Mewartakan dengan Jiwa

Putusan MKD: Hukuman Ringan untuk Pelanggaran Berat, Rakyat Menuntut Keadilan, Nyawa Affan Tak Berarti?

sidang kode etik mkd
Sumber: Poros Jakarta

JAKARTA, Warta Jiwa – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menjatuhkan putusan terhadap lima anggota parlemen yang memicu kemarahan publik pada Rabu (5/11/2025). Hasilnya? Tiga anggota dinyatakan bersalah dan hanya dinonaktifkan beberapa bulan, dua lainnya bebas. Putusan ini justru menambah kekecewaan mendalam masyarakat yang berharap ada tindakan tegas—pemecatan atau minimal pengunduran diri—bagi mereka yang telah melukai hati rakyat di tengah penderitaan ekonomi.

Putusan yang Mengecewakan: Cuma Nonaktif Beberapa Bulan

Dalam sidang yang dipimpin Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam dan dibacakan putusannya oleh Wakil Ketua MKD Adang Daradjatun, tiga anggota DPR terbukti melanggar kode etik:

1. Ahmad Sahroni – Anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem
Terbukti: Melanggar kode etik karena menggunakan diksi tidak pantas di ruang publik dengan pernyataan “orang yang bilang bubarin DPR adalah orang paling tolol sedunia”
Hukuman: Nonaktif 6 bulan sejak putusan dibacakan

2. Nafa Urbach – Anggota DPR dari Fraksi NasDem
Terbukti: Melanggar kode etik karena pernyataan yang memberikan kesan hedon dan tamak dengan menyampaikan bahwa “kenaikan gaji dan tunjangan itu sebuah kepantasan dan wajar bagi anggota DPR RI”
Hukuman: Nonaktif 3 bulan sejak putusan dibacakan

3. Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) – Anggota DPR dari Fraksi PAN
Terbukti: Melanggar kode etik karena gestur merendahkan lembaga DPR RI dengan cara berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI 2025 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI tanggal 15 Agustus 2025
Hukuman: Nonaktif 4 bulan sejak putusan dibacakan

Sementara itu, dua anggota dinyatakan TIDAK BERSALAH dan langsung aktif kembali:

4. Surya Utama (Uya Kuya) – Anggota DPR dari Fraksi PAN
Vonis: Tidak terbukti melanggar kode etik meski dilaporkan karena berjoget dalam sidang tahunan. MKD menilai video viral yang beredar adalah video lama yang “digoreng” pihak tidak bertanggung jawab.

5. Adies Kadir – Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar
Vonis: Tidak terbukti melanggar kode etik. MKD hanya memberikan imbauan agar lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan.

“Putusan ini ditetapkan dalam Permusyawaratan MKD pada hari Rabu 5 November 2025 dan menghasilkan putusan final dan mengikat sejak tanggal dibacakan,” tegas Adang Darojatun.

Rakyat Tidak Puas: “Harusnya Dipecat atau Mengundurkan Diri!”

Putusan MKD ini menuai reaksi beragam dari masyarakat, dan mayoritas menyatakan kekecewaan mendalam.

Di media sosial, komentar kritis membanjiri setiap pemberitaan tentang putusan ini:

“Cuma nonaktif? Masa nonaktif doang? Harusnya dipecat! Mereka sudah menghina rakyat!”

“Nonaktif 3-6 bulan terus balik lagi? Ini namanya pelesiran dibayar penuh bukan hukuman!”

“Uya Kuya bebas? Padahal dia berjoget di sidang yang sama dengan Eko Patrio. Kok bisa beda vonis?”

“Adies Kadir ga terbukti? Dia yang ngomong DPR dapat gaji kecil! Masa ga salah?”

Sejumlah aktivis dan pengamat politik juga menyuarakan kritik tajam.

“Putusan MKD ini tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Nonaktif beberapa bulan lalu aktif lagi? Apa bedanya dengan liburan panjang? Mereka tetap dapat gaji selama nonaktif itu?” kata seorang aktivis mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya.

Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin sebelumnya telah memperingatkan bahwa label “wakil rakyat yang tidak layak” harus dijawab dengan kinerja yang lebih akseleratif dan transparansi penuh kepada publik.

“Jika MKD hanya memberikan sanksi ringan seperti ini, maka publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga legislatif,” ujar Khozin.

