluarga mereka yang hilang, ratusan ribu pengungsi yang membutuhkan bantuan segera, dan wilayah-wilayah terisolir yang belum terjangkau tim SAR.

Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Pratikno mengungkapkan arahan Presiden untuk mengerahkan seluruh kekuatan nasional. “Presiden memerintahkan untuk menambah seluruh kekuatan nasional, fokus untuk penanganan tanggap darurat secepat-cepatnya. Mengerahkan evakuasi, mengerahkan logistik, perlindungan pengungsi, kemudian mengerahkan tenaga kesehatan, memulihkan infrastruktur, transportasi, komunikasi, juga kawal di lapangan,” ujar Pratikno, Minggu (30/11).

Namun, pertanyaannya sederhana: Jika Presiden sudah memerintahkan mobilisasi “seluruh kekuatan nasional”, bukankah ini secara de facto sudah memperlakukan bencana ini sebagai bencana nasional? Lalu mengapa tidak ditetapkan secara formal saja agar koordinasi, pendanaan, dan mobilisasi sumber daya bisa lebih cepat dan efektif?

Pertanyaan yang Harus Dijawab

Penundaan penetapan status bencana nasional menyisakan sejumlah pertanyaan mendasar: Berapa banyak korban yang harus meninggal agar pemerintah pusat menganggap ini “cukup parah” untuk bencana nasional? Apakah 442 nyawa, 402 orang hilang, dan ratusan ribu pengungsi masih “tidak cukup mencekam”?

Apakah dalih “pemerintah daerah masih sanggup” masih berlaku ketika faktanya pemerintah pusat sudah harus mengerahkan seluruh kekuatan nasional, termasuk TNI dengan alutsista besar-besaran dan helikopter untuk distribusi bantuan?

Dan yang paling penting: Apakah keengganan menetapkan status bencana nasional lebih karena alasan teknis, ataukah lebih karena implikasi politik dan anggaran yang harus dikeluarkan?

Rakyat Sumatera tidak butuh dalih birokratis atau perbandingan dengan Tsunami Aceh. Mereka butuh negara yang hadir sepenuh hati—bukan setengah hati dengan status “bencana daerah tingkat provinsi” yang terdengar seperti meremehkan penderitaan mereka.

Empat ratus empat puluh dua keluarga telah kehilangan orang yang mereka cintai. Empat ratus dua keluarga masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ratusan ribu warga kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Mereka semua berhak mendapat perhatian penuh negara, bukan sekadar “monitoring” dan janji “nanti”.


CATATAN REDAKSI:

Artikel ini disusun berdasarkan sumber kredibel termasuk data resmi BNPB (30 November – 1 Desember 2025), pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto dalam konferensi pers (28-29 November 2025), desakan DPR RI melalui Komisi V dan VIII (28 November 2025), pernyataan Presiden Prabowo Subianto (28 November 2025), analisis pengamat kebijakan publik Dr. Usman Lamreung dan Trubus Rahardiansyah (30 November 2025), keterangan YLBHI dan LBH Medan (30 November 2025), serta liputan dari berbagai media berita nasional.

Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang objektif, kritis, dan berpihak pada masyarakat. Penundaan penetapan status bencana nasional banjir Sumatera adalah bentuk ketidakhadiran negara yang nyata di tengah penderitaan rakyat. Dalih “mencekam hanya di media sosial” adalah penghinaan terhadap 442 keluarga yang berduka, 402 keluarga yang masih menunggu dengan cemas, dan ratusan ribu warga yang kehilangan segalanya. Kami menghormati kerja keras BNPB, TNI, Polri, Basarnas, BPBD, dan relawan yang berjuang tanpa henti di lapangan—namun kami juga menuntut akuntabilitas dari pembuat kebijakan yang masih ragu-ragu di tengah tragedi kemanusiaan ini. Status bencana nasional bukan sekadar label administratif—ini adalah komitmen negara untuk hadir sepenuh hati, memobilisasi seluruh sumber daya, dan memastikan tidak ada satu pun warga yang tertinggal dalam penderitaan. Empat ratus empat puluh dua nyawa bukan angka statistik. Mereka adalah ayah, ibu, anak, kakak, adik yang dicintai keluarganya. Mereka berhak mendapat yang terbaik dari negara ini, bukan sekadar “nanti kita monitor terus”.

Penulis: Vincencius Vino

Editor: Atma Guritno

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *