Mewartakan dengan Jiwa

Diplomasi Pembangunan: Kolaborasi Infrastruktur Global

Foto oleh Maxim Hopman di Unsplash
Foto oleh Maxim Hopman di Unsplash

Infrastruktur Sebagai Bahasa Diplomasi Baru

Pertengahan Juni 2025, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia bersama Kementerian PUPR dan Kementerian Investasi menggelar forum Indonesia Global Infrastructure Partnership (IGIP) di Jakarta. Acara ini dihadiri perwakilan dari 38 negara dan 15 lembaga keuangan internasional, termasuk Bank Dunia, Asian Development Bank, dan AIIB.
Antaranews mencatat bahwa forum tersebut menjadi wadah untuk membahas kolaborasi pembangunan lintas negara, khususnya proyek konektivitas dan energi bersih di kawasan Indo-Pasifik. Dalam sambutannya, Menteri Luar Negeri menyatakan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi penerima proyek global, tetapi juga mulai berperan sebagai mitra penyedia solusi pembangunan bagi negara lain di Asia Selatan dan Afrika Timur.
Momentum ini menegaskan perubahan paradigma: diplomasi Indonesia tidak lagi berpusat pada hubungan politik, tetapi pada diplomasi pembangunan, di mana proyek infrastruktur menjadi alat untuk memperkuat pengaruh ekonomi dan membangun solidaritas internasional.

Dari Penerima Bantuan ke Mitra Pembangunan

Perubahan arah kebijakan luar negeri Indonesia sejak 2024 memperlihatkan penekanan pada development diplomacy, sebuah pendekatan yang menempatkan pembangunan ekonomi sebagai instrumen diplomasi yang setara dengan politik dan keamanan. Data Kementerian Investasi yang dirilis pada Juni 2025 menunjukkan peningkatan komitmen investasi asing sebesar 12,4 persen dari kuartal sebelumnya, dengan sebagian besar berasal dari Jepang, Korea Selatan, dan Uni Emirat Arab. Sebagian besar investasi tersebut diarahkan untuk sektor infrastruktur transportasi, energi, dan logistik. Selain itu, Antaranews melaporkan bahwa Indonesia tengah menjajaki kerja sama baru dengan Kenya dan Bangladesh dalam bidang konstruksi jalan, pengelolaan pelabuhan, dan proyek air bersih. Dalam kerangka ini, perusahaan konstruksi BUMN seperti Wijaya Karya dan PTPP dilibatkan bukan semata sebagai kontraktor, tetapi sebagai agen diplomasi ekonomi. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah memperluas jaringan kemitraan ekonomi global melalui skema South-South Cooperation (SSC). Melalui SSC, Indonesia berusaha menggabungkan kepentingan politik luar negeri dan misi pembangunan, menciptakan peran baru: bukan hanya “penerima manfaat,” tetapi juga “pemberi dampak.”

Diplomasi Pembangunan dalam Perspektif Economic Statecraft

Kerangka Economic Statecraft Theory (Coplin, 2020) menjelaskan bahwa negara dapat menggunakan instrumen ekonomi seperti investasi, perdagangan, dan bantuan pembangunan untuk mencapai tujuan politik dan strategis. Sedangkan Development Diplomacy (Nye, 2004) menempatkan pembangunan sebagai bentuk soft power: pengaruh yang dibangun melalui kepercayaan, kolaborasi, dan manfaat bersama, bukan dominasi.
Dalam konteks Indonesia 2025, dua kerangka ini berjalan beriringan. Forum IGIP memperlihatkan bagaimana diplomasi pembangunan dijalankan secara simultan di tiga arena: regional, multilateral, dan domestik.

Pertama, di tingkat regional, Indonesia memosisikan diri sebagai jembatan antara Asia Timur dan Pasifik Selatan. Proyek konektivitas seperti pelabuhan di Bitung, jalur logistik Sulawesi-Papua, serta partisipasi Indonesia dalam ASEAN Connectivity Plan 2030 memperkuat peran negara ini sebagai simpul ekonomi kawasan.
Kedua, di tingkat multilateral, Indonesia memainkan peran aktif dalam negosiasi pembiayaan infrastruktur berkelanjutan bersama AIIB dan Bank Dunia. Menteri Keuangan dalam forum IGIP menekankan pentingnya prinsip co-financing dan green conditionality, di mana setiap proyek infrastruktur yang didanai harus memenuhi standar lingkungan dan transparansi.
Ketiga, di tingkat domestik, diplomasi pembangunan berimplikasi langsung pada penguatan BUMN karya dan perusahaan teknologi nasional yang kini mulai berekspansi ke luar negeri. Dalam hal ini, pemerintah menjalankan peran ganda: sebagai perancang kebijakan luar negeri dan sekaligus promotor kapasitas industri nasional.

Melalui pendekatan economic statecraft, Indonesia menunjukkan bahwa diplomasi tidak hanya berbicara di meja perundingan, tetapi juga dibangun di lokasi proyek: jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik menjadi “bahasa universal” kerja sama antarnegara. Dengan cara ini, pembangunan menjadi sarana memperluas kepercayaan dan reputasi global.

Infrastruktur Global dan Etika Solidaritas

Namun, kolaborasi lintas negara selalu membawa paradoks. Di satu sisi, diplomasi pembangunan membuka peluang ekspansi ekonomi; di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ketimpangan kekuasaan. Pengalaman beberapa negara Afrika menunjukkan bahwa proyek infrastruktur berskala besar seringkali meninggalkan beban utang dan ketergantungan politik baru.
Dalam wawancara dengan Media Indonesia (19 Juni 2025), pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada menekankan perlunya etika solidaritas dalam diplomasi pembangunan. Ia mengingatkan agar Indonesia berhati-hati mengikuti pola “infrastruktur untuk pengaruh” yang banyak dipraktikkan oleh kekuatan besar. “Diplomasi pembangunan Indonesia sebaiknya menonjolkan kemitraan yang setara, bukan aliansi yang menuntut loyalitas politik,” ujarnya.
Pandangan ini sejalan dengan prinsip mutual benefit yang menjadi dasar kerja sama Selatan-Selatan. Dalam model ini, setiap proyek tidak diukur dari nilai investasi semata, tetapi dari transfer pengetahuan, peningkatan kapasitas, dan dampak sosial bagi masyarakat lokal.
Dari sudut manajemen publik, tantangan utamanya adalah memastikan bahwa proyek yang dilakukan BUMN di luar negeri tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperkuat reputasi Indonesia sebagai mitra pembangunan yang transparan, adil, dan berorientasi kemanusiaan.

Diplomasi Pembangunan sebagai Identitas Baru Indonesia

Gerakan diplomasi pembangunan yang menguat sepanjang 2025 menandai perubahan penting dalam orientasi politik luar negeri Indonesia. Negara ini mulai mengartikulasikan kekuatannya bukan melalui tekanan politik, melainkan melalui kolaborasi ekonomi dan solidaritas pembangunan.
Namun, keberhasilan pendekatan ini bergantung pada tiga prasyarat: integritas lembaga pelaksana, kapasitas industri nasional, dan konsistensi prinsip etika dalam setiap kerja sama. Ketiganya menentukan apakah diplomasi pembangunan akan menjadi alat perluasan pengaruh atau justru sarana memperkuat keadilan global.
Jika dijalankan dengan hati-hati dan transparan, diplomasi pembangunan dapat menjadi bentuk soft power paling konstruktif bagi Indonesia sebuah diplomasi yang tidak menaklukkan, tetapi menghubungkan; yang tidak mengeksploitasi, tetapi memberdayakan.
Di tengah persaingan geopolitik yang kian kompleks, pembangunan infrastruktur lintas negara bukan lagi sekadar proyek ekonomi, melainkan ekspresi moral bangsa yang memilih untuk berpengaruh melalui kolaborasi dan kemaslahatan bersama.

Tentang Penulis

Foto Profil Intelektual

Arimurti Kriswibowo, S.I.P., M.Si., M.Th., Dr.Cand

Kandidat Doktor pada bidang Manajemen Publik-Universitas Brawijaya
Dosen Administrasi Publik, FISIBPOL UPN Veteran Jawa Timur
Pengurus Asosiasi Ilmuan Administrasi Negara (AsIAN)

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *