Birokrasi di Tengah Tekanan Sosial
Bulan September 2025 menandai fase menegangkan bagi banyak lembaga publik di Indonesia. Gelombang demonstrasi menuntut transparansi kebijakan subsidi, penyesuaian harga pangan, dan akuntabilitas anggaran publik merebak di berbagai daerah. Antaranews melaporkan bahwa beberapa kementerian strategis-seperti Kemenkeu, Kemendagri, dan Kemenko Polhukam-menjadi sasaran kritik keras akibat dianggap lamban menanggapi tekanan sosial. Dalam situasi seperti ini, birokrasi tidak hanya diuji dalam fungsi administratifnya, tetapi juga dalam kapasitas kepemimpinannya. Publik menuntut birokrat yang bukan sekadar patuh pada aturan, melainkan mampu menavigasi ketidakpastian dan menjaga legitimasi organisasi. Kondisi ini memperlihatkan urgensi kepemimpinan adaptif-kemampuan pemimpin publik untuk membaca perubahan, menafsirkan krisis, dan membangun ketahanan institusional.
Kepemimpinan dalam Situasi Krisis
Setelah meningkatnya tensi sosial pada awal September, Presiden menginstruksikan seluruh kementerian untuk memperkuat komunikasi publik dan manajemen krisis internal. Kemenpan RB dan LAN segera merespons dengan menerbitkan pedoman Adaptive Bureaucracy Framework, yang menekankan pentingnya koordinasi lintas unit, keterbukaan informasi, dan pemulihan kepercayaan publik.
Di sisi lain, sejumlah lembaga menghadapi tantangan struktural. Di Kementerian Keuangan, muncul tekanan atas kebijakan fiskal yang tidak populer, sementara di Kemendagri, konflik anggaran daerah menimbulkan gesekan internal. Media Indonesia mencatat bahwa beberapa pimpinan lembaga justru memilih memperketat protokol birokrasi untuk menghindari kesalahan komunikasi publik, padahal langkah itu menurunkan kecepatan pengambilan keputusan.
Peristiwa ini menegaskan dilema klasik dalam manajemen organisasi publik saat krisis: apakah pemimpin harus memperkuat kontrol atau memperluas adaptasi?
Adaptasi dan Ketahanan dalam Perspektif Heifetz dan Boin
Ronald Heifetz (1994) dalam teori Adaptive Leadership menjelaskan bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari kemampuan mengendalikan, melainkan dari kemampuan membantu organisasi menyesuaikan diri terhadap tantangan yang belum pernah dihadapi. Pemimpin adaptif bukan pemberi solusi instan, tetapi fasilitator pembelajaran kolektif.
Sementara itu, Boin et al. (2017) melalui Institutional Resilience Theory menambahkan bahwa organisasi publik yang tangguh harus memiliki kapasitas untuk absorb, recover, dan learn dari tekanan lingkungan. Kapasitas ini dibangun bukan dari struktur yang kuat, tetapi dari jejaring komunikasi, kepercayaan, dan refleksi kelembagaan.
Dalam konteks birokrasi Indonesia 2025, kedua teori ini saling bertemu. Ketika tekanan sosial meningkat, banyak pimpinan birokrasi masih terjebak pada pola manajemen komando-mengutamakan instruksi, bukan interpretasi. Padahal, dalam situasi krisis yang kompleks, kejelasan arah tidak cukup tanpa kemampuan mendengarkan dan menafsirkan dinamika lapangan. Kementerian Sosial memberi contoh menarik. Di tengah protes penyaluran bantuan yang tidak merata, mereka mengubah pola koordinasi menjadi listening sessions antara pejabat daerah, relawan, dan warga terdampak. Pendekatan ini menurunkan ketegangan dan melahirkan inovasi distribusi baru berbasis komunitas. Sebaliknya, beberapa lembaga yang mempertahankan hierarki kaku justru kehilangan legitimasi internal. Pegawai merasa dibatasi untuk berinisiatif, sehingga krisis berlanjut menjadi krisis kepercayaan internal.
Kepemimpinan adaptif, sebagaimana ditegaskan Heifetz, menuntut pemimpin berani “berdiri di atas balkon”-melihat situasi secara reflektif tanpa terbawa arus reaksi emosional. Artinya, birokrasi harus bertransformasi dari organisasi perintah menjadi organisasi pembelajar.
Dari Krisis ke Pembelajaran Institusional
Setiap krisis organisasi adalah cermin dari pola kepemimpinan yang dijalankan. Ketika pemimpin menganggap krisis sebagai ancaman terhadap wibawa, maka organisasi akan defensif dan kehilangan daya belajar. Namun bila krisis dianggap sebagai peluang pembaruan, maka organisasi publik justru akan menjadi lebih tangguh dan relevan.
Dalam forum Leadership for Resilient Bureaucracy di Lembaga Administrasi Negara (26 September 2025), sejumlah pejabat eselon I dan akademisi menekankan bahwa kepemimpinan publik Indonesia masih perlu menumbuhkan “kecerdasan adaptif” – kemampuan membaca emosi sosial, memahami kompleksitas kebijakan, dan membangun solidaritas kerja lintas sektor.
Salah satu narasumber menyatakan bahwa “birokrasi adaptif bukan birokrasi tanpa aturan, melainkan birokrasi yang mampu menafsirkan aturan secara kontekstual.” Pandangan ini selaras dengan teori institutional resilience: organisasi yang tangguh bukan yang paling disiplin terhadap prosedur, melainkan yang paling cepat belajar dan menyesuaikan diri terhadap realitas baru.
Dalam praktiknya, kepemimpinan adaptif di lembaga publik dapat diwujudkan melalui tiga hal: membangun komunikasi dua arah dengan pegawai, menciptakan ruang eksperimentasi kebijakan kecil (safe-to-fail experiments), dan memperkuat jejaring lintas unit untuk berbagi pembelajaran. Dengan cara itu, organisasi publik tidak lagi hanya bertahan, tetapi berevolusi.
Kepemimpinan Adaptif sebagai Pilar Reformasi
Krisis sosial dan tekanan politik September 2025 menjadi ujian bagi kapasitas adaptif birokrasi Indonesia. Di tengah ketidakpastian, kepemimpinan adaptif menunjukkan nilainya: ia menjaga stabilitas tanpa menutup diri terhadap perubahan, ia memperkuat disiplin tanpa mematikan kreativitas.
Manajemen krisis institusional tidak boleh berhenti pada koordinasi formal. Ia harus menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa birokrasi bukan mesin pengatur, melainkan komunitas pembelajar yang terus memperbarui cara berpikir dan bertindak. Jika pendekatan ini dipertahankan, birokrasi Indonesia dapat bergerak dari compliance governance menuju resilient governance – model tata kelola yang tidak hanya kuat menghadapi tekanan, tetapi juga mampu menumbuhkan kepercayaan publik di tengah ketidakpastian sosial. Kepemimpinan adaptif, dengan demikian, bukan sekadar strategi bertahan, tetapi tulang punggung bagi transformasi manajemen organisasi publik di era yang penuh disrupsi.