Hukuman Tanpa Rasa Sakit: Tetap Digaji Selama Nonaktif?

Yang paling mengejutkan dari putusan MKD adalah klausul terkait hak keuangan.

“MKD juga menyatakan teradu 1 (Adies Kadir), teradu 2 (Nafa Urbach), teradu 3 (Uya Kuya), teradu 4 (Eko Patrio), dan teradu 5 (Sahroni), selama masa penonaktifan tidak mendapatkan hak keuangan,” pungkas Adang.

Namun, pertanyaan kritisnya: Apakah ini benar-benar efektif?

Berdasarkan keputusan DPR RI pada 5 September 2025 menanggapi tuntutan 17+8, take home pay anggota DPR setelah pemangkasan adalah Rp 65,6 juta per bulan. Artinya:

  • Ahmad Sahroni kehilangan sekitar Rp 393,6 juta (6 bulan)
  • Eko Patrio kehilangan sekitar Rp 262,4 juta (4 bulan)
  • Nafa Urbach kehilangan sekitar Rp 196,8 juta (3 bulan)

Angka yang besar untuk rakyat biasa, tapi apakah ini cukup untuk memberikan efek jera bagi mereka yang sudah menikmati kemewahan selama ini?

Bandingkan dengan Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025. Affan hanya berusaha mencari nafkah dengan penghasilan tak seberapa per hari. Nyawanya hilang dalam demonstrasi yang memprotes arogansi DPR—termasuk pernyataan-pernyataan dari Sahroni, Nafa, dan lainnya.

Pertanyaannya: Apakah kehilangan uang saku selama beberapa bulan setimpal dengan nyawa yang hilang?

Putusan MKD: Jauh dari Harapan Rakyat

Kembali ke putusan MKD. Masyarakat berharap ada tindakan tegas:

Yang Diharapkan Rakyat:

  1. Pemecatan anggota DPR yang terbukti melanggar kode etik dan memicu kemarahan publik
  2. Pengunduran diri sukarela sebagai bentuk tanggung jawab moral
  3. Sanksi sosial berupa larangan mencalonkan diri kembali pada Pemilu mendatang
  4. Pengembalian gaji selama masa jabatan jika terbukti tidak amanah
  5. Permintaan maaf publik secara terbuka di hadapan rakyat

Yang Diberikan MKD:

  1. Nonaktif 3-6 bulan (bukan pemecatan permanen)
  2. Tidak ada pengunduran diri
  3. Setelah masa nonaktif selesai, mereka bisa aktif kembali sebagai anggota DPR
  4. Tidak ada larangan mencalonkan diri pada Pemilu mendatang
  5. Tidak ada kewajiban meminta maaf publik

Kesimpulannya: Putusan MKD tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Inkonsistensi Putusan: Uya Kuya Bebas, Eko Patrio Bersalah

Salah satu yang paling mengundang tanya adalah inkonsistensi putusan terhadap Uya Kuya dan Eko Patrio.

Keduanya dilaporkan dengan tuduhan yang sama persis: berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI 2025 dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI tanggal 15 Agustus 2025, yang dinilai merendahkan martabat lembaga.

Eko Patrio: Terbukti melanggar, nonaktif 4 bulan
Uya Kuya: Tidak terbukti melanggar, langsung aktif kembali

Alasan MKD: Video Uya Kuya yang viral adalah video lama yang “digoreng” pihak tidak bertanggung jawab.

Pertanyaan kritisnya:

  • Jika video Uya Kuya adalah video lama, mengapa MKD baru menyatakan ini sekarang?
  • Apakah tidak ada verifikasi sebelum menerima laporan?
  • Bukankah video Eko Patrio dan Uya Kuya sama-sama viral pada waktu yang sama?
  • Apa parameter MKD dalam menilai “gestur merendahkan lembaga”?

Inkonsistensi ini menunjukkan subjektivitas dalam putusan MKD yang seharusnya obyektif dan berdasarkan bukti kuat.

Adies Kadir Tidak Bersalah? Rakyat Tidak Setuju

Adies Kadir, Wakil Ketua DPR RI, dilaporkan karena memberikan pernyataan terkait tunjangan DPR yang dianggap keliru dan memicu kritik publik.

MKD memutuskan Adies tidak terbukti melanggar kode etik dan hanya memberikan imbauan agar lebih berhati-hati.

Rakyat tidak lupa pernyataan Adies yang viral: bahwa gaji DPR sebenarnya kecil dan tidak sebesar yang dibayangkan publik. Pernyataan ini dinilai tidak sensitif terhadap kondisi rakyat yang bergaji UMR atau bahkan di bawah itu.

“Kalau gaji Rp 65 juta per bulan itu dianggap kecil, lalu gaji UMR Rp 5 juta itu apa? Gaji invisible?” komentar seorang netizen dengan nada sinis.

Fakta bahwa Adies dinyatakan tidak bersalah menunjukkan MKD tidak memahami atau tidak peduli dengan perasaan rakyat yang terluka.

Nafa Urbach: “Wajar dan Pantas” yang Menyakitkan

Nafa Urbach dinyatakan bersalah karena pernyataannya yang memberikan kesan hedon dan tamak dengan menyampaikan bahwa “kenaikan gaji dan tunjangan itu sebuah kepantasan dan wajar bagi anggota DPR RI.”

Pernyataan ini dilontarkan melalui media sosial miliknya pada 20 Agustus 2025 dengan narasi: “Dewan itu tidak dapat rumah jabatan dikarenakan banyak sekali anggota dewan yang dari luar kota, maka dari itu banyak yang mengontrak di dekat Senayan, supaya memudahkan mereka ke DPR.”

Konteks pernyataan ini adalah untuk membela tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan yang menuai kritik publik.

Hukumannya? Nonaktif 3 bulan.

Tiga bulan untuk pernyataan yang melukai hati jutaan rakyat yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji pas-pasan.

Tiga bulan untuk pernyataan yang memicu demonstrasi besar-besaran yang memakan korban nyawa.

Apakah ini adil?

Ahmad Sahroni: “Orang Paling Tolol Sedunia”

Ahmad Sahroni mendapat hukuman paling berat: nonaktif 6 bulan.

Sahroni dilaporkan karena menggunakan diksi tidak pantas di hadapan publik dengan pernyataan viral: “Orang yang bilang bubarin DPR adalah orang paling tolol sedunia”.

Video ucapan Sahroni menjadi salah satu bukti yang dibawa pelapor ke MKD. Pernyataan ini langsung memicu kemarahan publik yang merasa dihina sebagai “tolol” hanya karena mengkritik DPR.

Rumah pribadi Sahroni bahkan menjadi sasaran amuk massa saat demonstrasi Agustus 2025, meski keluarganya kemudian tidak memproses hukum warga yang mengembalikan barang yang diambil.

Belakangan, Sahroni mengklarifikasi bahwa ucapannya tidak ditujukan kepada masyarakat, tetapi sebagai penjelasan dampak yang terjadi jika DPR benar-benar bubar.

Tapi apakah klarifikasi itu cukup? Apakah hukuman 6 bulan nonaktif itu setimpal dengan luka yang ditimbulkan?

Rakyat menjawab: TIDAK.

Eko Patrio: Joget di Sidang, Rumah Dibakar Massa

Eko Patrio terlibat dalam aksi berjoget di Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD pada 15 Agustus 2025 yang dianggap merendahkan martabat lembaga.

Rumah pribadi Eko juga turut menjadi sasaran amuk massa, sama seperti rekan separtainya Uya Kuya.

Hanya saja, Uya Kuya lolos dari sanksi MKD lantaran video lanjutan dari aksi joget di DPR merupakan video lama yang “digoreng” pihak tak bertanggung jawab, sementara Eko Patrio dinyatakan bersalah dan dinonaktifkan 4 bulan.

Pertanyaannya: Apakah berjoget di sidang negara adalah pelanggaran ringan yang cukup dihukum dengan nonaktif 4 bulan?

Bagi masyarakat, gestur ini menunjukkan ketidakseriusan dan ketidakhormatan DPR terhadap rakyat yang memilih mereka. Ini bukan soal joget atau tidak, tapi soal sikap dan mentalitas.

Pertanyaan Kritis untuk MKD dan DPR

Putusan MKD ini meninggalkan banyak pertanyaan yang harus dijawab:

1. Apa Parameter “Melanggar Kode Etik”?
Jika Uya Kuya yang berjoget tidak melanggar (karena video lama), tapi Eko Patrio yang berjoget melanggar, apa bedanya? Apa standar objektif MKD?

2. Mengapa Hukumannya Hanya Nonaktif Sementara?
Nonaktif 3-6 bulan lalu aktif lagi, apa bedanya dengan cuti panjang? Kenapa tidak pemecatan permanen?

3. Apakah MKD Independen?
MKD adalah lembaga internal DPR yang menilai sesama anggota DPR. Apakah mungkin obyektif? Apakah tidak ada conflict of interest?

4. Bagaimana dengan Tanggung Jawab Moral?
Selain sanksi administratif, apa tanggung jawab moral mereka terhadap korban jiwa demonstrasi Agustus 2025?

5. Apakah Putusan Ini Final?
Putusan MKD bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada mekanisme banding. Apakah ini adil bagi rakyat yang merasa tidak puas?

6. Bagaimana Nasib Tuntutan 17+8?
Salah satu tuntutan adalah “Pecat atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik.” Apakah putusan MKD ini memenuhi tuntutan tersebut?

Rakyat Berhak Marah, Rakyat Berhak Menuntut

Dua bulan setelah demonstrasi Agustus 2025 yang memakan 7 korban jiwa dan ratusan luka-luka, putusan MKD ini terasa seperti tamparan bagi rakyat yang menuntut keadilan.

Affan Kurniawan tewas.
Empat ASN Makassar tewas.
Rheza Sendy Pratama tewas.
Dua korban lainnya tewas.

Mereka tewas dalam demonstrasi yang memprotes arogansi DPR—arogansi yang diwakili oleh pernyataan-pernyataan Sahroni, Nafa, Adies, dan gestur Eko Patrio serta Uya Kuya.

Nyawa mereka tidak kembali. Tapi anggota DPR yang memicu kemarahan hanya nonaktif beberapa bulan lalu kembali menjabat?

Ini namanya keadilan?

Rakyat berhak marah. Rakyat berhak menuntut lebih dari sekadar hukuman administrasi ringan.

Rakyat menuntut:

  • Pemecatan permanen atau pengunduran diri sukarela
  • Permintaan maaf publik yang tulus
  • Tanggung jawab moral terhadap korban demonstrasi
  • Reformasi total DPR agar lebih berpihak kepada rakyat
  • Transparansi penuh anggaran dan gaji DPR
  • Audit menyeluruh terhadap kinerja dan integritas setiap anggota DPR

Kesimpulan: Putusan yang Tidak Memenuhi Rasa Keadilan

Putusan MKD terhadap Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Hukuman nonaktif 3-6 bulan terlalu ringan untuk pelanggaran yang memicu demonstrasi massal yang memakan korban jiwa.

Pembebasan Uya Kuya dan Adies Kadir menunjukkan inkonsistensi dan subjektivitas putusan.

Yang paling menyakitkan: nyawa Affan Kurniawan dan 6 korban lainnya seolah tidak berarti. Tidak ada tanggung jawab moral yang diakui, tidak ada permintaan maaf yang tulus, tidak ada konsekuensi politik yang berarti.

Rakyat tidak meminta yang muluk-muluk. Rakyat hanya meminta keadilan.


CATATAN REDAKSI:

Artikel ini disusun berdasarkan liputan komprehensif dari berbagai media nasional terkemuka, pernyataan resmi pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, dan pemantauan suara publik di media sosial. Warta Jiwa memverifikasi setiap fakta putusan dan kronologi peristiwa untuk memastikan akurasi.

Artikel ini juga mengangkat pertanyaan penting tentang rasa keadilan masyarakat, akuntabilitas pejabat publik, dan integritas lembaga legislatif. Tidak ada solusi mudah untuk memulihkan kepercayaan publik, tetapi putusan yang transparan dan adil adalah langkah pertama.

Warta Jiwa berkomitmen menyajikan berita nasional dengan objektif, akurat, dan menghormati martabat korban, termasuk Affan Kurniawan dan 6 korban jiwa lainnya dalam demonstrasi Agustus 2025. Kami percaya bahwa masyarakat Indonesia perlu mengetahui peristiwa penting nasional dengan konteks yang memadai, bukan sekadar sensasi.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *