Mewartakan dengan Jiwa

Efektivitas dan Tantangan Integrasi Layanan Publik Melalui Government Super-App (INA Digital)

c9a2e37ce95e36aaa867f56103b299ba

Transformasi digital pemerintahan Indonesia kini memasuki babak baru dengan diluncurkannya INA Digital, inisiatif government super-app yang diharapkan mampu menyatukan ribuan aplikasi layanan publik menjadi satu ekosistem terpadu. Langkah ini menandai pergeseran dari fragmentasi aplikasi menuju integrasi yang berorientasi pada warga, bukan sekadar lembaga. Namun, seperti halnya setiap lompatan besar birokrasi digital, keberhasilan INA Digital tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh sinergi kelembagaan, tata kelola, dan kepercayaan publik.

Dari Fragmentasi ke Integrasi

Selama lebih dari satu dekade, digitalisasi birokrasi di Indonesia berjalan sporadis. Setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berlomba membangun aplikasi sendiri tanpa koordinasi lintas-sektor. Akibatnya, tercatat lebih dari 27.000 aplikasi pemerintah berdiri sendiri tanpa interoperabilitas. Kondisi ini menyebabkan pemborosan anggaran, data yang terisolasi (data silos), dan pengalaman layanan yang rumit bagi masyarakat.

INA Digital hadir untuk menjawab persoalan itu. Dengan model super-app yang mengintegrasikan layanan kependudukan, perizinan, pembayaran, hingga pengaduan publik, pemerintah berharap warga dapat mengakses berbagai layanan hanya melalui satu pintu. Secara teoritis, pendekatan ini akan meningkatkan efisiensi administratif, memperkuat transparansi, dan memperluas realisasi public value (Twizeyimana & Andersson, 2019).

Namun, pertanyaannya: apakah integrasi digital otomatis menjamin perbaikan layanan publik?

Tantangan Lintas Dimensi

Analisis menunjukkan bahwa hambatan utama INA Digital justru bersumber dari fragmentasi kelembagaan. Banyak instansi enggan melepas otonomi data dan sistem mereka karena tidak ada mekanisme insentif, target kinerja bersama (shared KPI), atau tata kelola lintas-kementerian yang kuat. Akibatnya, meskipun platform digital telah tersedia, integrasi di tingkat operasional berjalan lambat.

Di sisi teknis, masalah interoperabilitas masih membayangi. Perbedaan format data, belum seragamnya API, dan lemahnya identitas digital nasional menjadi penghambat utama. Lebih jauh lagi, perlindungan data pribadi dan keamanan siber belum sepenuhnya memiliki standar nasional yang tegas. Tanpa kejelasan data governance, risiko kebocoran data dan penyalahgunaan akses akan semakin besar, terutama di era di mana data adalah aset strategis negara.

Tantangan lain yang tak kalah penting adalah kesenjangan SDM dan literasi digital. Pegawai pemerintah belum merata dalam penguasaan IT governance, devops, dan product management. Budaya kerja birokrasi yang masih berorientasi pada hierarki juga sering menolak perubahan yang dibawa digitalisasi. Sementara di sisi masyarakat, tingkat literasi digital yang timpang antarwilayah dapat menciptakan jurang baru dalam akses layanan publik.

Belajar dari Tren Global

Fenomena super-appification bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti Tiongkok, Singapura, dan Uni Emirat Arab telah lebih dulu membangun ekosistem serupa. Studi global (Hasselwander, 2024; Van Der Vlist et al., 2024) menyoroti bahwa super-app memang menawarkan efisiensi dan kemudahan, tetapi juga menimbulkan risiko baru: konsentrasi kekuasaan data, ketergantungan teknologi tinggi, serta tantangan regulasi dan privasi. Oleh karena itu, pengembangan INA Digital harus memperhatikan keseimbangan antara efisiensi pelayanan dan perlindungan hak-hak digital warga negara.

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

Untuk memastikan efektivitas INA Digital, ada beberapa langkah kunci yang perlu diperkuat. Pertama, menerapkan prinsip “interoperability by design”, yakni memastikan setiap sistem pemerintah baru wajib terhubung dengan platform nasional melalui API standar dan kebijakan tata kelola data bersama. Tanpa fondasi teknis yang seragam, integrasi hanya akan menjadi jargon administratif. Kedua, pemerintah sebaiknya melakukan uji coba bertahap berbasis use-case bernilai tinggi, seperti layanan kependudukan atau perizinan usaha, sebelum diperluas secara nasional. Pendekatan pilot testing memungkinkan evaluasi publik yang lebih konkret dan berbasis bukti. 

Ketiga, penguatan kapasitas SDM harus menjadi prioritas. Transformasi digital bukan hanya soal perangkat lunak, tetapi juga perubahan cara berpikir. Program reskilling bagi aparatur negara dan inklusi digital bagi masyarakat rentan akan menentukan keberhasilan adopsi layanan ini. Keempat, diperlukan mekanisme tata kelola lintas-kementerian dengan indikator kinerja publik yang terukur serta laporan transparan. Kolaborasi pusat–daerah juga menjadi kunci agar daerah tidak sekadar menjadi pengguna, tetapi turut menjadi mitra dalam desain dan pengembangan fitur layanan sesuai kebutuhan lokal.

Mengukur Keberhasilan: Bukan Hanya Soal Aplikasi

Pada akhirnya, keberhasilan INA Digital bukan ditentukan oleh berapa banyak aplikasi yang berhasil digabungkan, melainkan sejauh mana warga merasa layanan publik menjadi lebih mudah, cepat, dan transparan. Super-app hanyalah instrumen; nilai sejatinya terletak pada kemampuannya menciptakan keadilan akses digital dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.Transformasi digital pemerintahan adalah perjalanan panjang, bukan proyek jangka pendek. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan digital selalu berakar pada kepentingan publik, disertai prinsip akuntabilitas, keamanan, dan inklusivitas. Bila itu terwujud, INA Digital dapat menjadi tonggak sejarah reformasi birokrasi digital Indonesia, bukan sekadar super-app, melainkan simbol pemerintahan yang lebih cerdas, terbuka, dan berpihak pada warga.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arinal Haq, S.AP

Associate Researcher di Sasanti Institute. Aktif dalam riset dan diskusi khususnya digital governance, inovasi pelayanan publik, dan pengembangan kebijakan digital.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *