Mewartakan dengan Jiwa

11.566 Anak Keracunan MBG: Apa yang Salah dengan Program Rp 171 Triliun Ini?

Pembagian Makan Bergizi Gratis SMA
Pembagian Makan Bergizi Gratis SMA

JAKARTA, Warta Jiwa – Setiap minggu, angkanya terus bertambah. Setiap pekan, ada ribuan anak Indonesia yang harus merasakan mual, muntah, dan sakit perut setelah menyantap program yang seharusnya membuat mereka sehat: Makan Bergizi Gratis (MBG).

Data terbaru dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 12 Oktober 2025 mencatat total korban keracunan MBG sejak awal tahun telah mencapai 11.566 anak. Dalam periode 6-12 Oktober saja, tercatat 1.084 korban baru.

Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada anak-anak yang menangis kesakitan, orangtua yang panik, dan sekolah-sekolah yang kelimpungan menangani korban. Ada pula dua provinsi baru yang kini ikut terdampak: Kalimantan Selatan (Kabupaten Banjar) dan Gorontalo (Kota Gorontalo).

Jawa Barat: Episentrum Krisis MBG

Lima provinsi dengan korban tertinggi sejak Januari hingga 12 Oktober 2025 menggambarkan sebaran masalah yang luas: Jawa Barat memimpin dengan 4.125 korban, disusul Jawa Tengah dengan 1.666 korban, Yogyakarta 1.053 korban, Jawa Timur 950 korban, dan Nusa Tenggara Timur 800 korban.

Jawa Barat menjadi sorotan khusus. Kasus terbaru di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, mencatat 345 siswa dari berbagai jenjang – mulai SD, SMP, hingga SMK – mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG pada 14-15 Oktober 2025.

Yang mengkhawatirkan, dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Panyandaan yang menjadi sumber keracunan diketahui telah beroperasi sejak Februari 2024, hampir delapan bulan, namun hingga kini belum mengantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).

Ketika “Bergizi” Berubah Jadi “Berbahaya”

Di Klaten, Jawa Tengah, belasan siswa SMP Negeri 1 Wedi harus dilarikan ke puskesmas pada 8 Oktober 2025. Seorang siswi bernama Intan menceritakan: “Makan ayam. Awalnya biasa saja. Tapi lama-lama rasanya jadi ga enak. Sepertinya ayamnya sudah basi.”

Dari 16 siswa yang awalnya mengalami gejala, 3 siswa diperbolehkan pulang setelah penanganan awal, 4 siswa dirawat di Puskesmas Wedi, dan 9 siswa harus dirujuk ke rumah sakit untuk observasi lebih lanjut.

Ini bukan kasus terisolasi. Di Nunukan, Kalimantan Utara, pada 30 September 2025, sebanyak 82 siswa dari berbagai jenjang mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi MBG yang dibagikan Senin sore. Menu MBG tersebut disalurkan ke 11 sekolah dari dua dapur berbeda.

Akar Masalah: Kegagalan Sistemik

JPPI menilai Badan Gizi Nasional (BGN) gagal menjalankan prinsip dasar tata kelola: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Anggaran ratusan triliun digelontorkan tanpa payung hukum yang jelas, sementara ribuan anak jadi korban percobaan kebijakan yang belum matang.

Draf Peraturan Presiden terkait MBG hingga kini masih tertutup rapat. Publik dan organisasi masyarakat sipil belum tahu isi draf Perpres ini. Anggaran triliunan mengalir tanpa dasar hukum yang jelas.

Data resmi pemerintah sendiri menunjukkan inkonsistensi. Kepala Staf Presiden M Qodari menyebutkan berdasarkan data Kemenkes ada 5.207 penderita (per 16 September 2025), sementara BPOM melaporkan 5.320 korban (per 10 September 2025). Angka JPPI per 12 Oktober 2025 bahkan sudah mencapai 11.566 korban.

Empat indikator utama penyebab keracunan yang diidentifikasi pemerintah: higienitas makanan, suhu makanan dan ketidaksesuaian pengolahan pangan, kontaminasi silang dari petugas, dan alergi pada penerima manfaat.

Apa yang Harus Dilakukan?

JPPI mendesak lima rekomendasi mendesak untuk merespons krisis ini:

Pertama, perkuat transparansi dan akuntabilitas. Draf Perpres MBG harus dibuka untuk publik. Anggaran ratusan triliun tidak boleh mengalir tanpa dasar hukum yang jelas.

Kedua, bersihkan konflik kepentingan. Bagaimana mungkin Polri menindak dapur yang mereka kelola sendiri? DPR mengawasi proyek yang dikerjakan timnya sendiri? Program publik tidak bisa dikelola seperti bisnis keluarga kekuasaan.

Ketiga, utamakan kualitas, bukan kuantitas. Gairah mengejar target jutaan penerima justru mengorbankan mutu gizi dan keselamatan. Program gizi seharusnya menyelamatkan, bukan mencelakakan.

Keempat, libatkan kantin sekolah dan usaha lokal. JPPI mendukung usulan Kemendikdasmen untuk melibatkan kantin sekolah dalam penyediaan paket MBG. Ini jauh lebih transparan, efisien, dan memperkuat ekonomi lokal serta sektor pendidikan.

Kelima, tutup sementara semua dapur MBG. JPPI mendesak penghentian total sementara semua dapur MBG hingga ada audit independen dan aturan hukum yang jelas. Menjalankan program dengan ribuan korban setiap minggu adalah bentuk kelalaian sistemik yang mendekati kejahatan kebijakan.

Respons Pemerintah: Cukup atau Tidak?

Pemerintah telah menggelar rapat lintas kementerian dan lembaga untuk menyikapi kasus keracunan. Mereka berjanji memperketat pengawasan yang melibatkan sekolah-sekolah di bawah Kemendikdasmen.

Kepala BGN Dadan Hindayana menyatakan: “Dari 1 miliar porsi yang sudah dimasak selama sembilan bulan program, hanya 4.711 yang terkontaminasi. Tentu ini masih bisa diperbaiki.”

Namun angka “hanya 4.711” yang disebutkan BGN kontras dengan data JPPI yang mencatat 11.566 korban per 12 Oktober 2025. Ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam pencatatan data.

Presiden Prabowo Subianto sendiri menegaskan tidak akan menghentikan program MBG, meski mengakui adanya masalah. “Jangan sampai program ini dipolitisasi,” katanya.

Tapi pertanyaannya: apakah ini masih soal politik, atau sudah soal nyawa anak-anak bangsa?

Dilema Anggaran vs Keselamatan

Program MBG memiliki anggaran Rp 171 triliun untuk 2025, yang akan berlipat ganda tahun depan. Target ambisius: memberi makan 83 juta orang pada akhir tahun.

Namun data menunjukkan serapan anggaran hanya 23 persen, sementara korban keracunan terus bertambah. Ini paradoks yang mengkhawatirkan: anggaran besar, eksekusi buruk.

Peneliti Maria Monica Wihardja dari ISEAS Yusof Ishak Institute mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada bukti mengenai urgensi pelaksanaan program MBG untuk mengatasi stunting. Menurut survei nasional 2024, kurang dari 1 persen rumah tangga Indonesia yang tidak makan satu kali dalam sehari.

Pelajaran yang Harus Dipetik

Niat baik tidak cukup. Program dengan anggaran ratusan triliun dan target jutaan penerima tidak boleh dijalankan dengan sistem trial and error di mana anak-anak menjadi kelinci percobaan.

Yang dibutuhkan:

  • Transparansi penuh dalam pengelolaan anggaran dan operasional
  • Standar ketat untuk sertifikasi dapur (SLHS wajib)
  • Pengawasan ketat dari pihak independen
  • Evaluasi menyeluruh sebelum ekspansi lebih lanjut
  • Akuntabilitas ketika terjadi kelalaian

“Setiap sendok nasi dari MBG yang berujung keracunan adalah bukti nyata gagalnya negara menyehatkan rakyatnya,” kata Ubaid Matraji dari JPPI.

Penutup: Prioritas Harus Jelas

Program MBG lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapat gizi yang cukup. Tapi ketika eksekusinya menyebabkan ribuan anak sakit, bahkan ada yang meninggal, maka sudah waktunya untuk berhenti sejenak, evaluasi total, dan perbaiki sistem.

Anak-anak Indonesia bukan angka statistik. Mereka adalah masa depan bangsa yang harus dilindungi, bukan dijadikan korban dari ambisi politik dan kelalaian sistemik.

Ribuan korban setiap pekan bukan sekadar angka, itu adalah nyawa anak-anak bangsa yang mestinya dilindungi, bukan dijadikan eksperimen proyek politik.

Pertanyaannya sekarang: akankah pemerintah mendengar? Akankah ada perubahan mendasar sebelum korban bertambah lagi minggu depan?

Karena pada akhirnya, tidak ada program sebagus apapun yang boleh mengorbankan keselamatan anak-anak. Tidak ada target yang lebih penting dari nyawa manusia.


FAKTA KUNCI:

  • Total korban keracunan MBG: 11.566 anak (per 12 Oktober 2025)
  • Korban baru periode 6-12 Oktober: 1.084 anak
  • Provinsi terparah: Jawa Barat (4.125 korban)
  • Anggaran MBG 2025: Rp 171 triliun
  • Serapan anggaran: 23%
  • Kasus terbaru: 345 siswa di Cisarua, Bandung Barat
  • Status: Belum ada penghentian program, hanya penutupan dapur bermasalah

CATATAN REDAKSI:
Artikel ini disusun berdasarkan data dari JPPI, laporan media nasional kredibel (Liputan6, CNN Indonesia, Detik, Kompas, NU Online), dan pernyataan resmi pemerintah. Warta Jiwa berkomitmen mewartakan dengan jiwa, menyajikan berita yang tidak hanya informatif tetapi juga membela kepentingan anak-anak Indonesia yang menjadi korban.

Bagikan Warta Ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *